Merdeka! Satu kata yang tercipta dari ribuan pembebasan. Merdeka bukan bebas. Merdeka adalah lebih dari bebas. Merdeka itu kehidupan kembali menjadi baru. Kehidupan yang penuh dengan komitmen. Komitmen untuk menjaga. Menjaga tatanan masyarakat. Masyarakat yang menjalani Pancasila.
Apa aku salah tinggal di tempat ini? Tempat ini adalah tanah kelahiranku. Tepat di dataran tinggi ini. Kalian tahu kenapa aku sedih dengan tanah kelahiranku ini? Disini banyak sumber kehidupan, mata air, banyak mata air di tempatku ini. Tetapi warga disini harus membeli air itu. Betapa muaknya aku dengan tempatku ini. Semoga saja masih tersisa satu mata air yang dapat aku minum tanpa harus membayarnya.
Pagi ini, bahkan telampau sangat pagi bagi aku seorang siswa sekolah dasar untuk bangun dan membantu ibu menyiapkan jualan nasi uduknya. Sebelum adzan Subuh berkumandang aku sudah membersihkan diri. Aku dan para warga lain yang tidak memiliki kamar mandi sendiri harus buru-buru untuk mandi bergantian di MCK umum. Tepat di pagi ini aku termenung selagi beol. Menatapi gayung biru yang terisi air penuh, kemudian aku guyurkan ke kloset.
Selesai membantu ibu, aku bergegas menuju sekolah. Menumpangi mobil pick up bersama teman-teman dan beberapa warga yang hendak ke desa seberang bukit. Bersama pikiranku yang masih merenungi untuk tanah kelahiranku ini. Teman-teman bercerita dengan satu yang lainnya. Aku masih terdiam, sampai sobatku menegurku.
“San, kenapa kamu dari tadi terlihat termenung saja?”
“...”
“San, lagi mikirin apa sih kamu? Kok ditanya malah diam saja.”
“Ehhh Cok, aku lagi mikirin tentang desa kita.”
“Memangnya kenapa sih? Perasaan tidak ada apa-apa tentang desa kita deh.”
“Kamu enggak merasa ya Cok, kalau di desa kita ada yang salah? Airnya. Mata air di desa kita kan banyak, tapi kenapa ibu harus membayar untuk air minum? Cok, kita harus menolong desa kita. Jangan sampai seperti ini melulu.”
“Iya sih, tapi kita bisa apa?”