Alangkah prihatinnya negeriku ini, berbagai aspek kepentingan selalu menjadikan hal yang baik berubah menjadi bukan prioritas lagi dari sebuah komitmen bangsa. Seperti halnya Rokok yang saat ini menjadi primadona mengepul di negeri ku Indonesia, tidak sedikit orang mengatakan “rokok merupakan bagian dari penghasilan cukai negara terbesar, cukainya jangan di naikan lagi sudah cukup dan aspek para pekerja di dalamnya yang sejahtera”.
Ironis, kalimat yang keluar dari pernyataan “Rokok penghasilan negara terbesar, cukainya jangan di naikan lagi sudah cukup dan aspek para pekerja di dalamnya yang sejahtera” memiliki fakta yang mengejutkan semua pihak, kita sebagai anak bangsa mesti merasa malu sebagai warga yang bertempat tinggal di suatu pemerintah yang bertumpu ekonominya pada sebuah cukai rokok yang disinyalir cukai tersebut sebenarnya adalah alat pengendali suatu konsumsi barang yang merugikan atau banyak mudhorotnya bagi diri kita. Dalam Perubahan UU cukai no 39 tahun 2007 ps 2 ayat (1) sudah jelas cukai bukanlah alat pendapatan negara, disetiap negara sekalipun cukai adalah perangkat atau alat denda bagi pengguna barang tersebut, lalu mau kemanakan wajah bangsa ini? Mengetahui Indonesia sebagai penikmat rokok sejati dan masyarakat yang di (telah) hasut dengan istilah budaya, maka percaya diri lah perusahaan asing berbondong – bodong menguasai pasar rokok karena di negara nya sendiri sulit berkembang oleh kebijakan ketat tidak seperti di Indonesia, Menurut Euromonitor tahun 2013 Pasar rokok Indonesia dijajah Perusahaan Asing 73,9%, diantaranya Phillip Morris International, BAT, KT & G Corp dan Japan Tobacco Industry. Hal ini menunjukan penjajahan akidah dari mayoritas penduduk muslim pada bangsa ini dengan mendukung keuntungan para penjajah melalui hasutan besar yang bisa kita rasakan.
Penerimaan negara atas produk ini menjadi bukti atau alat kuat atas berbagai alasan agar cukai tidak perlu di naikan cukup diangka yang statis seperti keinginan para penguasa asing. Hal tersebut sebetulnya membuat rakyat menderita dan negeri ini semakin terpuruk, bagaimana bisa demikian? Kembali ke UU Cukai no 39 Tahun 2007 Ps. 2 Ayat (1) dimana cukai adalah alat pengendalian konsumsi, pemerintah berkali-kali menetapkan peningkatan target nilai cukai dari tahun ke tahun dengan harapan berkurangnya angka pengguna, namun tidak demikian penerimaan cukai malah melebi target APBN yang telah di tetapkan, seperti pada grafik dibawah ini :
(Sumber : Presentasi BKF Kemenkeu dalam Kongress InaHEA, April 2015)
Kebijakan cukai dibuat untuk mengendalikan konsumsi. Oleh karena itu, keberhasilan UU cukai ini ditentukan oleh kemampuannya mengendalikan konsumsi rokok, bukan peningkatan penerimaan negara atas cukai. Dikatakan peningkatan negara secara global, sebenarnya negara semakin terpuruk wahai kawan – kawan, Misalnya pada suatu penelitian Soewarta Kosen ( Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan 2010), kerugian makroekonomi total terkait dengan konsumsi rokok Rp 245,4 triliun, sedangkan pemerintah mendapat penghasilan cukai dari rokok Rp 63,29 triliun. Menurut UU APBN yang di tetapkan pemerintah (No. 27 pasal 4 Tahun 2014 tentang APBN 2015) menjelaskan bahwa penerimaan cukai bukanlah yang terbesar, masih ada sektor lain yang menguntungkan pemerintah tanpa menciderai aturan lainnya khususnya UU cukai yang harus mengendalikan konsumsinya. Teori cukai rokok menolong negara sangat bertolak belakang dengan fenomena yang terjadi di lapangan dan sayang sekali pemuda harapan bangsa ini semakin lama seakan tenggelam dalam kebiasaan buruk yang ingin di lestarikan oleh para penguasa Asing di negeri ini.
Sebagian orang di negeri ini yang mempertahankan paradigmanya terhadap penyelamatan rokok dengan memberikan alasan para pekerja di dalamnya, hal tersebut sah-sah saja. Beberapa peneliti terkait dapat memberikan informasi yang lebih baik terhadap para pekerja yang bersinggungan dengan rokok, seperti Petani yang di survei dari data BPS (Badan Pusat Statistik) dari tahun 2009 hingga 2013 jumlah petani tembakau menurun dari 43.029.490 orang berangsur berkurang hingga 39.959.070, sedangkan di sektor pekerja industri dari 24.457.980 menjadi 28.712.050 serta di bidang jasa pada 2013 adalah 45.350.060; Hal tersebut menunjukan beberapa hal untuk kita ketahui khususnya para generasi muda :
- Para petani berkurang karena kesadaran sulitnya atau kalah bersaing dalam memanfaatkan sektor tembakau dan industri lebih banyak mendapatkan supplai tembakau impor dari 26.546 Ton (1990) menjadi 106.570 (2011) data ini diperoleh dari KEMENTAN tahun 2013.
- Petani tidak sejahtera pembuatan amunisi bom waktu untuk generasi muda terus bertambah dilihat dari kenaikan jumlah pekerja Industri (yang selalu diancam PHK).
- Upah nominal bulanan pekerja Industri rokok rata-rata adalah 669 ribu, di industri makanan 813 ribu dan di seluruh industri rata-rata 980 ribu. (BPS. Statistik Upah 2000-2013)
Saatnya kita bangkit dari keterpurukan ini, bangsa ini di jajah oleh paham yang modern yang di ciptakan oleh pendatang asing dengan memperalat saudara se-tanah air sendiri dan kita sebagai pemuda salah mengartikannya. Pemuda zaman sekarang adalah pemuda yang berperang memakai logika melawan penjajah untuk negerinya.
Semoga tulisan ini menjadi manfaat, bekal bagi kita semua agar terbuka pintu kebenaran dari asumsi lama yang diciptakan oleh para penguasa asing dengan niat tidak baik di negeri sendiri. Salam ku untuk generasi penerus bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H