Mohon tunggu...
Garin Prilaksmana
Garin Prilaksmana Mohon Tunggu... -

Penggemar sepak bola yang masih ingin banyak belajar karena ilmunya masih cetek

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Torres, Sejarah Tragis Pemain Spanyol dan Tradisi Striker

30 Agustus 2014   20:56 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:04 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

AC Milan akhirnya memilih Fernando Torres sebagai Mario Balotelli. Menurut laman resmi Chelsea, penyerang kelahiran 30 tahun silam ini tinggal menunggu kesepakatan pribadi sebelum terbang ke San Siro. Sama seperti kala I Rossoneri melepas Balo, kedatangan Torres juga mengundang pro dan kontra.

Ada yang menyebut jika kedatangan El Nino bukan solusi lini depan Milan, dan sebaiknya Alessio Cerci yang direkrut, namun banyak pula yang (mungkin mencoba) berpikiran positif, bisa saja tim merah-hitam bisa jadi tempat perbaikan karir sang pemain.

Torres telah bertransformasi dalam 5 tahun terakir dari predator jadi tukang humor. Video soal kelihainannya mencetak gol kala berseragam Atletico Madrid dan Liverpool, kini telah kalah banyak dibanding kegagalannya menceploskan bola dalam situasi mudah. Itu belum menghitung meme mengenai dirinya. Intinya Torres sudah kehilangan pamor.

Jika melihat pernyataan diatas, mungkin anda berpikir “dimana logika para kaum optimis tersebut?” Pertama, jika Anda suka sedikit takhayul, performa Torres justru meningkat saat bermain untuk tim dengan nuansa merah. Absurd memang tapi ini kenyataan. Ingatlah bagaimana kejayaan pemilik 110 caps untuk timnas Spanyol tersebut saat berseragam Atletico atau Liverpool. Atau bandingkan juga bagaimana sisi terbaiknya masih muncul saat berkostum La Furia Roja, meski penampilannya sedang terpuruk di level klub.

Selanjutnya, mungkin Anda telah membaca banyak teori mengapa Torres flop. Jadi saya hanya akan merangkumnya dan (mudah-mudahan) tersusun secara kronologis. Pundit sepak bola favorit saya Jonathan Wilson, mengatakan jika kemampuan maksimal Torres muncul saat beroperasi sebagai striker tunggal. Dia mencotohkan saat Piala Eropa 2008, Torres justru lebih maskimal saat David Villa cedera dan Luis Aragones, pelatih Spanyol kala itu memainkan pola 4-1-4-1 . Sama halnya saat di Liverpool, Rafa Benitez adalah manajer dengan patron 4-2-3-1. Disana Torres menjadi ujung tombak tunggal, didukung Gerrard, Kuyt, dan Xabi Alonso, dan mereka amat mengerti apa operan yang pas untuk Torres dan bagaimana Torres bermain.

Berbeda saat di Chelsea, dia mengalami apa yang Andriy Shevcenko rasakan, yakni harus beradaptasi sebagai decoy sekaligus goal-scorer dalam pola dua striker. Sheva lebih beruntung karena selama di Milan sering bermain dalam taktik seperti, tapi Torres tidak. Lebih gawat yang jadi tandem keduanya adalah Didier Drogba, tipikal all-around striker. Maka tak heran jika kita lebih sering melihat Torres lebih sering jadi pembuka ruang. Dia tak lagi jadi poacher tapi deep-lying forward. Dengan dribel dan kecepatannya dia berkewajiban mengecoh barisan pertahan lawan, dan membuat rekannya mudah mencetak gol.

Tapi jika ada striker yang dibeli seharga 50 juta punds maka ekspektasinya adalah pemain tersebut mencetak banyak gol, sehingga wajar jika Torres merasa selalu terbebani. Kepercayaan dirinya menguap dan itu tergambar bagaimana dia kerap gagal saat menuntaskan peluang emas, padahal kepercayaan diri penting bagi seorang striker.

“Dengan banderol £50 juta ‘di kepalanya’, tentu tidak mudah bagi pemain manapun. Pada pertandingan melawan Wigan dia bermain baik namun gagal cetak gol. Andai dia berhasil kepercayaan dirinya pasti akan muncul ” ujar mantan rekannya Yossi Benayoun. .

Lalu bagaimana jika di Milan ? Banyak spekulasi mengenai sebab Balotelli dilepas, dan mayoritas mengatakan masalah mentalitas sebagai faktor utama. Saya relatif seuju, namun melihat daftar buruan Pippo pasca melepas Super Mario, kebanyakan adalah tipikal nomor 9 macam Roberto Soldado, Fabio Borini, Javier Hernandez, dan Torres sendiri. Ada kesan jika sang mister yang merupakan poacher handal, memang ingin striker konvensional, lebih-lebih dapat melakukan hold-up ball dan rajin membuka ruuag sehingga mampu membantu dua inverted winger dalam formasi 4-3-3. Bukan seperti Balo yang lebih condong (lazy) complete forward.

Saya tidak menjamin apakah Torres akan lebih subur, tapi dengan ekpesktasi yang sudah tidak terlalu tinggi, serta karakternya yang memang diinginkan Inzaghi, setidaknya Torres bisa lebih baik, meski bisa saja level rendah dirinya sudah level akut sehingga sulit untuk melihat Torres yang garang di kotak penalti.

Sejarah Buruk Matador dan Tradisi Striker Berprofil Tinggi

Namun Torres terganjal sejarah yang kurang baik. Milan pernah jadi kuburan bagi dua ‘matador’, Javi Moreno dan Jose Mari. Posisi keduanya pun sama dengan sang eks kapten Atletico, penyerang. Padahal keduanya diboyong saat sedang di puncak karir.

Javi Moreno adalah pahlawan Deportivo Alaves sebelum hijrah ke Il Diavolo Rosso. Pada musim 2000/2001,dia berhasil mencetak 22 gol di La Liga serta sukses membawa klub tersebut ke final Piala UEFA melawan Liverpool. Meski akhirnya kalah dengan skor 5-4, Moreno berhasil mencetak 2 gol dalam tempo 3 menit. Milan pun kepincut, dan menjadikannya pengganti Oliver Bierhoff yang hengkang. Malang, Moreno kalah bersaing dengan Shevchenko dan Inzaghi. Dia hanya bertahan semusim dengan hanya mencetak 2 gol dari 16 laga. Dia pun hengkang ke Atletico Madrid.

Nasib sama dialami Jose Mari. Diboyong pada usia 22 tahun dari Atletico Madrid, pemain ini justru bernasib sama tragisnya. Dalam 2,5 musim di San Siro, pemain yang sempat membela Villareal ini pun dipinjamkan kembali ke Atletico, sebelum akhirnya resmi dilepas.

Tapi ada yang membedakan Torres dengan keduanya. Torres datag dengan segudang pengalaman dan gelar. Ingat, Torres adalah pemilik 2 medali emas Piala Eropa, 1 trofi Piala Dunia, dan 1 gelar Liga Champion. Sedangkan Javi Moreno dan Jose Mari berstatus ‘one hit wonder’, itu lah mengapa keduanya cepat redup.

Ada hal unik lagi perihal kedatangan Torres dengan tradisi Milan dalam beberapa musim terakhir. Milan mengukuhkan diri sebagai tim Italia yang gemar mengoleksi penyerang berprofil tinggi. Barisan bek boleh semenjana, gelandang boleh medioker, tapi untuk penyerang mereka tak mau kompromi.

Musim 2012/2013 misalnya. Ketika mereka baru saja ditinggal Thiago Silva, Milan menggantinya dengan pemain sekelas Francesco Acerbi, tapi justru membeli Mario Balotelli pada pertengahan musim. Memang hasilnya Milan berhasil lolos ke Liga Champion, namun sempat keteteran di awal musim.

Atau musim 2010/2011. Milan membeli 3 penyerang top Eropa : Zlatan Ibrahimovic, Robinhp, dan Antonio Cassano. Hasilnya memang Milan berhasil meraih scudetto, namun ini menunjukan betapa manajemen memang lebih gemar mendatangkan striker dengan reputasi mentereng, dibanding membeli pemain dengan level setara untuk posisi lain.

Tradisi tersebut berlanjut musim ini. Meski berhasil mempermanenkan Adil Rami dan mendatangkan Alex dengan gratis, manajemen juga merekrut Torres dan Menez, tanpa penembahan personel di sector gelandang. Padahal posisi ini termasuk yang mengkhawatirkan kualitasnya, apalagi dengan masih cederanya sang kapten Riccardo Montolivo.

Sebuah tradisi yang sebenarnya sah-sah saja namun ada baiknya jika manajemen Milan tidak hanya fokus pada satu posisi. Bukankah di Serie-A masih berlaku mitos tim juara adalah tim dengan pertahanan terkuat?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun