Desilia, Aku mengenalnya sebagai seorang teman satu kelasku dikelas 1 Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2001. Awal kulihat dia, timbul perasaan jengkel karena perempuan itu terlalu amat berlebihan.  Suaranya selalu ramai, rambutnya  seperti pelajar SMA tahun 70-an, dan barang-barang yang dikenakannya terlihat amat mahal harganya.  Memang sangat modis sekali gayanya, namun  malah aku seperti membencinya. Gerak-geriknya seakan-akan selalu berusaha menghebohkan dunia dan segala isi-isinya. Satu tahun dikelas 1 dengannya tidak pernah membuat perasaan ini memiliki rasa yang special padanya. lihat gerak-geriknya saja sudah muak, apalagi berniat untuk menjadikannya Sebagai pacar.
Satu tahun itupun terlewat begitu saja, sampai akhirnya aku mencoba peruntungan untuk mengutarakan perasaanku pada seorang gadis manis berkulit kuning langsat bernama Saesa. Senangnya hatiku karena dia menerima pinangan cinta monyet dariku untuk menjadikannya sebagai pacarku. Saesa adalah anak yang baik dan amat berprestasi, berbeda dengan diriku yang lebih kearah brutal Absolute yaitu anak-anak tanggung yang suka nongkrong sambil belajar merokok. Hal-hal seperti itu yang membuat diriku dicap sebagai anak yang kurang baik dan urak-urakan.
Sungguh malangnya nasibku, rasa indah dibalas cinta itu hanya bertahan sampai tiga hari saja. Saesa memutuskan tali percintaan yang telah aku idam-idamkan sejak lama. Aku ingat, pada waktu itu adalah hari sabtu karena aku mengenakan seragam Pramuka. "maaf ya, aku ga bisa ngelanjutin hubungan kita, aku ga boleh pacaran sama ibuku, aku mau fokus belajar." itulah kata-kata yang merenggut kebahagiaan bocah yang berusaha mau tahu tentang segala hal baru didunia ini. Sungguh malangnya aku, baru mau belajar bercinta namun harus sudah mendapatkan pelajaran patah hati.
Nama yang disebutkan diawal tulisan ini yang telah menenangiku pada posisi sakit itu. Aku tidak menyangka, obat patah hati itu adalah anak perempuan yang dahulu aku benci gerak-gerik dan parasnya. Dia membuka ruang untuk tempat menaruh curahan hatiku. Dia bersedia menjadi tempat sampah untuk membuang segala keluh kesahku. Benci jadi cinta itu memang teori yang keberadaannya bisa dibenarkan. Siapakah pencipta teori itu? mungkin orang yang pernah merasakan hal yang pernah aku rasakan juga. Jatuh cinta sangatlah sering bagiku pada waktu itu, tapi itu belum bisa dibilang cinta pertama. Cinta itu suka sama suka dan bukan terpaksa. Â Kami berjalan cukup lama sampai akhirnya cinta pertama itu memang harus terpisah dengan indah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H