Jika kita membaca kembali sejarah mengenai kaum jahiliyah arab pra-Islam. Maka kita akan menemukan fenomena keberagaman yang nampak sebagai bentuk dari "pluralisme agama" yang sebelumnya telah tumbuh subur dalam tradisi keberagaman masyarakat jahiliyah arab.Â
Bahwa paganisme yang berkembang di dunia Arab jahiliyah adalah sebuah penyimpangan dari agama Wahyu Nabi Ibrahim alaihissalam. Masing-masing kabilah pada masyarakat arab memiliki berhala-berhalanya sendiri-sendiri, yang dianggap sebagai tuhan-tuhan mereka. Akan tetapi, meski masing-masing telah memiliki tuhan-tuhannya sendiri, mereka tetap melakukan pemujaan kepada berhala-berhala dari kabilah lain. Hal itu menunjukan suatu bukti bahwa, pluralisme agama pada bangsa arab yang jahiliyah begitu berkembang di dalam tradisi keberagamaan masyarakat mereka.Â
Dikisahkan bahwa Amr bin Luhay mempunyai pembantu dari golongan Jin. Jin ini kemudian membisikan kepadanya bahwa berhala-berhala kaum Num (Wud, Suwa', Yaghuts, Yauq, dan Nasr) terpendam di Jiddah. Maka dia datang ke sana untuk mengambilnya, lalu membawanya ke Tihamah. Dan setelah tiba musim haji, dia menyerahkan berhala-berhala itu kepada berbagai kabilah. Akhirnya berhala-berhala itu kembali ke tempat asalnya masing-masing, sehingga setiap kabilah dan di setiap rumah hampir pasti ada berhalanya yang bermacam-macam itu. Mereka juga memenuhi Masjidil Haram dengan berbagai macam berhala dan patung. (Sirah Nabawiyah, hlm. 23-24. Pustaka Al-Kautsar)Â
Meski kabilah-kabilah Arab jahiliyah memiliki masing-masing tuhan-tuhan dari berhala, namun mereka bersepakat jika Uzza adalah sebagai tuhan yang paling teragung, maka dari itu mereka semua juga berbakti kepadanya. (Ibnul Qalbi, al-Ashnam, hlm. 11)
Mengetahui kenyataan bahwa paham pluralisme agama juga telah tumbuh dan berkembang pada bangsa Arab jahiliyah, maka hal itu dapat menjadi sebuah argumentasi untuk meruntuhkan kesan "modern" dan "maju" dari paham pluralisme. Karena ternyata, paham ini bukan saja hanya tumbuh di dunia Kristen Barat yang dianggap sebagai sebuah kemajuan, tapi juga pernah diyakini oleh masyarakat Arab jahiliyah yang sangat terbelakang.Â
Di Barat, pluralisme memiliki akar yang dapat di lacak jauh kebelakang, tapi yang paling dominan adalah dari akar nihilisme dan relativisme Barat yang Post-Modern. (Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat: Refleksi Tentang Westernisasi, Liberalisasi, dan Islam. Hlm.137)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H