Hukum, tanggung jawab, serta contoh implementasi dari sejarah Muslim terhadap pluralitas agama begitu banyak kita dapati mengenainya dari zaman ke zaman. Mengingat sangat luas dan kompleksnya masalah ini, maka saya hanya akan membahasnya dari satu perspektif saja, yang tentunya sangat relevan untuk kita bahas dan pahami di saat sekarang ini. Yakni yang berhubungan dengan masalah Hak Asasi Minoritas (HAM) yang hidup di dalam komunitas ataupun negara kaum Muslimin. Yaitu mereka yang di dalam hukum fikih disebut dengan "Ahl al-Dzhimmah".
Berdasarkan status dzhimmi (tanggungan) mereka, komunitas Ahl al-Dzhimmah sebagai yang menjadi bagian dari "Ahl Dar al-Islam" (Penduduk Negara Islam). Â Dengan demikian mereka ini mendapatkan apa yang di zaman kita sekarang diistilahkan dengan status "kewarganegaraan" politis.
Sejatinya, ketentuan pola hubungan dengan pemeluk agama lain yang sepakat  hidup berdampingan dengan damai, secara umum telah digariskan di dalam Al-Qur'an atas dasar kebebasan bergaul, kebaikan, keadilan, toleransi, menghormati keyakinan dan  segala sesuatu yang  disakralkan, kebebasan beragama  dan tiadanya paksaan dalam beragama, serta tiadanya dialog antar agama kecuali dengan cara-cara yang baik.
Ketentuan ini berlaku kepada semua pemeluk agama apapun. Adapun para pemeluk agama samawi (Ahl al-Kitab), mendapat "keistimewaan" tersediri di dalam Islam, yaitu dihalalkannya sembelihan dan makanan mereka, serta dibolehkan pula untuk menikahi wanita-wanita dari kalangan mereka.Â
Dalam mengomentari masalah ini, Syaikh Yusuf al-Qardawi menyatakan bahwa "hal ini sesungguhnya mencerminkan sikap toleransi yang luar biasa dari pihak Islam, yaitu dengan membolehkannya  seorang Muslim untuk menikahi seorang wanita non-Muslimah dari kalangan Ahl al-Kitab sebagai isterinya dan ibu dari anak-anaknya, serta pengasuh  dan pengatur rumah tangganya. Begitu juga sebagai konsekuensinya, menjadikan paman-paman anak-anaknya terdiri dari orang-orang non-Muslim". (Yusuf al-Qardawi. Ghayr al-Muslimin, hlm. 19-20)
Menepati janji kepada non-Muslim juga salah satu jenis dari perlindungan yang diberikan kaum Muslimin terhadap non-Muslim di bumi Islam, setelah mereka menunaikan hak pengakuan mereka terhadap kekuasaan kaum Muslimin dan membayar Jizyah. Maka dari itu, pemerintahan Islam tidak boleh mengambil dari mereka lebih dari apa yang telah disepakati.
Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah Ta'ala tidak menghalalkan kamu untuk memasuki rumah-rumah ahl kitab kecuali dengan izin dan tidak boleh memukul wanita mereka dan tidak boleh memakan buah-buahan mereka apabila mereka membayar kewajiban mereka" (HR. Abu Dawud)
"Barangsiapa dengan sengaja membunuh seorang kafir yang telah terikat dengan perjanjian (mu'ahid) di dalam ketidak benarannya, maka Allah Ta'ala mengharamkan surge atasnya" (HR. Abu Dawud dan Nasa'i)
Sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim terhadap non-Muslim, atas larangan untuk memaksa mereka mengubah agama mereka, serta ketidak-bolehannya seorang Muslim untuk membantah agama mereka, kecuali dengan cara-cara yang baik.
Adapun jika seorang non-Muslim memeluk Islam, maka gugurlah seketika itu status kedzimmiannya, dan ia menjadi Muslim yang sama mempunyai hak dan kewajiban  seperti Muslim lainnya.