Aduhai, lekuk indah jikalau dirinya tersenyum. Manis. Tapi sayang, dia hanya lesung pipit. Lesung pipit yang tidak semua orang miliki. Seperti adik perempuanku, maksudnya adik-adikan. Aku dan dia bukan satu darah. Kami memiliki komitmen kakak-adik saja. Iya, begitu adanya. Kami berbeda agama. Tidak mau dan tidak mungkin kami memiliki hubungan serius. Meski di negara ini untuk menikah itu bebas. Mau yang berbeda agama atau sesama jenis boleh. Tapi bagiku tidak.
Beginilah hidup dengan agama, harus tetap menjaga. Menjaga norma agama. Aku mengenal dia di hari Sabtu tepat saat kegiatan kampus. Kami duduk bersebelahan, yes, acara waktu itu adalah seminar tentang perbankan. Dari situlah semua bermula. Dia yang mengajak berkenalan terlebih dahulu. Harus aku akui kalau aku bukanlah orang yang mudah bersosial, apalagi untuk berkenalan dengan seorang gadis.
Saat pembukaan seminar, sebetulnya aku sudah mencuri-curi pandang dengan dia. Tapi aku malu untuk berkenalan. Entah, sepasang lesung pipit yang hinggap di pipinya begitu menakjubkan. Apalagi saat dia tersenyum kepadaku dan dia memulai perbincangan di tengah-tengah menunggu seminar dibuka.
“Permisi, kakak.”
“Iya.”
“Aku Sagita, mahasiswa baru Fakultas Ekonomi.”
“Uhm. Iya, saya Moro.”
“Kakak mahasiswa FE juga ya? Tingkat berapa kak?”
“Iya dik, saya tingkat tiga.”
Lihat kan, betapa gugupnya aku. Aku terhipnotis sekejap. Mataku bukan terfokus pada tubuhnya yang indah atau rambutnya yang lurus. Tetapi, lesung pipitnya itu loh. Selesai seminar aku memberanikan diri untuk minta pin BBM dia. Yes, dapat. Pendekatan dilakukan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI