Sejak awal berdirinya Negara Indonesia, yang dimulai ketika gagasan mengenai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) mulai dirumuskan dan dirundingkan oleh para pendiri negara (the founding fathers) ini, gagasan mengenai tercapainya kesejahteraan rakyat telah menempati topik yang sangat penting dan fundamental. Motivasi utama dari usaha dan kegigihan para pendiri Negara Indonesia (the founding fathers) ini untuk memerdekakan Indonesia dari tangan para penjajah adalah untuk mencapai keadaan rakyat yang sejahtera dan menikmati keadilan sosial secara penuh (Azhary: 1995).Â
Semangat untuk mencapai kesejahteraan rakyat ini diwujudkan dengan dituangkannya aspek mengenai kesejahteraan rakyat pada alinea keempat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tepatnya pada bagian tujuan dari berdirinya Negara Indonesia, yang berbunyi "memajukan kesejahteraan umum." Bisa dikatakan, semangat untuk menyejahterakan Rakyat Indonesia telah menjadi "DNA utama" dari Negara Indonesia.
Dengan didorong semangat untuk mewujudkan "DNA utama" dari Negara Indonesia ini, setiap pemimpin negara ini, rezim berganti rezim, selalu berupaya menunjukkan komitmen dan perhatian mereka terhadap aspek kesejahteraan rakyat dalam berbagai bidang. Hal ini mudah dilihat dan diketahui sejak para calon pemimpin negara ini melakukan kampanye untuk mengumpulkan suara rakyat.Â
Kegiatan blusukan (terjun langsung ke lapangan/masyarakat), penggemboran rupa-rupa program untuk menaikkan derajat hidup rakyat, terutama rakyat tidak mampu, hingga janji akan perhatian terhadap pendidikan setiap anak bangsa merupakan tiga program kerja utama yang tidak pernah dilewatkan oleh para calon pemimpin bangsa ini untuk digemakan setiap kali momen kampanye berlangsung. Aspek mengenai kesejahteraan rakyat telah sukses menjadi "fulus politik" yang manjur bagi setiap pemimpin negara ini.
Tercapainya kesejahteraan rakyat ini tentu tidak hanya menjadi perhatian Negara Indonesia saja, tetapi juga menjadi perhatian bagi dunia internasional. Perhatian dunia internasional akan kesejahteraan rakyat dunia ini semakin dikukuhkan dengan diluncurkannya Program Sustainable Development Goals (SDGs) oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tanggal 25 September 2015.Â
Peluncuran program ini dihadiri langsung oleh Wakil Presiden Indonesia saat itu, Jusuf Kalla. Sustainable Development Goals (SDGs) berisi tujuh belas sasaran untuk mencapai pembangunan berkelanjutan yang diklasifikasikan lebih lanjut ke dalam 169 target untuk perbaikan derajat hidup setiap individu. Di dalam SDGs ini tentu memuat perhatian yang sentral akan aspek kesejahteraan rakyat, seperti pemberantasan kemiskinan, pemerataan pendidikan, dan perbaikan kondisi iklim. Program SDGs ini memiliki slogan andalan, yaitu "No one leaves behind."
Apakah segala janji dan upaya realisasi dari rezim berganti rezim itu untuk mencapai kesejahteraan rakyat itu telah berpengaruh terhadap peringkat Indonesia berdasarkan penilaian atas pencapaian terhadap Program SGDs? Tidak ada jawaban yang lebih pasti akan pertanyaan tersebut selain data survei sendiri yang berbicara.Â
Hingga tahun 2019, pencapaian Indonesia atas Program SGDs ini menempati peringkat 101 dari 196 negara yang disurvei. Dalam tingkat ASEAN (regional), Indonesia menempati peringkat 6 dari 9 negara. Secara nilai rata-rata, Indonesia memperoleh skor 64, dimana nilai rata-rata dunia adalah 65.Â
Jika dibandingkan dengan salah satu negara tetangga, Thailand misalnya, negara tersebut menempati peringkat 41 di dunia. Hasil survei ini tentu menimbulkan pertanyaan dari setiap Rakyat Indonesia, mengingat setiap pemimpin ini telah mengerahkan "manuvernya" semaksimal mungkin untuk perbaikan kesejahteraan setiap Rakyat Indonesia. Belum lagi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sudah banyak digelontorkan untuk hal ini.
Setelah ditelisir lebih lanjut, penyebab dari gagalnya Indonesia untuk mencapai peringkat SGDs yang baik disebabkan karena kurangnya partisipasi aktif dari setiap masyarakatnya itu sendiri. Ada sebuah pola pikir yang dimiliki oleh sebagian masyarakat Indonesia, yaitu mereka berpikir bahwa kesejahteraan negara dan rakyat sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Tugas rakyat hanyalah menerima "suapan" bantuan dari pemerintah.Â
Kejadian pengemplangan pajak yang masih marak, kondisi sungai/kali di berbagai kota besar yang masih dipenuhi sampah, kesadaran untuk ikut serta dalam program pengendalian penduduk yang masih rendah, hingga masih tingginya konsumsi produk pangan yang tidak sehat di Indonesia adalah sebagian kecil contoh nyatanya. Ketika pemerintah dirasa kurang, atau bahkan gagal dalam memenuhi kesejahteraan rakyat, maka mereka langsung menyalahkan sepenuhnya keadaan tersebut kepada negara.Â