Apa saja kriteria sebuah film untuk menyandang predikat ‘menarik’? Bagi saya film yang menarik ada elemen kisah yang dramatis, dialog menarik, serta plot twist. Ya, ini memang selera, maka dari itu tak heran jika disuruh memilih antara Transformers atau Oldbboy, maka saya akan memilih film yang kedua, karena film asal Korea tersebut memiliki ketiga elemen diatas.
Dan jika perjalamanan timnas U-19 diibaratkan sebuah film, maka layaknya rasanya jika film tersebut mendapat predikat layak tonton. Mulai dari kisah dramatis yang mengiringi kebersamaan tim ini, lalu kutipan menarik yang dilontarkan baik oleh Indra Sjafri maupun pemain lainnya, dan yang terakhir plot twist yang (tidak) begitu mengagetkan.
Perjalanan “Garuda Muda” memang berliku selama setahun terakhir. Dari sebuah tim yang hanya dianggap ‘penerus kebobrokan’ menjadi alat propaganda kepengurusan PSSI saat ini. Figur yang menjadi saksi dramatisnya tim ini jelas Indra Sjafri. Pada 2012 atau masa awal kepimpinannya, timnas U-17 yang merupakan cikal bakal timnas U-19, sukses dibawanya menjuarai HKFA International Youth Football Invitation Tournament di Hong Kong. Persiapan minim plus kurangnya perhatian dari PSSI yang sibuk bertikai, menjadi oase tersendiri bagi pesepakbolaan negeri.
Namun konflik dimulai pelatih ketika asal Padang justru dicopot dari jabatannya, dan digantikan oleh Luis Manuel Blanco. Bak film romantis, dimana sang kekasih akan kembali menemukan tambatan hatinya, tak dinyana lelaki asal Argentina itu menolak untuk menukangi Evan Dimas dkk dengan alasan dirinya dikontrak untuk menangani timnas senior, bukan untuk menukangi para remaja ini. Indra Sjafri pun didaulat kembali menakhodai tim tersebut.
Coach Indra jelas bukan pelatih yang cengeng. Meski sempat dicampakan, mantan pemain PSP Padang ini tak patah arang namun justru kembali mempersembahkan gelar Juara HKFA, dengan dua pemainnya Gavin Kwan Adsit dan Mariando Djonak Uropmabin dinobatkan sebagai pemain terbaik.
Lagi-lagi kendala menerpa Indra Sjafri ketika dua pemain andalannya mundur dari seleksi kualifikasi Piala AFF U-19 di Sidoarjo. Gavin yang menjabat sebagai kapten, memilih ke Rumania untuk mengikuti trial bersama CFR Cluj, sedangkan Mariando dikarenakan alasan kesehatan.
Indra Sjafri jelas limbung, namun akhirnya berbekal blusukan dan pengalaman setahun menangani tim ini, para pengganti pun didapatkan. Evan Dimas Darmono ditunjuk menjadi kapten menggantikan Gavin, dan hebatnya menjadi pemain paling ikonik di skuad, Dengan skuad ini pula Piala AFF U-19 berhasil diboyong, dan meraih hasil sempurna dalam kualifikasi Piala Asia U-19, salah satunya kemenangan sensasional atas juara bertahan Korea Selatan.
Timnas U-19 sontak berubah wajah. Dari sebelumnya tim yang tak dikenal, hingga menjadi istilah baru bagi persepakbolaan dalam negeri. Bahkan mungkin haya di Indonesia pamor tim junior bisa mengalahkan tim senipr. Semua mengira jika ini sudah mencapai klimaks film, namun ternyata kita lupa, adegan puncak masih setahun kemudian.
Dialog dan kutipan menarik menjadi bumbu lain dari “film” ini. Anda tentu masih ingat pernyataan Indra Sjafri dalam konferensi pers menjelang lawan Korea Selatan.
"Jangan terlalu dibesar-besarkan soal Korsel. Indonesia lebih besar dari Korsel. Sampaikan kepada Korsel, kami akan mengalahkan mereka pada 12 Oktober nanti,". Tak banyak pelatih Indonesia yang berani melakukan psy war, namun Indra Sjafri berani melakukan itu. Belum lagi pernyataan sang kapten Evan Dimas, yang seakan mengamini penyataan sang pelatih.
“Semua bisa dikalahkan kecuali Tuhan,”. Ucapan yang sedikit congkak, meski bisa dimaklumi bukankah semua remaja merasa bisa menaklukan dunia? Dan, luar biasamya pernyataan keduanya terbukti manjur. Korsel yang merupakan raksasa Asia mampu ditundukkan, dan anak muda yang berlagak cukup congkak itu menunjukan kebolehannya dengan mencatat hat-trick malam itu.
Semua makin sempurna. Kisah dramatis, dialog yang memorable, namun..ah iya, plot twist.
Pasca rentetan hasil gemilang selama tahun tersebut, banyak yang lupa jika mereka ini masih lah anak remaja. Mereka hanya anak-anak yang ingin bermain bola senikmat mungkin. Tapi banyak pihak berpikiran lain, terutama PSSI dan bola mania dalam negeri. Remaja ini dibebankan “misi suci” menyelamatkan wajah sepak bola Indonesia. Beban yang dirasa sudah tak kuat lagi dipikul bahu kakak mereka di timnas senior, dan merasa bahu muda nan tegap ini yang lebih mampu memikulnya.
Indra Sjafri yang dari awal “film” dikisahkan telah mengorbankan uang dan waktu pun, mendapat kompensasi. Namun bak menjual jiwa kepada setan, kompensasi ini tak gratis. Syaratnya, anak asuhnya rela dijadikan alat propaganda pengurus PSSI pasca re-unifikasi. Mereka memang tidak muncul sebagai bintang iklan sosis, tapi mereka harus rela berkeliling Indonesia bak band pop yang melakukan roadshow guna promosi album.
Sebagai anak muda, tentulah mengasyikan rasanya dapat bermain dengan ribuan supporter yang mengelu-elukan nama mereka. Tapi semua memiliki titik jenuh. Sepak bola yang dahulu jadi tempat mereka melepas tawa, berubah menjadi sebuah rutinitas.
Parahnya lagi, timnas U-19 diperlakukan bak artis yang hanya diwajibkan menghibur penonton. Tak peduli punya banyak lagu, tak peduli punya banyak improvisasi, yang penting lagu andalan tetap dimainkan. Masalah unjuk skil dan cari ilmu, nomor sekian. Tak usah macam-macam, asal penonton senang.
Indra Sjafri pun relatif tak merubah komposisi taktik atau pun pemain. Tak pernah kita lihat ada variasi permainan, misalkan Evan Dimas bermain sebagai false nine, bermain dengan formasi non 4-3-3, atau eksperimen yang lain. Dari 40 pertandingan, hanya satu pola yang dipakai, terpenting tim asuhannya menang.
Pernah sekali Indra Sjafri mencoba melakukan serangan dari tengah saat menghadai Myanmar, dan saat itu Ilham Udin dkk keok. Sejak itu taktik yang sama tak pernah dicoba kembali. Mereka seakan takut tampil “fals”, padahal seperti yang disebutkan, ini hanya latihan, dan panggung sebenarnya di Piala Asia.
Selalu tampil dengan pola yang sama membuat lawan mudah membaca permainan Indonesia. Pilihannya ada dua : mainkan garis pertahanan yang amat rendah atau mainkan pressing yang amat ketat. Turnamen Hasanah Bolkiah di Brunei menjadi awal kehancuran. Brunei yang bermain amat defensif berhasil menang dengan skor 3-1, skor yang sama saat menghadapi Vietnam dengan pressing ketatnya. Hasil minor juga didapat saat melawan Kamboja.
Piala Asia yang menjadi puncak penutup cerita pada “film” ini menjadi akhir yang tak terduga. Jika biasanaya dalam film Holywood, maka timnas akan tampil sebagai juara, atau minimal kalah di final dengan cara elegam, kali ini sebaliknya. Mereka langsung tersingkir di babak penyisihan.
Bagi para pundit, kegagalan ini bukan hasil yang mengejutkan, namun bagi para penggila bola yang masih optimis, tentu ini bak plot twist yang tak pernah diduga sejak awal cerita. Belum lagi dengan predikat nihil poin yang mereka torehkan, tentu diluar ekspektasi para pemerhati kisah ini.
Ternyata ini bukan lah film Cinderella Man, sebuah film dengan akhirnya yang bisa diprediksi sejak awal.
Menunggu Sekuel
Layaknya “film” yang memiliki banyak penggemar, biasanya sang produser akan mengadakan sekuel “film” tersebut. Dan dengan umur yang masih belia serta fans yang banyak, setidaknya masih banyak cerita yang bisa dibuat.
Timnas U-19 memang sudah bubar karena level umur mereka yang sudah tak memenuhi syarat, namun bukankah panggung sebenarnya adalah timnas senior? Bukankah output dari sebuah tim junir adalah menyaring pemain yang kelak layak untuk tampil di level teratas jenjang timnas nasional sebuah negara ?
Tak ada jaminan jika seorang pemain yang sukses saat belia akan sukses saat memasuki usia senior. Tengok dari para peraih gelar pemain terbaik Piala Dunia U-20 sejak tahun 1977, siapa saja yang akhirnya sukses saat memasuki dunia sepak bola professional ?
Atau contoh terdekat Syamsir Alam, ketika masih bermain untuk timnas U-16, pemuda ini digadang-gadang akan mengisi lini depan timnas senior. Tapi sekarang ? Posisi pemain inti di Sriwijaya FC saja masih sulit diraih.
Bandingkan dengan seorang T.A. Musafri yang tak pernah bermain untuk timnas level junior, namun akhirnya berhasil masuk ke timnas senior. Semua warga Indonesia asalkan layak secara skil dan konsisten performanya, pantas berseragam timnas.
Kita akan lihat apakah remaja ini akan mampu bersaing memperebutkan posisinya di timnas senior. Setelah sebelummya banjir pujian dan secara drastis berganti badai cercaan, mental mereka tentu diuji Di sinilah keseruan dari sekuel tersebut. Melihat bagaimana mereka berjuang tanpa sendiri, dibawah arahan pelatih yang berbeda, suasana yang berbeda, atau rekan setim yang berbeda. Syukur-syukur, mereka bisa menularkan semangat dan mentalitas yang sama, seperti saat menjuarai Piala AFF, sesuatu yang belum pernah dirasakan timnas level senior
Mari kita tunggu sekuel tersebut, dan semoga tak ada plot twist yang tidak mengenakkan lagi,
.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H