Mohon tunggu...
Gareth Darien Bong
Gareth Darien Bong Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seorang Murid

Kehidupan adalah untuk dijalani

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Kredibilitas Guru Besar di Era Digital: Antara Ambisi dan Integritas

29 Agustus 2024   08:46 Diperbarui: 29 Agustus 2024   08:46 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Pixabay.com

Ketika ambisi untuk mendapatkan gelar guru besar melampaui batasan etika dan aturan, integritas dunia akademik dipertaruhkan. Skandal yang melibatkan tokoh-tokoh seperti Bambang Soesatyo, Reda Manthovani, dan dosen-dosen di Universitas Lambung Mangkurat menguak sisi gelap dari proses pengangkatan guru besar. Namun, apa dampaknya bagi kualitas pendidikan tinggi di Indonesia, dan bagaimana kita bisa mencegah hal ini terjadi di masa depan?
Skandal-skandal seputar pengangkatan gelar guru besar, seperti yang dialami Bambang Soesatyo dan Reda Manthovani, mencerminkan krisis integritas dalam dunia akademik kita. Ketika proses pengangkatan dilalui dengan cara yang meragukan, reputasi institusi pendidikan dan kepercayaan publik menjadi korban. Gelar guru besar bukan hanya sebuah prestasi pribadi, tetapi juga tanggung jawab moral untuk menjaga kualitas dan kredibilitas pendidikan tinggi di Indonesia. 

Sebagai akademisi, penting untuk mengutamakan prinsip-prinsip etika di atas ambisi pribadi. Salah satu contohnya adalah Kasus Bambang Soesatyo menyoroti ketidakcocokan antara riwayat akademisnya dan persyaratan formal untuk menjadi guru besar. Ia mendapatkan gelar master dari Institut Manajemen Newport Indonesia pada 1991, namun baru menyelesaikan sarjana setahun kemudian. Selain itu, riwayat mengajarnya yang kurang dari lima tahun jauh dari persyaratan sepuluh tahun yang diwajibkan. Ketika data kelulusan Bambang di Pangkalan Data Pendidikan Tinggi tidak lagi tersedia, hal ini menambah kecurigaan terhadap keabsahan gelarnya.

Reda Manthovani, seorang Jaksa Agung Muda Intelijen, terlibat dalam kontroversi setelah mengajukan gelar guru besar dengan menggunakan jurnal predator. Jurnal yang digunakan untuk mempublikasikan empat artikelnya ternyata bermasalah, diduga diterbitkan oleh perusahaan paper mill. Kendati Reda mengklaim tidak mengetahui status jurnal tersebut, kasus ini menyoroti perlunya integritas dalam publikasi akademik, terutama dalam konteks pengangkatan guru

Asosiasi Profesor Indonesia (API) mengkritik praktik-praktik yang mengabaikan aturan dalam pengangkatan guru besar, yang dinilai merugikan negara. Ketua API, Ari Purbayanto, menyebutkan bahwa pelanggaran ini tidak hanya melanggar etika akademik, tetapi juga merugikan negara karena para dosen yang menerima jabatan tersebut berhak atas gaji dan tunjangan sebagai ASN. API berencana meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut praktik-praktik ini dan menegaskan pentingnya menjaga kredibilitas akademik.

Langkah Antisipasi

Untuk mencegah kejadian serupa di masa depan, diperlukan beberapa langkah antisipasi yang komprehensif. Pertama, pengawasan ketat terhadap proses pengangkatan guru besar harus diterapkan, termasuk verifikasi independen terhadap riwayat akademis dan publikasi ilmiah calon. Kedua, penegakan sanksi yang jelas bagi pelanggar aturan perlu dikuatkan untuk menjaga integritas proses ini. Ketiga, pendidikan etika akademik perlu diperkuat untuk memastikan bahwa setiap akademisi memahami dan menghormati tanggung jawab moral yang melekat pada gelar guru besar. Terakhir, kolaborasi antara Kementerian Pendidikan, API, dan KPK harus ditingkatkan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses akademik.

Kesimpulan

Proses meraih gelar guru besar mirip dengan meniti tangga menuju puncak menara prestasi, di mana setiap anak tangga harus dipijak dengan hati-hati dan penuh kesadaran. Jika salah satu langkah diambil secara tidak etis, maka seluruh perjalanan dapat runtuh, merusak tidak hanya reputasi pribadi tetapi juga integritas institusi akademik.

Skandal pengangkatan gelar guru besar yang tidak memenuhi standar etika dan hukum menunjukkan adanya krisis integritas di dunia akademik Indonesia. Kasus-kasus ini tidak hanya merusak reputasi individu, tetapi juga kredibilitas institusi pendidikan. Penegakan aturan yang ketat, transparansi dalam proses akademik, dan pengawasan independen sangat penting untuk mencegah terulangnya pelanggaran serupa. Selain itu, pendidikan etika yang kuat bagi para akademisi perlu ditingkatkan agar mereka memahami tanggung jawab moral yang melekat pada gelar dan jabatan akademik mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun