Mohon tunggu...
Gatot Aribowo
Gatot Aribowo Mohon Tunggu... -

Pernah jadi jurnalis.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Surat Untuk Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra

24 Juli 2014   04:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:24 243
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di hari-hari terakhir di masa tenang, saya sebarkan himbauan ke rakyat untuk melakukan penangkapan terhadap siapapun penyebar uang, sekalipun itu kader Gerindra, dan akan saya berikan reward. Himbauan itu di bawahnya saya tulis dari Partai Gerindra. Saya ingin Partai yang saya jadikan sebagai alat perjuangan ini mendapatkan nama baik di hati rakyat.

Namun apa lacur. Seluruh perjuangan saya itu sia-sia. Saya dikalahkan oleh kecurangan. Baik kecurangan yang masih subur ditumbuhkan lawan-lawan politik, juga kecurangan yang masih bersemai di rakyat sendiri. Perang uang lebih menarik ketimbang perang gagasan. Rakyat masih menikmati adu uang dalam politik daripada adu pemikiran dalam politik.

Kecurangan-kecurangan inilah yang membuat saya sangat-sangat kecewa, yang hingga kini masih membekas. Mungkin, kekecewaan atas kekalahan inilah yang Bapak Ketua Dewan Pembina rasakan di saat-saat ini.

Bapak Prabowo yang masih kami banggakan.

Ada kalanya memang kita perlu melupakan kekecewaan tersebut tanpa berbuat apa-apa. Saya tak melakukan gugatan terhadap lawan politik terdekat karena saya tak memasang perangkap untuk menjebak lawan agar mendapatkan bukti hukum yang kuat. Ide itu pernah saya tawarkan ke teman-teman yang mengawal perjuangan saya. Karena untuk benar-benar menjatuhkan lawan melalui meja gugatan hukum perlu bukti yang sangat-sangat kuat. Namun ide itu hanya bergulir begitu saja. Selain tak ada gerakan dari teman-teman untuk membantu saya menggunakan cara tersebut, orang dalam rumah saya tanpa sepengetahuan saya ternyata juga turut bermain politik uang. Inilah yang membuat saya malu. Di satu sisi saya hendak menunjuk lawan bermain curang, di sisi lain dari pihak saya juga bermain curang yang belakangan baru saya ketahui.

Bapak Prabowo yang tetap kami banggakan.

Memeluk kekalahan dengan kelapangan dada memang terasa berat. Namun bagi saya, itu tak terasa ketika saya kembalikan lagi pada niatan awal saya masuk politik. Niat untuk menggunakan politik sebagai alat perjuangan saya awali dengan mencium tangan ibu, dan keluar melangkahkan kaki dengan ucapan Bismillah. Inilah niat jihad. Niat berperang melawan kebatilan. Berkali saya selalu dengungkan ke ibu saya yang ambisi agar anaknya jadi anggota dewan yang terhormat, bahwa yang ingin saya raih bukan untuk jadi anggota dewan tapi menang. Baik menang terhadap lawan, yang utama menang terhadap diri sendiri. Menang untuk mengalahkan nafsu menggunakan berbagai cara untuk jadi anggota dewan, termasuk cara-cara yang melanggar hukum dan melanggar kesepakatan bersama yang tertuang dalam undang-undang.

Bapak Prabowo yang ingin kami banggakan.

Kemarin, pas hari terakhir penghitungan suara pemilihan presiden, saya siangnya membayangkan Bapak datang pas penetapan hasil, lalu memeluk yang menang sambil berucap, "kami titipkan perjuangan Indonesia untuk membenahi politik dan demokrasi dalam sistem pemilihan yang mempersempit dan meniadakan ruang untuk melakukan kecurangan-kecurangan. Dalam lima tahun mendatang, kami ingin penyelenggaraan benar-benar sudah tertata dengan teknologi yang akan meniadakan tindak kecurangan dalam berpolitik dan membangunkan dalam sistem yang berkejujuran dan berkeadilan. Kami sadar, sistem yang dibangun selama 16 tahun ini tidak pernah menutupi kebocoran untuk pemain politik melakukan kecurangan dengan menggunakan segala cara buat menang, termasuk cara yang membodohkan rakyat dengan menjadikan politik sebagai ajang adu uang dan bukan adu gagasan pemikiran. Selamat buatmu, dan buat rakyat Indonesia."

Sayang, bayangan saya itu tak terjadi. Apa yang akhirnya terjadi, membuat saya kaget. Bapak menarik diri dari proses pemilihan yang belum mencapai titik akhir. Lalu saya berpikir, apakah kekalahan adalah kemenangan partai yang tertunda untuk lima tahun mendatang masih terbuka atau tidak dengan kejadian hari itu?

Pernah saya membayangkan, perjalanan membesarkan Partai Gerindra seperti perjalanan Hitler membesarkan Partai Nazi. Tentu bukan ideologi partainya Adolf Hitler atau cara-caranya yang kita adopsi. Namun kesabarannya dalam meraih kemenangan itulah yang dapat kita tiru. Setidaknya itu pelajaran yang saya petik dari film Hitler: The Rise of Evil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun