Mohon tunggu...
Hermawan Setyanto
Hermawan Setyanto Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

terima kasih kepada semuanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

PENCUCIAN UANG ITU BOLEH, ASALKAN...

17 April 2014   21:35 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Photo: by Google

Banyak sekali media memberitakan mengenai kasus pencucian uang, khususnya mengenai kasus yang berhubungan dengan gratifikasi. Televisi atau media pun memiliki cara untuk menggunakan gratifikasi kepada komunikannya sehingga audience ditawarkan acara TV yang memuaskan hasrat mereka dan akan terus memilih acara tersebut. Hal ini lebih dikenal dengan teori uses and gratification yang menurut penulis adalah gratifikasi yang menggunakan taktik manis. Namun kita tidak akan menuju ke ranah itu, melainkan praktik gratifikasi yang sudah menjadi istilah popular saat ini, atau praktik sogok-menyogok. Praktik gratifikasi ini bukan sebuah praktik yang baru, bukan juga baru ada pada era milenium. Lebih jauh lagi gratifikasi sudah menjadi budaya kekeluargaan yang diajarkan kepada sanak keluarga kita di Indonesia. Sebagai contoh seorang ibu menyuruh anaknya untuk membawa makanan atau minuman untuk seorang guru pada saat bimbingan belajar untuk menghadapi ujian sekolah. Atau seorang guru sekolah menyuruh seorang muridnya untuk membeli buku agar menutupi kekurangan nilai pada saat nilainya jatuh dibawah nilai standar kenaikan kelas yang ditetapkan sekolah. Ini merupakan sebuah kenyataan dari realitas kehidupan, bahkan penulis merasakannya sendiri.

Dalam tingkat professional, gratifikasi makin merambat dengan baik, subur bagaikan tanaman bayam, kacang panjang, buncis, wortel, kentang, kluwek, yang selalu ada di pasar inpres, pasar induk, pasar kaget, tukang sayur keliling meskipun setiap hari tanaman tersebut dicabut atau dipetik dan dinikmati masyarakat banyak. Praktik ini sering digunakan oleh banyaknya perusahaan yang memiliki kesamaan bidang usaha yang mencari celah untuk mendapatkan keuntungan. Tak tanggung-tanggung dana yang digelontorkan mencapai jutaan bahkan milyaran rupiah, ini berarti keuntungan perusahaan tersebut melebihi uang yang dikeluarkan untuk menyogok pejabat terkait. Alih-alih untuk meloloskan proyek besarnya, mereka malah tersandung kasus sogok-menyogok yang diidentifikasi KPK dengan menggunakan metode penelusuran aliran dana yang masuk ke rekening maupun menjadi asset kekayaan pribadi pejabat yang mem-fadhol kan nilai mata uang luar maupun negeri sendiri terkumpul banyak dengan deretan angka nol dan titik yang berbaris rapih pada saat pengecekan saldo. Pejabat ini serta merta menjadi baik kepada keluarganya, temannya, saudaranya, tetangganya bahkan sampai artis wanita cantik yang tidak pernah satu guru satu ilmu dan tidak pernah ganggu pun menjadi kenal dan akrab hingga orang mendadak baik ini memberikan uang, mobil sampai rumah kepada mereka.

Hal yang harus disadari gratifikasi seperti ini gratifikasi jenis kemaruk. Gratifikasi penimbun kekayaan pribadi yang dilihat orang terlihat sebagai maling yang memanfaatkan jabatan sendiri. Dilihat dari segi citra berdasarkan pendapat dari Canton, yang mengutarakan bahwa citra merupakan kesan perasaan, gambaran diri dari publik terhadap sesuatu, berarti dirinya sudah memiliki kesan perasaan, gambaran yang sudah terukir secara otomatis di hati masyarakat bahwa dirinya itu curang. “Kenapa Pak Rudy tidak membaginya kepada kami?” mungkin itu salah satu pertanyaan yang terlontar di sebagian masyarakat. “Kenapa dia tidak membagi uang itu kepada pencukur rambut DPR (dibawah pohon rindang), tukang isi gas korek keliling, tukang tambal wajan, dan tukang-tukang lain yang cari uang sampai kulit gosong?” Bagaimana cerita kelanjutannya bila uang hasil gratifikasi itu sampai kepada masyarakat banyak secara rata? Atau digunakaj untuk membuat suatu wadah kegiatan skala nasional yang memajukan kepentingan bersama tanpa mengambil keuntungan sepeserpun dari hal itu. Seperti kegiatan pendidikan usaha kecil menengah, pembangunan jembatan, renovasi sekolah terpencil. Tentu lain hasilnya dengan nilai citra pejabat yang berkembang dimasyarakat sebagai maling. Paling tidak gelar orang dermawan bisa disematkan, atau julukan pahlawan seperti Robinhood, meskipun sang pejabat tetap harus diperiksa KPK dan masuk ruangan sidang pengadilan Tipikor. Namun namanya harum terukir di sejarah bangsa ini, mungkin saja namanya bisa masuk buku paket sejarah anak Sekolah Menengah Pertama, muncul di soal ujian nasional dan menjadi kisah eposmengenai patriotisme baru, cerita jenis lama yang jarang kita temui di toko buku rak biografi. Ihwal mengenai ini tidak pernah dipikirkan. Bahkan secara praktis tidak pernah dilakukan saat ini. Sudah kaya dan terus ingin tambah kaya, tidak melihat ke rakyat yang miskin dan tidak ingin terus miskin. Uang dicuci dengan memasukkan ke mesin cuci yang sudah banyak pakaian kotornya, tidak dicuci di banyaknya papan penggilasan tradisional yang ada di negeri ini. Apa mungkin mental pemimpin kita sudah tidak ada yang bisa hidup sederhana seperti daiktator Portugal, Salazar yang tidak memliki pasangan hidup yang mungkin bisa mempengaruhi metode hidup hematnya? Atau tidak ada yang memiliki pemikiran seperti Fidel Castro yang mengutarakan bahwa rakyatnya adalah obat dari sakit yang dideritanya.

Mungkin kenyataannya memang susah melewati jumlah uang yang banyak didepan mata, prinsip hidup yang mengedepankan kemaslahatan bersama bisa menjadi kuncinya.  Paling tidak membantu banyak orang mengentaskan kemiskinan mereka sendiri. Mekipun uang hasil sogok, bila ditempatkan ditempat yang benar bisa menjadi sesuatu yang gurih dan nikmat diperbincangkan orang banyak pada saat menyeruput kopi bersama para sahabat.  Asalkan terbuka kepada Pemerintah, berbagi kepada masyarakat kecil, pencucian uang gratifikasi relatif menjadi nilai yang baik. walaupun pada dasarnya Pemerintah dan perusahaan terkait tidak boleh mengetahui maksud dan tujuan awal meng-iya kan gratifikasi tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun