Mohon tunggu...
Putra Nusantara
Putra Nusantara Mohon Tunggu... -

Hanya manusia yang ingin hidup tentram dengan alam

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Fanatisme adalah Sumber Bencana!

8 Juni 2014   06:09 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:45 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fanatisme, dalam bentuk apapun, hanya akan membawa kita kepada bencana.

Apakah fanatisme? Fanatisme adalah cara pandang berlebih terhadap sesuatu, entah sesuatu itu positif/negatif, untuk kemudian menjadi landasan dalam mensikapi sesuatu tersebut secara berlebihan tanpa menggunakan lagi logika, kemanusiaan, dan pertimbangan-pertimbangan lain. (sumber : www.psikoterapis.com)

Nah, biasanya, fanatisme sangat mempengaruhi pola pikir, cara pandang, dan cara bersikap seseorang. Perhatikan saja, seseorang yang terjangkit fanatisme akut biasanya orang yang egois dan antisosial.  Ia cenderung menutup diri dan bergaul hanya dengan kelompok atau orang yang sepandangan dengannya. Ia memandang diri atau kelompoknya lah yang paling benar. Yang lain salah. Hingga tanpa disadari, sikap egois dan antisosial tersebut tumbuh subur dalam kesehariannya. Yang mengkhawatirkan, biasanya pengidap fanatisme tidak sadar kalau dirinya sedang terjangkit penyakit fanatis dan memaksakan egonya. Ia tak sadar bahwa sikapnya itu dapat memancing permusuhan dan membawa bencana, bukan hanya pada dirinya tetapi juga orang-orang di sekitarnya. Sangat berbahaya!

Bila sikap fanatis pada satu orang saja sudah dapat membahayakan orang banyak, apa lagi akibatnya bila sikap fanatis itu hinggap pada skala yang lebih besar; kelompok, suku, bahkan suatu bangsa? Tentunya bencana sebagai akibatnya pun bertambah pula skalanya. Beruntun dan berlarut.

Tak aneh bila bangsa kita saat ini mengalami degradasi. Lihat saja, kekerasan karena perpecahan dimana-mana. Entah itu atas dasar agama/sekte, suku, politik, maupun dendam pribadi. Akhirnya, sebagian waktu, pikiran, tenaga dan energi kita yang seharusnya bisa kita gunakan untuk memikirkan dan berbuat sesuatu demi kebaikan bangsa, menjadi terpakai sia-sia. Bila pun masih ada yang sadar dan meredam suasana, maka kesempatan dan waktu yang ada padanya untuk membangun bangsa menjadi berkurang karenanya, tersedot untuk menyelesaikan perkara.  Bila masih banyak diantara kita masih saja berlaku fanatis seperti ini, yang terjadi justru kita memundurkan bangsa. Berlawanan dari niat kita semula yang ingin memajukan bangsa. Sudahkah kita menyadari hal ini?

Tak bisa kita pungkiri, keadaan seperti inilah yang sekarang tumbuh subur di sekitar kita. Flashback 10 tahun ke belakang, akan kita jumpai pertikaian-pertikaian berdarah yang tidak saja merugikan masyarakat tetapi juga mencoreng nama bangsa. Lalu apakah kita hanya akan diam saja, hanya melihat dan menunggu saja hingga bangsa ini hancur karenanya, lalu mewariskan penderitaan akibat perang berlarut yang disebabkan fanatisme tersebut kepada anak-cucu kita?

Ah, lalu bagaimana cara memperbaikinya? Ada salahs atu cara; landasi sikap kita dengan belas kasih terhadap sesama. Sikap belas kasih akan membawa kita kepada sikap toleransi, memaklumi bila orang lain melakukan kesalahan. Dan toleransi akan membawa kita berempati bila orang lain merasakan penderitaan dan memerlukan bantuan. Empati akan membuat bangsa ini rukun, hingga kesempatan untuk membangun bangsa benar-benar tertuang sesuai rencana. Bangsa kita akan segera menjadi bangsa besar yang tidak hanya besar dalam jumlah penduduk saja namun juga besar dalam kualitas SDM nya

Tak ada salahnya bila kita mengalah, atau minimal diam, bila ada orang lain berkata sesuatu yang tak nyaman di hati kita. Adalah lebih baik bila kita memasang senyum, sambil berpikir dan mengatur kata-kata agar masalah tersebut selesai dengan tidak menyinggung perasaan orang lain, daripada mengumpat dan marah-marah yang akibatnya hanya memperpanjang masalah.

Nah, kapan lagi kita memulai kalau tidak saat ini? Mari segera sama-sama mengoreksi diri dan sama-sama memperbaiki diri. Demi ketentraman diri sendiri, demi kemajuan Indonesia, demi masa depan anak-cucu kita.

Jayalah Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun