Pendidikan menurut para pakar sebagai institusi untuk mendidik generasi manusia dengan berbagai disiplin keilmuan. Peradaban manusia tidak terlepas dari tekhnologi dan ilmu pengetahuan. Dunia akan mengalami kemajuan atau kemerosotan tergantung dari seberapa paham manusia mendalami ilmu pengetahuan. Ditinjaui dari aspek historis, watak pendidikan di Indonesia adalah merupakan peninggalan jajahan Belanda, yang sampai saat ini masih tercerabut dari akar tradisi. Untuk menata kembali, butuh system pendidikan yang jelas, serta yang paling urgen adalah merubah dan merumuskan ulang paradigma pendidikan di Indonesia.
Kebijakan pemerintah saat ini, masih belum berpihak kepada masyarakat yang belum mampu. Hegemoni Negara tentu berkelindan dengan kebijakan pendidikan, sehingga kekuasaan dan pendidikan harus dipisahkan dari mata rantai kepentingan sesaat. Senyatanya pendidikan, menurut Ngainum Naim (2009) adalah masyarakat yang belajar merupakan sebuah kedinamisan. Masyarakat belajar senantiasa melakukan usaha-usaha kreatif untuk menambah pengetahuannya, memproduksinya dalam konteks kehidupan sehari-hari, melakukan transformasi, dan pada akhirnya terus menerus meningkatkan kemajuan masyarakat.Oleh karenanya, seharusnya seorang pendidik membentuk masyarakat berkesadaran tentang pendidikan dan mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan kurikulum yang tidak mencerdaskan, ekses negative media, buruknya infrastruktur sekolah, tawuran antar pelajar dan semacamnya.
Sejalan dengan pemikiran Ngainum Naim diatas, idealnya Tri Dharma PT tidak hanya dijadikan sebagai diktum wagu Universitas. Ada tiga poin dalam Tri Dharma yang harus menjadi pegangan awal mahasiswa, yakni pendidikan dan pembelajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Pengejawantahan konsep Tri Dharma bagi seluruh mahasiswa menjadi tanggung jawab birokrasi kampus. Tugas dari seorang birokrat adalah memberikan pelayanan yang terbaik dan maksimal. Jika pelayanan untuk menumbuh kembangkan konsepsi tri dharma tidak begitu maksimal, lantas haruskah birokrat-birokrat kampus digaji menggunakan uang Negara?
Peran perguruan tinggi dalam demokrasi adalah reproduksi ruang public. Ia mempunyai peranan sebagai pendorong masyarakat berpikir. Bersama masyarakat dan media, ia berkonstribusi dalam membentuk regenerasi, multiplikasi, dan ekspansi bentuk-bentuk komunikasi. Ketiganya membentuk polarisasi yang utuh dalam menciptakan pondasi bagi kemajuan peradaban di Negara ini. Jika kampus sebagai ruang mediasi dalam dunia pendidikan tidak acuh tak acuh, maka perubahan untuk menyegarkan kembali, meminjam bahasa Nur Sayid Santoso, logika kapitalis pendidikan kearah pendidikan yang bersifat non-politik tidak akan pernah mendapat angin segar.
Mahasiswa dalam kajian sosio-pendidikan merupakan salah satu penggerak perubahan sosial dalam konteks pendidikan. Melalui ruang kelas-ruang kelaslah seharusnya muncul pemikiran yang subtansial tentang bagaimana pendidikan bisa memanusiakan manusia. Selama ini, masyarakat umum ditawarkan dengan kondisi-kondisi, dimana prestise seseorang bisa terangkat, jika masuk di perguruan tinggi yang memiliki kualitas infrastruktur yang mumpuni. Satu sisi, seakan-akan barometer seorang akademisi ditentukan oleh dimana ia masuk perguruan tinggi. Di sisi lain, hal ini berdampak pada kondisi sosio-ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah tidak bisa mengenyam ke perguruan tinggi favorit.
Berkait erat dengan Tri Dharma, mahasiswa revolusionerlah yang bisa memainkan peran sentral sebagai actor tranformasi nilai tri dharma tersebut. Nilai-nilai yang tercakup dalam tiga pilar tersebut seperti pendidikan, penelitian, serta pengabdian, seharusnya mampu merubah pola kehidupan dan paradigm berpikir masyarakat pada umumnya. Sebab, mengutip penjelasan JJ. Verkuil (1940) bahwa seorang mahasiswa karena mendapat restu dari tuhannya, dari bapak ibunya, dari masyarakatnya, haruslah mampu merubah tatanan dan cara berpikir masyarakatnya. Ulasan dari Verkuil ini, seharusnya menjadi sebuah renungan untuk merubah cara berpikir mahasiswa saat ini yang lebih memilih kehidupan konsumerisme dan hedonism.
Terjebaknya pola kehidupan mahasiswa kedalam budaya konsumerisme dan hedonism ini, tidak terlepas dari efek domino dari tidak terejawantahkan konsepsi tri dharma dalam kehidupan sehari mahasiswa kekinian. Selain itu, materialism kurikulum turut serta mencetak mahasiswa yang patuh dan membebek terhadap kekuasaan. Berdasarkan refleksi atas pemikiran Noams Chomsky, hakikat pendidikan adalah untuk menstimulasikan kesadaran kritis dan mengajarkan peserta didik menemukan kebenaran bagi dirinya. Selain itu, pendidikan mestinya bukan untuk menanamkan kepatuhan, melainkan untuk mendidik manusia dalam kemerdekaan, kesetaraan kebersamaan, dan kerja sama, agar dapat mencapai tujuan bersama yang telah disepakati secara demokratis.
Ada dua hal penyimpangan konsepsi Tri Dharma sehingga tidak sampai diserap sebagian kalangan mahasiswa yang terjebak dalam budaya konsumerisme dan hedonis. Pertama, kalangan kelas menegah dan terdidik tidak membiasakan dirinya dengan model pendidikan kritis yang berupaya membongkar segala macam kekuasaan dan hegemoni. Dengan bertumpupada kemampuan tehnik, maka model pendidikan tak diajarkan untuk membangun kesadaran kritis,membongkar kekuasaan dan membangun kemanusiaan. Kedua, sebagai akibat sampingannya, institusi kampus menjelmakan dirinya sebagai sebuah lembaga imperealis utama yang berhak mendikte, mendisiplinkan, dan memperadabkan kampus lain dan warga kampus. Model pendidikan doktriner dan politik tiranik ini, pada dasarnya telah memiliki preseden buruk bagi keberlangsungan proses pembelajaran mahasiswa. Hal inilah yang memungkinkan ketiadaan perlawanan dari kalangan terdidik, malahan tak mengherankan jika kalangan kelas terdidik itu justru berbondong-bondong mendukung rezim kelas berkuasa yang secara rutin menyerukan imparsialitas pendidikan, dan bungkam seribu bahasa jika kelas berkuasa itu melakukan kesalahan yang tak populis dimata kelas terdidik.
Oleh karena itu, Tri Dharma sebagai asas dan tujuan dari sebuah universitas, menjadi pedoman mahasiswa ketika telah selesai berkutat dengan bangku kuliah. M. Nuh berpesan bahwa “yakinkan kepada seluruh civitas akademika, bahwa tiga pilar itulah yang harus kita kembangkan, kita tumbuhkan, dan kita tegakkan”. Ujaran dari Menteri Pendidikan ini selayaknya mampumenciptakan kembali mahasiswa yang mampu memberdayakan dirinya dengan segenap keilmuan yang dibidangi. Tinggal memilih saja, apakah mau dicetak sebagai kaum tenokrat pendidikan atau menjadi mahasiswa yang inovatif? Selamat memilih!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H