Mohon tunggu...
Gatot Tri
Gatot Tri Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

life through a lens.. Saya menulis tentang tenis, arsitektur, worklife, sosial, dll termasuk musik dan film.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

2015: Sumirah Ludruk

19 April 2015   21:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:54 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1429453771124228555

Tidak seperti biasanya, sore itu hujan deras disertai angin kencang mengguyur Kota Surabaya. Anginnya berhembus meniup gedung-gedung jangkung di tengah kota. Para pedagang kaki lima berpindah ke tempat yang teduh dari terpaan air hujan, di halte bus atau di emper toko. Para pegawai kantor yang pulang bekerja menemui kenyataan manakala hujan turun begitu derasnya. Jalanan menjadi macet dipenuhi kendaraan bermotor. Lyn atau bemo, angkutan kota di Surabaya, penuh sesak. Sepertinya, hujan masih akan lama reda.

Sumirah masih menunggu dengan sabar di rumahnya. Ia sudah berdandan dan siap berangkat ke gedung kesenian Ludruk di kawasan Jalan Kusuma Bangsa sejak jam empat sore tadi. Grup Ludruknya biasa pentas jam sembilan malam. Ia berencana berangkat lebih awal karena ia tahu mendung yang kelabu yang datang dari sebelah barat sana pasti akan menumpahkan air begitu lama. Namun ia terlambat. Ketika ia hendak mengambil sepedanya, mendadak hujan turun. Ia mengurungkan niatnya. Ia hanya mendehem dan mengembalikan sepeda bututnya ke tempatnya semula.

Di kamarnya yang kecil, di petak rumahnya yang sempit di sebuah kampung padat penduduk di wilayah Surabaya Timur, ia memandangi wajahnya di depan cermin, di sebelah ranjangnya yang telah reyot. Ia menemukan bagian bawah matanya yang kini keriput kurang tersapu bedak. Ia menyapukan bedak sedikit dan tersenyum. Keriputnya sudah tersamar. Bibirnya pun sudah ia pulas dengan gincu merah tebal. Kondenya sudah terpasang rapi di kepalanya. Ia sudah tampil cantik. Malam ini dalam kisah Ludruk yang ia mainkan yang berjudul “Juragan Sugih Utang” (Bos Kaya Hutang), ia akan menjadi bintang utama, berperan sebagai Merak, istri seorang saudagar kaya. Selama lebih dari dua puluh lima tahun bermain Ludruk, ia sudah memainkan banyak peran namun baru kali ini ia mendapat porsi peran utama, sehingga ia berjanji kepada diri sendiri untuk memberikan penampilan terbaik.

Jarak antara rumahnya dengan lokasi pentas kira-kira lima belas kilometer. Ia biasa menempuh dengan sepeda anginnya. Tak heran ia kelihatan begitu sehat.  Kakinya liat karena setiap hari mengayuh sepeda. Dalam seminggu biasanya tiga kali ia pentas. Jika grupnya diundang manggung di luar kota, ia bisa tidak pulang dalam beberapa hari.

Sebenarnya, Sumirah bukanlah namanya. Nama aslinya adalah Kemis, dan ia bukan perempuan tetapi laki-laki. Ia dinamakan demikian karena lahir pada hari Kamis (kemis). Orang tuanya adalah seniman. Ayahnya pemain Ludruk, ibunya sehari-hari adalah perias para pemain Ludruk yang sesekali juga ikut pentas. Kedua orang tuanya bergantian membawa anak semata wayangnya ikut berpentas di tempat-tempat yang berbeda. Di masa kanak-kanaknya, tak jarang Kemis dibawa serta di lokasi pentas yang  jauh di luar kota: Malang, Madiun, Jogjakarta hingga Jakarta. Bahkan pernah hingga ke pulau Kalimantan memenuhi undangan pentas dari komunitas Surabaya di Balikpapan.

Ketika usianya beranjak enam tahun, Kemis mulai diajak manggung. Mungkin lantaran bakat seni ayah dan ibunya yang menurun ke dirinya, Kemis dapat memainkan perannya sebagai anak kecil dengan baik. Ia bahkan sudah bisa berimprovisasi tanpa latihan terlebih dahulu pada usia sepuluh tahun. Usia lima belas tahun, ia sudah menjelajah berbagai kota di Jawa Timur untuk pentas Ludruk bersama ibunya. Menjelang usianya yang ketujuh belas tahun, ayahnya jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Tidak lama, ibunya menyusul ayahnya. Kemis telah yatim piatu di usianya yang beranjak dua puluh tahun.

Ibunya adalah figur dominan dalam kehidupannya. Ia lebih sering ikut ibunya bekerja daripada ayahnya. Suatu waktu Kemis kebagian peran menjadi gadis remaja yang cantik. Ia minta dirias oleh ibunya. Hasil riasan sungguh mengejutkan ibunya dan para pemain Ludruk lainnya. Kemis menjelma menjadi gadis cantik malam itu dan penampilannya mendapat aplaus penonton.

Kemis sehari-hari lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya. Ia memang selalu ingin tampil seperti ibunya, cantik. Makanya tak heran tingkah lakunya agak kemayu. Tapi di panggung ia mampu tampil jenaka dan pandai menghibur para penonton Ludruk, membuat grup Ludruk barunya – setelah ibunya meninggal ia memutuskan untuk pindah ke grup lain – menjadi grup yang lumayan populer dan selalu ditunggu oleh para penonton. Penggemarnya banyak tersebar di sejumlah kota di Jawa Timur.

Pada usia dua puluh dua tahun, ia sudah mengganti penampilannya sehari-hari yang sebelumnya laki-laki menjadi wanita. Ia berganti nama pula. Maka jadilah ia Sumirah. Di kampungnya, ada dua nama Sumirah. Sumirah tetangganya biasa dipanggil Sumirah saja, sedangkan ia Sumirah Ludruk. Maka kalau ada orang yang mencarinya pasti akan ditanyai: Sumirah saja atau Sumirah Ludruk ?

Sumirah tidak menikah, setidaknya untuk saat ini. Ia hidup dengan anak sepupunya. Sewaktu balita, Murni – nama anak itu – diambil sebagai anak angkat oleh Sumirah. Ia menanggung seluruh keperluan Murni termasuk membiayai sekolahnya. Sekarang Murni sudah sekolah di bangku Sekolah Dasar kelas empat.

Akhir-akhir ini, seni pentas Ludruk makin tergerus jaman menyisakan beberapa grup Ludruk saja yang masih bertahan. Hal ini mempengaruhi penghasilannya dari bermain Ludruk yang sering tidak tentu. Kadang dapat lumayan, kadang malah nol karena penontonnya tidak ada. Untuk menyambung hidupnya, ia juga membuka warung nasi di rumahnya yang buka setiap pagi. Pelanggannya kebanyakan pekerja yang kos di sekitar rumahnya.

Ia menatap jam dinding. Sudah jam setengah enam sore. Hujan masih turun walau tidak sederas sebelumnya. Ia berharap cemas hujan segera reda. Perjalanan ke tempat pentas tidak sebentar. Meski nampak masih sehat, di usianya yang menginjak empat puluh lima tahun ini, ia sudah tidak sekuat dan secepat dulu mengayuh sepeda.

Ia menyibakkan tirai jendela kamarnya sedikit. Hujan masih turun cukup deras. Sepertinya ia harus naik bemo.

Tiba-tiba pintu rumah diketuk.

Bulek (bibi)…Murni arep mlebu Bulek…Bukaken lawange (Murni mau masuk Bulek… Bukakan pintunya…),” bocah itu baru pulang dari sekolah. Dia selalu terlambat pulang seminggu ini. Sejak punya teman baru di sekolahnya, ia dan beberapa temannya kerap bermain di rumah teman barunya hingga menjelang Maghrib.

Sumirah membukakan pintu. Bocah itu basah kuyup. Masih mengenakan seragam SD-nya dan tas sekolahnya pun basah.

“Masya Allah…Kamu main dimana, anak nakal ? Selalu pulang telat !” Ia menjewer telinga Murni. Murni mengaduh pelan.

“Tadi Murni ke rumah Ema, Bulek…”

“Lihat, baju dan tasmu…Waduh, buku-bukumu pasti basah semua !”

Ia menarik lengan Murni mendekat dirinya. Ia lepaskan seluruh baju Murni. Ia mengambil pakaian bersih Murni di almari pakaian dan menyuruhnya mandi. Ia mengeluarkan buku-buku di dalam tas Murni. Buku tulis dan buku pelajaran Murni basah semua. Ia marah dan mengomeli Murni. Sesekali anak itu ia jewer kupingnya. Tapi Murni diam saja. Bocah perempuan itu memang bandel.

Pintu diketuk kembali. Sumirah membukakan pintu depan. Rupanya Kerto, tetangga sebelah yang berprofesi sebagai supir bemo. Ia baru selesai menarik bemo. Usianya dengan Sumirah terpaut tujuh tahun lebih muda. Kerto seorang duda. Dia selalu mengecek rumah saat ia pentas. Sumirah selalu menitipkan rumahnya dan Murni kepada Kerto sewaktu ia pentas.

Durung budhal to, Ning ? (Belum berangkat to, Mbak ?)”, tanya Kerto sambil mengusap wajah dan rambutnya dengan handuk kecilnya.

“Masih hujan…Aku sudah berias. Nanti malah luntur…Tapi hujan kok belum berhenti juga… ?”

Diterno ta (diantar ?)” Kerto menawarkan diri. “Monggo Ning (mari Mbak) kalau mau saya antar. Kebetulan, juragan saya lagi ke luar kota, jadi mobilnya saya bawa pulang…”

Wah, beneran iki (wah, kebetulan sekali)! Yo wis, aku tak dandan maneh (Ya sudah, saya mau berdandan lagi). Sik yo Cak (sebentar ya Mas)…” Ia masuk ke kamar. Murni yang sudah duduk manis menonton televisi di kamar ia suruh membuatkan secangkir teh hangat untuk Kerto.

Ia membedaki wajahnya lagi, meronai pipinya, memulas gincu lagi di bibirnya yang kini memerah,  lalu merapikan kondenya sedikit. Tinggal menutup kepalanya dengan kerudung merah, lalu pasang jepit emas. Ia bercermin agak lama mematut diri untuk melihat penampilannya. Rasanya ia ingin lama memandangi dirinya di depan cermin. Lalu ia memakai sepatu hak tingginya. Nah, selesai. Ia sudah siap untuk berangkat. Kerto juga sudah menghabiskan tehnya.

Ayo Cak Kerto, budhal (Ayo Mas Kerto, berangkat). Murni, kamu ke Mbok Sinem saja... Tunggu sampai Bulek pulang, ya…” kata Sumirah. Jemari kedua tangannya menyentuh kedua pipi Murni. Murni mengangguk dan segera mengeloyor pergi ke rumah Mbok Sinem dengan membawa payung.

Bemo yang dikendarai Kerto diparkir di mulut gang yang berjarak kira-kira seratus meter dari rumahnya. Dengan memakai payung, ia berjalan berkebaya sampai mulut gang. Sesekali ia merapikan konde di kepalanya. Kebayanya merah tua bermotif bunga. Cocok dengan kerudungnya yang juga berwarna merah. Beberapa kali ia harus mencingcingkan jaritnya dan melompat kecil untuk menghindari genangan air di jalan gang, membuat para tetangga wanita yang sedang sibuk petan (mencari kutu rambut) menggodanya. Setiap kali Sumirah melompat, para ibu-ibu muda itu meneriakkan “Hiyyaaa.. Loncat lagii!! Hiyyaa…” lalu mereka tertawa berderai. Sumirah mengepalkan tinjunya ke arah mereka, membuat para wanita itu makin tertawa keras. Kerto sudah berlari lebih dulu ke bemonya dengan menutupkan handuk di kepalanya. Ia menunggu Sumirah di sana. Segera setelah Kerto menyalakan mesin, mobil angkutan umum itu perlahan meluncur pergi ke lokasi pentas.

Malam ini bukan rejekinya. Tidak ada satu penonton pun datang melihat Ludruk. Hujan belum juga reda saat pertunjukan dijadwalkan untuk dimulai. Ia bersama Kerto sudah pulang lebih dahulu dengan alasan khawatir meninggalkan Murni sendirian di rumah. Ia nampak kecewa. Hari ini praktis ia tidak mendapat uang. Namun, yang lebih mengecewakan bagi dirinya adalah ia tidak jadi memerankan peran utama dalam cerita perdana kali ini. Sepanjang jalan, di kursi depan bemo ia hanya menatap ke arah luar saja. Hujan masih turun rintik-rintik. Kerto tahu ia bersedih.

Yo wis to, Ning… Gak usah dipikir (ya sudah to, Mbak… Tidak usah dipikirkan).” Kerto mencoba menghiburnya. Tapi Sumirah hanya diam saja.

***

Seperti biasa, warungnya buka jam enam pagi. Pada jam delapan, seluruh menu yang ia sediakan biasanya sudah habis dibeli. Ia sangat telaten melayani para pelanggannya. Warungnya terletak persis di mulut gang. Ia menyewa bagian samping rumah Mbok Sinem yang terletak di pinggir jalan besar. Harga setiap menu tidaklah mahal untuk kocek para pekerja. Maklum, penghasilan para pekerja apalagi pekerja harian tidaklah banyak, cukup untuk sewa kos dan makan sebulan. Kadang juga malah tekor.

Sumirah hanya membuka warungnya pada pagi hari. Setelah itu hingga siang harinya, ia berbelanja kebutuhan warung dan beristirahat. Jika tidak pentas, malam harinya ia membantu Murni mengerjakan tugas sekolah. Hari-hari ketika ia pentas, biasanya ia pulang hampir tengah malam dan langsung beristirahat. Pagi buta ia sudah sibuk memasak untuk warungnya.

Murni bocah yang bandel namun cerdas. Kerap menjadi juara kelas. Namun kadang kebandelan Murni mengesalkan hatinya. Suatu waktu Murni pernah berkata bahwa ia rindu ibu kandungnya yang tinggal di Tuban. Ia ingin tinggal dengan ibunya. Hampir setiap Minggu, ibu Murni menjenguk putrinya. Murni juga bosan dengan ejekan teman-temannya bahwa dia tidak punya ibu. Atau ibunya seorang laki-laki, atau bahkan wadam. Sumirah yang mendengar ceritanya hanya menghela nafas panjang, tapi tidak tersinggung dengan itu semua. Tetapi kemudian ia melarang teman-teman Murni bermain di rumahnya. Murni pernah bertanya: “Mengapa tidak boleh, Bulek ?” “Pokoknya tidak boleh”, begitu jawab Sumirah.

Hari itu, tanggal 27 Desember 2014, ia akan pentas kembali. Sore itu terlihat cerah. Ia berharap semoga hujan tidak turun seperti yang terjadi dua hari yang lalu sehingga ia batal pentas. Tokoh yang ia perankan masih sama. Ia sibuk berdandan di kamarnya. Murni masih belum pulang.

Ia mendengar pintu rumahnya diketuk. Tidak biasanya ada tamu di sore hari kecuali Kerto. Tapi Kerto tidak datang hari itu. Pagi hari Kerto mengabarkan ia akan mengantar seseorang dan keluarganya yang menyewa bemonya ke Sidoarjo. Sumirah bangkit keluar kamar dan membuka pintu depan. Rupanya ayah dan ibu Murni. Tidak biasanya mereka kemari, padahal baru dua minggu yang lalu mereka ke sini. Sumirah mengajak mereka masuk.

Setelah berbasa-basi sejenak Sumirah berdiri hendak membuatkan minum,“Sik yo Mbak, tak gawekna unjukan (sebentar ya Dik, saya buatkan minuman)”

Wis ta la…Gak usah.. Ngrepoti sampean engko.. (Sudahlah, tidak usah… Nanti malah merepotkan kamu),” kata ibu Murni.

“Ada apa sih kalian kok pada kemari. Mas Yono prei ta (Mas Yono sedang libur ya ?)”

Yono dan Sunarti saling berpandangan sebentar. Lalu Sunarti yang berbicara. Mereka bermaksud mengambil Murni untuk tinggal bersama mereka. Hari ini, mereka sedianya akan mengajak Murni. Sunarti juga mengatakan kalau Murni akan disekolahkan di sana. Mereka sudah mendaftarkannya. Rupanya tanpa sepengetahuan Sumirah, Sunarti sering datang ke sekolah Murni untuk mengurus mutasi anaknya ke kotanya. Ia meminta maaf karena tidak mengatakan sebelumnya dengan alasan tidak sempat.

Sumirah mendengarnya dengan hati bergolak. Mereka akan mengambil Murni dari hatiku…. Mereka akan memisahkan Murni dariku…Padahal hanya kepada Murni tempat ia mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya. Hanya Murni yang selalu menghiburnya kala ia bersedih. Bahkan saat dalam lelap tidurnya pun, bocah itu dengan wajah lugunya, wajah kekanakannya, wajah sukacitanya – selalu membuat Sumirah tersenyum. Ia ingin selalu berada di samping Murni. Ketika ia tiba di rumah hampir tengah malam seusai pentas, ia melihat tubuh Murni yang sudah terlelap di ranjangnya. Ia membetulkan posisi tubuhnya, membelai rambutnya, mengusap keringatnya lembut, dan mencium keningnya dengan penuh cinta. Murni memang bukan anaknya, jadi ia tidak berhak menganggap dirinya orang tua Murni. Ia tidak berhak. Sekarang kedua orang tuanya hendak mengambil bocah itu dari hatinya. Ia  ingin menahan bocah itu supaya tetap tinggal bersamanya. Tapi… ia tidak bisa. Anak itu bukan miliknya.

Sumirah terdiam beberapa saat. Yono dan Sunarti saling berpandangan, khawatir terhadap perasaan Sumirah. Tetapi Sumirah tersenyum. Sebenarnya, Sumirah memaksakan diri untuk tersenyum, namun hatinya mendidih seperti ibu yang tidak ingin berpisah dengan anaknya.Ia memakluminya dan berkata kalau sudah waktunya Murni tinggal dengan orang tuanya. Tetapi dalam hatinya ia tidak rela.

Murni datang. Ia sangat senang kedua orang tuanya tiba. Mereka memeluknya dan mengatakan akan mengajak Murni pulang dan bersekolah di sana. Tidak tertutupi perasaan bahagianya mendengar hal itu. Ia akan punya orang tua seperti orang tua-orang tua teman-teman sekolahnya. Sumirah memandangi semua itu dengan perasaan sedih yang amat mendalam. Ingin rasanya ia menangis. Tapi ia masih sanggup mengendalikan emosinya dan menahan air mata keluar dari pelupuk matanya.

Ia menyuruh Murni mandi dan berganti pakaian karena orang tuanya akan membawanya ke Tuban. Kemudian, Sumirah mempersiapkan semuanya. Membungkus pakaian Murni dengan kertas koran dengan rapi dan memasukkannya ke dalam tas plastik, lalu memasukkan buku-buku sekolahnya sebagian ke dalam tas sekolahnya dan sebagian lagi ke kotak kardus. Ia menyisir rambut Murni setelah selesai mandi.

Sekarang Murni sudah siap berangkat. Ia sungguh gembira. Sumirah berpesan jangan sekali-kali bandel dengan orang tuanya. Harus belajar tekun supaya tetap menjadi juara kelas di sekolah barunya. Murni mengangguk-angguk, lalu keluar kamar dan menghampiri ayah dan ibunya.

Sebelum pamit, Sunarti memberikan amplop untuk Sumirah. Amplop itu berisi beberapa lembar uang lima puluh ribu rupiah. Sumirah dengan berat hati menerimanya. Sunarti berjanji masih akan tetap mengunjungi Sumirah setiap bulan bersama Murni. Sumirah mengiyakan dengan beberapa kali anggukan kepala. Lalu mereka segera berpamitan. Sumirah memandanginya sampai mereka lenyap di mulut gang, lalu ia masuk ke dalam kamarnya.

Sumirah menangis sejadi-jadinya. Ia amat bersedih dan terpukul dengan kepergian Murni. Sekarang, ia sudah tidak punya siapa-siapa lagi di rumah ini. Ia melepasi kebayanya, sanggulnya, menghapus riasan di wajahnya yang kini sembab oleh raut kesedihannya.

Sumirah tidak berangkat pentas petang itu. Ia hanya ingin sendiri di kamarnya.

Di pentas Ludruk, semua orang menunggu Sumirah. Tetapi ia belum nampak juga. Padahal Ludruk sudah hampir dimulai. Semua teman-teman pentas mengubungi ponselnya namun ia sudah mematikan ponselnya sejak tadi. Para penonton yang berjumlah puluhan orang sudah tidak sabar melihat Sumirah, sang Merak. Akhirnya setelah ditunggu beberapa saat dan ia tidak muncul, pada saat-saat terakhir sebelum pentas, perannya digantikan oleh orang lain yang seorang wanita asli. Para penonton sedikit kecewa tetapi mereka tetap menonton Ludruk hingga usai.

Sumirah tidak ingin berpentas lagi. Ia sudah kadung berjanji pada dirinya sendiri malam itu bahwa di tahun 2015 nanti ia akan sepenuhnya menjelma menjadi laki-laki.

Sidoarjo, 19 April 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun