Mohon tunggu...
Garth Irawan
Garth Irawan Mohon Tunggu... -

Menjadi mempesona, karena memahami bahwasanya; hidup adalah take and give, keep rolling, keep flowing, and swing it on!! :-)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menjadi Filsuf Sambil Bersepeda Motor

27 Mei 2010   10:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:55 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bersepeda motor ria memang mampu memberikan sensasi yang berbeda dengan kendaraan lainnya. Terpaan angin jalanan akan mengempas rambut , mengalir menyusuri setiap bagian kulit yang tidak terlindungi pakaian. Rasanya seperti sebuah kipas angin raksasa yang berputar kencang tertuju langsung kepada Anda.

Anda juga pasti pernah merasakan serunya saat-saat pertama kali naik sepeda motor. Saya sendiri telah memulainya sejak usia 10 tahunan walau hanya sekedar ikut-ikutan, berkeliling komplek dengan beberapa teman yang memakai sepeda motor orangtuanya.

Kami bertiga aysik berkeliling komplek, kebetulan daerah perumahan yang kami tinggali lumayan luas jalannya dan tidak terlalu padat warganya. Seingatku, kami memakai empat buah sepeda motor bebek Honda Astrea, Honda Supra, Suzuki Shogun, serta Suzuki Tornado.

Selain berjalan-jalan santai keliling komplek, kami juga sering trek-trekan (istilah lain balapan )namun hanya sekedarnya saja. Aku masih duduk di kelas 5 SD saat itu, di kelas ada dua orang anak laki-laki yang satunya kurus kerempeng dan yang satu lagi agak tambun, mereka gemar sekali ngetrek. Sayang prestasi mereka secara akademis bisa dikatakan cukup mengenaskan, karena pernah mengecap rasanya tidak naik kelas.

Namun kisah mereka sebagai pembalap liar sering menjadi perbincangan teman-teman. Ditambah lagi keduanya pernah bersekolah sambil memamerkan bekas luka yang besar karena jatuh saat balapan liar. Tragis dan kurang kerjaan memang apa yang mereka lakukan. Aku pun memahami apa yang membuat mereka menjadi nekat sperti itu, mereka mau cari sensasi, jenuh dengan kehidupan masa remaja, ingin cepat beken. Karena aku, maksudku salah seorang anggota gengku pernah mengalaminya juga. Sebut saja namannya Wanto, teman kami yang bertubuh gempal, namun lincah dan pandai melakukan akrobat dengan sepeda BMX, suatu kali saat aku masih SMP, kami ingin keluar, jalan-jalan, waktu pada saat itu aku yakin sudah lebih dari pukul 7 malam. Kami hanya punya aset satu motor saja, sedangkan jumlah kami berempat. Seperti biasa, laiknya anak remaja, kami selalu suka bertualang dan nongkrong ke tempat-tempat baru, yang lebih jauh dari sekitaran komplek perumahan kami.

Maka itu Wanto sang pemilik motor tersebut, kami "kompori" untuk "ngetrek" dengan tukang ojek daerah sekitar situ. Oke, Wanto pun setuju dan merasa pede. dengan skill balapnya. Setelah bernegosiasi, tukang ojek setuju untuk ngetrek dengan Wanto, dengan sayarat jika Wanto kalah, maka Wanto akan membayar Rp.20.000,- namun jika tukang ojek terebut yang kalah, maka ia akan meminjamkan motornya selama satu jam. Saat akan berlangsung, kami melakukan survey medan lebih dulu, sebuah putaran dengan panjang jalan  sekitar 3 kilometeran dari "start" sampai "finish". Saat bersiap hendak, balapan tiba-tiba Wanto merasa kuatir dan gelisah, ia merasa tidak yakin dengan kemampuan dirinya. Ia meminta kami turut berdoa baginya, karena sudah deal dengan tukang ojek, kami pun terus memberinya semangat, akhirnya ia siap beraksi.

Keduanya sama-sama motor bebek, mereka melesat dengan begitu cepat, aku mengamati dengan serius, namun saat tikungan, Wanto kalap dan kurang perhitungan, gerakannya menjadi begitu liar, ia mengarah menuju kotak telepon umum dipinggir jalan. Untung ia masih bisa menyelamatkan diri walau sambil terkesot-kesot mengerem sepeda motornya, namun apa daya tukang ojek meninggalkannya cukup jauh. Kami harus bisa menerima kenyataan ini. Dan akhirnya melakukan transaksi dengan si tukang ojek.

Saat ini Wanto sedang berada di Kanada, sebelum ke Kanada setelah lulus SMU dulu, ia memang menjadi jagoan balap sepeda motor, namun kali ini balapan resmi yang ia ikuti. Bukan lagi kelas "abal-abal" ala balapan liar.

Waktu aku memiliki sepeda motor pribadi dari Ayahku saat duduk di kelas 1 SMU dulu, memang yang ada rasanya hanya ingin memacu kecepatan setinggi-tingginya. Jarak dari rumah dan sekolah yang berjarak sekitar 12 kilometer menjadi medan pacu yang lumayan.

Bagiku rasa penasaran akan sensasi ngebut itu yang asyik. Namun setelah lebih dari 2 tahun mengendarai sepeda motor, perasaan itu memudar dan lebih santai dalam mengendarai sepeda motor, bahkan sangat santai, kecepatan rata-rata hanya berkisar 50-70km/jam saja. Ngebut menjadi tidak asyik lagi, bahkan cenderung terasa melelahkan.

Aku lebih menikmati mengendarai dengan santai sambil memikirkan banyak hal di benakku, jadi; sambil mengendarai motor juga sambil nikmat berkontemplasi. Saat seperti itu adalah saat yang kreatif, dengan kecapatan yang relatif konstan, pikiranku menerawang kemana-mana, berproses secara kreatif. Seringkali sebelum ujian waktu SMU dan kuliah, aku memakai waktu perjalanan di motor untuk melakukan otoprenstasi mengenai hal-hal apa saja yang sudah kupelajari.

Selain itu banyak juga memikirkan berbagai fenomena dan filosofi kehidupan, melakukan refleksi sosial dan introspeksi diri, wah... kesannya komplit memang

Di Jakarta yang sangat padat, menggunakan sepeda motor memang akan lebih efektif dalam hal waktu. Jika mengendarai kendaraan roda empat atau lebih maka perlu memajukan jadwal dan skedul untuk berangkat, agar bisa hadir tepat waktu.

Menggunakan sepeda motor memang tidak enak saat hujan, tanpa "persenjataan" yang komplit maka akan masuk pada fase-fase menyebalkan dan menjenuhkan, kalau tidak basah-basahan, ya berteduh, menunggu sampai hujan reda. Aku pernah menerobos hujan yang lebat. Waktu itu baru selesai pulang kuliah, perjalanan dengan  jarak sekitar 27 kilometer itu aku lalui, menjadi fenomena tersendiri memang, tentu kali ini dengan "persenjataan" lengkap, jas hujan beserta celananya; aku nekat menikmati saat-saat itu. Sampai di rumah, beberapa jam setelah itu, fisikku langsung drop dan beberapa hari kemudian kena DBD.

Bersepeda motor yang paling jauh aku lakukan hanya sejauh Bekasi-Bandung saja, sendirian. Hal itu terjadi saat aku masih duduk di kelas 3 SMU, dengan sebuah Yamaha Jupiter berwarna silver aku berangkat jam 4 petang hari dan sampai sana sekitar jam 10 pagi, karena mesti bermalam di sebuah pos polisi di daerah pedalaman, ternyata aku tersasar di jalan. Sampai di Bandung aku langsung menuju ke rumah nenek, dan MANDI!! wajahku sudah pekat penuh debu, dengan lingkar "eyes shadow" ala rakun. Aku terlihat mirip sekali seperti "garong".

Keuntungan bersepeda motor versiku: 1. Romantis untuk pacaran 2. Praktis,  bisa masuk gang-gang sempit, mau muter tinggal muter. Saat macet bisa selap-selip. 3. Lebih menyatu dengan alam Kerugiannya: 1. Kehujanan/Kepanasan 2. Lbih banyak kena debu daripada naik mobil 3. Capek dengan posisi mengendaranya

Di Jakarta yang begitu padat dan sangat aktif penduduknya, sepeda motor memang menjadi kendaraan tercepat yang mampu mendukung berbagai proses bisnis yang berlangsung. Begitu berlimpahnya pengendara motor, rasanya memang bukan karena salah siapa-siapa, namun karena kebutuhan untuk berjuang dan berkompetisi di Jakarta memang tinggi. Konsep mono-rail yang mantap mungkin bisa membantu mengurangi kepadatan pengguna jalan raya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun