Narsisme politik dimulai ketika seseorang membangun citra diri sebagai orang yang sangat “super”, tanpa tedeng aling-aling mengaku dirinya sangat cerdas, bersih, jujur, intelek, sempurna, ideal, tanpa menghiraukan kenyataan sebenarnya yang telah terstigma di masyarakat yang dalam hal ini justru dinilai berkebalikan dari citra yang dibangun.
Selanjutnya, mereka yang terjangkit narsisme politik akut akan melakukan “pemujaan diri” (bahkan rela membayar kepada orang-orang untuk bekerja “memuja” dirinya). Ia akan memposisikan diri sebagai “ibu” bagi anak-anak kolong jembatan, pemimpin yang dicintai masyarakat dan dengan segala kebaikan yang dipaksa untuk melekat dalam dirinya. Bahkan merasa itu semua itu kurang hebat, ada yang sampai mensejajarkan diri dengan penyihir sakti; mampu mengatasi macet dan banjir hanya dalam seminggu!
Nah, kurang menghibur apa?
Narsisme politik selalu berjalan sebagai politik instan. Dimana elit politik yang terjangkit tidak menghargai proses politik. Dengan logika kejar tayang, ia merasa sudah populer dan langsung membangun aneka citra politik tanpa melalui akumulasi karya, ide, gagasan maupun dedikasi. Padahal sebenarnya, merika itu tuna visi, miskin ideologi, dan tak punya prestasi politik. Dengan mentalitas “instan” tersebut jelas para elit politik telah menghancurkan tiang-tiang panggung demokrasi.
Dengan perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat saat ini, perkembangan dunia politik bukanlah hal asing bagi masyarakat. Sampai pelosok-pelosok desa, saya yakin masyarakat bisa menyaksikan perdebatan seru pertarungan politik di Indonesia semudah menonton sinetron, bahkan ikut terlibat di dalamnya dengan mengomentarinya.
Demikianlah, seperti juga masyarakat jengah dengan hiburan-hiburan murahan yang diisi artis-artis kacangan yang tak paham Pancasila, masyarakat juga jengah dengan politikus-politikus yang gagal paham dengan pertunjukan politiknya yang kaku yang masih menganggap bahwa masyarakat adalah obyek membatu tak ada yang mengenal buku.
Sosiologis masyarakat adalah produk “aktivitas” manusia secara kolektif. Dia berubah dan menyerap segala dinamika yang terjadi. Oleh karena itu seyogyanya pertarungan politik menjadi panggung demokrasi yang ideal, yang bisa mendukung perkembangan sosiologis masyarakat dalam memahami politik. Bukan menjadi sekedar panggung sandiwara yang menjemukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI