Mohon tunggu...
Hermawan Setyanto
Hermawan Setyanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

terima kasih kepada semuanya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Laki-Laki Best Seller (Based on True Story) 2

7 Februari 2012   15:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:57 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1328626931157562750

Taman kanak-kanak

Pagi itu dari rumahku yang sederhana, aku bersiap-siap untuk berangkat menuju sekolah taman-kanak yang tidak terlihat seperti taman dan tiap kelasnya lebih mirip seperti kontrakan dengan biaya sewa saat ini sekitar Rp. 500.000,-/bulan didaerah Jakarta. Seperti biasa, Ibuku selalu menyiapkan makanan sarapan dan tentu juga makanan dan minuman untuk bekal aku disekolah pada pgi hari. Bapakku sedang bersiap-siap menuju kantornya yang berjarak sekitar satu setengah jam dari rumahku dengan menggunakan bus kota.

“ Mama, tempat minum saya udah jelek ma,” kataku menunjukkan tempat minum yang sudah kotor dan sedikit lecet.

Ibuku berkata “iya, nanti kalo mama gajian, mama pasti beliin yang baru,” Janji ibuku yang pasti akan ditepatinya. Berbeda dengan ayahku yang jarang aku lihat dengan mata dan kepalaku sendiri menjanjijkan sesuatu yang membuat aku gembira.

Pukul 06.30 pagi aku akhirnya berangkat dari rumahku menuju sekolahku yang berjarak kurang lebih 500 m dari rumahku. Seperti biasa, aku menghampiri rumah Ajeng disamping rumahku yang  anatara tembok rumahku dan rumahnya  menempel satu sama lain.

“Ajeng, Ajeng.” Panggilku didepan rumahnya yang lebih besar daripada rumahku beberapa meter.

Akhirnya Ajeng keluar dari rumahnya bersama ibunya yang biasa disebut dengan ibu Dana karena memang anak pertamanya bernama Dana. Ada kemungkinan nama Dana tersebut memiliki arti bahwa agar anaknya tersebut kelak akan memberikan dana segar kepada keluarganya. Hehehe...

“Wan si Faiz mana? Kok ga sama kamu?” tanya Ajeng kepadaku.

Aku menjawab, “aku ga tau jeng, biasanya pagi-pagi dia udah nyamper aku.”

“ya udah, kalo gitu kita berangkat duluan aja deh, daripada nanti kita terlambat, disuruh nyanyi lagi sama bu guru,” Kata ajeng padaku.

Akhirnya kami berjalan berdua menyusuri jalan perumahan non-elite yang jalannya tidak begitu bagus namun telah diaspal. Setelah sekitar 15 menit akhirnya kami sampai juga di TK tercinta yang menjembatani awal pendidikan ku ke tingkat yang lebih tinggi. Aku langsung mengambil buku catatan dan menaruh tasku di loker yang berbentuk persegi yang memiliki beberapa lubang seukuran 30cm x 30 cm untuk tempat menaruh tas-tas para murid di kelas nol kecil di TK tersebut. Sekitar jam 7 pagi akhirnya Ibu guru masuk kedalam kelas. Aku duduk disamping jendela yang memiliki kaca tipis dan sedikit berdebu. aku melihat keluar kaca, aku melihat sosok wajah putih berambut keriting ikal berlari dengan seorang wanita berkerudung. Iya, Dia adalah Faiz yang terlambat setengah jam masuk ke kedalam kelas.

“Assalamualaikum,” Kata ibunda Faiz.

“wa alaikum salam.” aku dan murid lain beserta ibu guruku serentak menjawab salam tersebut.

“Kenapa, kok Faiz telat?” Tanya ibu guru.

Ibunya menjawab “Tadi Faiz telat bangunnya, maafkan ya bu.”

Iya, tidak apa-apa. tapi lain kali ga boleh telat lagi ya.” Kata ibu guruku yang memakai kerudung dengan paduan rok panjang yang menutupi seluruh bagian kakinya dan menyisakan sandal sepatu yang  terlihat.

Ibu Faiz keluar dari kelas kami dan meninggalkan Faiz yang sedang berdiri didepan kelas.

“Faiz, karena kamu telat, kamu harus bernyanyi.”kata ibu guruku.

“Nyanyi-nyanyi-nyanyi-nyanyi--” serentak kelas nol kecil itu berteriak bersama.

Muka Faiz pun mulai memerah. Oh iya satu lagi yang lucu dari faiz, dia itu tidak bisa menyebutkan huruf  R dan S secara fasih. Istilah yang lebih familiar adalah cadel.

“Topi ttssaya Bundahkr, bundahkr topi ttssaaayaa, kalo tidak bundaahkr, bukan Topi tsaayaa,”lantunan lagu topi saya bundar yang dinyanyikan oleh bocah cadel dengan raut wajah yang polos ditambah gigi depan yang ompong serta keringat yang membasahi wajah putihnya.

Setelah aku cermati celana yang dikenakan Faiz, aku melihat bagian depan celananya basah. Mungkin karena dia gugup atau nervous membuat dia sampai terkencing-kencing.

“waaaah, Faiz kencing di celana!!!” teriakan ku membuat seluruh isi kelas tertawa.“hahahahahaaaaa.”  Faiz pun menangis  sehingga membuat keadaan kelas menjadi sunyi senyap hanya meninggalkan isak tangis Faiz dan membuat aku sedikit merasa tidak enak.

Aku sangat mengingat kebiasaan ku pada saat duduk dipinggir jendela kaca yaitu menangkap lalat yang terpojok di bagian sudut jendela kaca tersebut. Setelah menangkapnya, lalu aku menghitungnya. Entah apa yang ada dipikiran ku saat kecil itu, aku pun tidak tau apa kenikmatan dari menangkap lalat yang tidak berdaya di sudut kaca jendela tersebut. Seingatku, setiap hari pasti ada beberapa lalat yang berakhir na’as ditanganku yang membuat aku tidak memperhatikan bu guru.

Pada jam 10 pagi akhirnya aku pulang dari TK tersebut. Aku dengan teman-teman ku berjalan bersama karena sebagian dari mereka menuju arah yang sama. Aku, Faiz, Ajeng, Susan dan Arga berbincang sambil berjalan. Tangisan dari Faiz tadi sudah kami lupakan dan aku sudah kembali tidak merasakan kesalahan apa-apa begitu juga dengan Faiz. Anak kecil akan lebih mudah memaafkan kesalahan orang lain menurutku karena mereka belum mengerti apa yang disebut dengan dendam. Sesampainya dirumah aku langsung berganti baju yang dibantu oleh pengasuhku mbak Atun. Tidak selang beberapa lama, telpon rumahku berdering dan akupun bisa menebak siapa dibalik orang yang membuat telpon rumahku berdering, yaitu Ibuku. Seperti biasa ibuku selalu menelpon rumahku sekitar jam 11 atau jam 12 siang dari kantornya untuk sekedar menanyakan bagaimana keadaanku dan adikku.

Ibuku pernah berkata padaku setelah aku remaja, “dulu Kalo Mama nelpon kerumah pas Mama dikantor, pasti yang ngangkat Mawan, kalo Mama nanya udah makan apa belum pasti Kamu jawabnya udah, Mama Tanya lagi, makannya pake apa, Kamu pasti selalu jawab makan pake nasi, ayam, sama bayem. " serunya.

"Itu terus jawabannya setiap hari padahal ga setiap hari kita makan pake ayam,” lanjutnya sambil tersenyum manis. Hehehehe.. Lucu mungkin, tapi masa kanak-kanak seperti itu aku menganggap bahwa bukan diriku yang mengendalikan badan dan fikiran ku. Setelah aku dewasa aku juga tidak menyangka pernah melakukan hal-hal aneh yang aku dengar dari cerita orang-orang.

Sore pun menjelang, sekitar jam 15.00 waktu Tangerang dan sekitarnya, waktunya aku pergi ke TPA yg bertempat di TK tempat ku belajar pada pagi harinya. TPA itu singkatan Taman Pendidikan Alquran, ya benar sekali aku datang kesana untuk belajar mengaji, mengaji Alquran atau tepatnya Iqro. Iqro merupakan buku panduan awal belajar Alquran yang dalam se-pengetahuan ku buku tersebut ada dari jilid 1 s/d  6, nama yang tercantum dibuku Iqro tersebut adalah K.H. As'ad Humam. Orang ini menurut ku sangat berpengaruh dalam membuat orang-orang islam di Indonesia memahami huruf-huruf  hija’iyah. Yang aku tau juga buku Iqro itu cuma ada satu yaitu yang ada nama dari K.H. As'ad Humam dan dibelakang buku tersebut terdapat foto laki-laki kurus mengenakan jas dengan peci hitam dikepalanya yang membuat aku merinding melihatnya pada waktu kecil. Dibuku iqro yang terpisah secara tingkatan, terdapat perbedaan warna ditiap levelnya yaitu Iqro tingkatan 1 berwarna merah, yang ke-2 berwarna hijau, yang ke-3 berwarna biru, yang ke-4 berwarna oranye, yang ke-5 berwarna ungu dan yang terakhir berwarna coklat. Lucunya aku baru menyadari bahwa di cover depan Iqro bagian bawah tertera tulisan “Hati-hati buku Bajakan, bisa tidak barokah”.

Sebelum aku masuk kedalam kelas, aku bermain alat-alat permainan yang memang tersedia di halaman samping TK ku. Aku bermain ayunan dengan tempat duduk cukup untuk empat orang dengan posisi saling berhadapan. Aku bermain ayunan bersama dengan 2 orang temanku. Seragam yang aku kenakan pada saat itu adalah seragam khusus untuk TPA, yaitu baju batik lengan panjang berwarna biru dengan celana panjang berwarna biru muda serta dasi kupu-kupu dan tidak lupa peci yang senada dengan warna celana yang aku pakai. Karena keasyikan bermain ayunan, aku tidak peduli kalau waktu mengaji telah dimulai. Aku masih mendorong ayunan tersebut yang didalamnya terdapat dua orang temanku. Aku mendorong ayunan itu sangat kencang hingga temanku meminta menghentikan ayunan tersebut dan aku menghiraukannya.

Semakin kencang dan tinggi ayunan tersebut mengayun dan pada saat itu juga ada yang memanggilku dari belakang.

“Mawan---”

Aku menoleh kebelakang dan aku melihat sosok guru pengajianku. Tiba-tiba aku merasa ada yang menabrak ku dari belakang, ternyata ayunan tersebut berhasil membuatku menghentikan permainan tersebut. Walhasil ayunan tersebut membuat bagian belakang baju TPA ku robek sekitar 30 cm dan membuat punggungku terluka dan berdarah. Lukanya cukup panjang yaitu meliputi bawah leher sampai atas pinggang.

” huuhuuuhuuuuuu”aku menangis dengan kencang, dan guru pengajian itu menghampiriku.

“coba sini bapak lihat lukanya, waah ini cukup parah tunggu bapak cari obat sebentar.” Kata beliau.

Pada saat guru mengajiku mencari obat, aku tak tau apa yang  terlintas di fikiranku.  Langsung aku berjalan menuju rumahku sambil menangis dengan baju yang bagian belakangnya  terbuka karena sobek terhantam ayunan  dengan membawa luka yang menganga dipunggung. Dari TK tersebut aku menangis sampai aku berada dirumah dan meninggalkan tas beserta isinya di samping halaman TK tempat terjadinya tragedi berdarah tersebut.

Bersambung...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun