Peziarahan Ke Dalam Diri
Sebenarnya agak ironis untuk mengawali tulisan ini dengan sebuah pengakuan bahwa saya pertamakali mengetahui berbagai instrumen musik dalam relief Candi Borobudur justru melalui buku "Hindu-Javanese Musical Instruments" karya Etnomusikolog kenamaan asal negeri Belanda, Jaap Kunst. Saat itu sekitar tahun 2008 ketika saya menginjak tahun kedua studi musik di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan buku Jaap Kunst ini saya temukan di rak perpustakaan kampus. Dalam buku tersebut, dilengkapi dengan foto-foto, Kunst memaparkan analisa dan berbagai dugaannya mengenai instrumen-instrumen musik yang ada dalam relief Borobudur. Sebuah perkenalan yang membuat saya begitu terpana dan memantik rasa ingin tahu yang berkelanjutan. Sebuah kesadaran yang belum lahir dalam kunjungan-kunjungan saya sebelumnya ke Borobudur untuk pelesir.
Ya, Borobudur tentu sudah begitu kita kenal dan banggakan sebagai bagian dari kisah Wonderful Indonesia. Ia telah menjadi legenda, menjadi mitologi dalam angan kehidupan kebudayaan kita meskipun rasanya masih banyak hal dapat kita tilik darinya. Selain merupakan peninggalan luar biasa dari dinasti Syailendra yang menganut ajaran Budha Mahayana, Borobudur juga menyimpan catatan yang begitu berharga mengenai peradaban musik Nusantara saat itu, sekitar abad ke-7 masehi. Relief-relief di Borobudur, selain memuat ajaran religi (kamadhatu, rupadhatu, arupadhatu), juga menggambarkan berbagai instrumen musik yang dimainkan oleh masyarakat. Bangsa kita memang tidak begitu terbiasa dalam tradisi tulis menulis, setidaknya jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa dari Eropa, dan sejak dahulu kala lebih terbiasa dengan budaya lisan. Oleh karena itu, relief-relief di dinding Candi Borobudur adalah sebuah 'teks' sejarah dan peradaban yang begitu berharga dan akan dapat kita baca dan renungkan kembali berulang-ulang. Sebuah peziarahan ke dalam diri.
Membaca Batu Sebagai Pengetahuan Peradaban dan Menghidupkan Batu:Â
Refleksi Gerakan Sound of Borobudur
Seberapa jauh kita telah membaca Borobudur - sebuah peninggalan luar biasa yang diwariskan oleh Dinasti Syailendra ini?. Â Saya masih ingat, pada tahun 2018 ketika pertamakali hadir mengikuti serangkaian seminar dalam program "Borobudur Writers and Cultural Festival" yang saat itu mengambil tema "Bedah Catatan Perjalanan". Meskipun saya tidak berasal dari latar belakang ilmu sejarah, rasanya mengikuti berbagai seminar ini sangat menarik dan membuka wawasan. Ternyata, Borobudur tidak sekedar sebuah Mahakarya dalam bidang arsitektur, meskipun bentuk mandala dan stupanya selalu mengagumkan dan memiliki kualitas keabadian. Borobudur menyimpan berbagai kekayaan kisah, ilmu pengetahuan yang tidak habis-habisnya untuk kita gali terutama melalui relief-reliefnya. Belum lagi jika kita kaitkan dengan teks-teks sutra Budhis yang telah dikaji mendalam oleh para ahli.
Selanjutnya tibalah saat tahun lalu (2020), ketika saya membaca informasi mengenai program Sound of Borobudur dengan gagasan Borobudur sebagai Pusat Musik Dunia. Sound of Borobudur, sebuah gerakan yang digagas dan dipelopori oleh berbagai musisi kenamaan Indonesia ini, dari Trie Utami hingga Dewa Budjana, rasanya merupakan sebuah ide yang menarik sekaligus menantang. Pertama, gerakan ini mencoba membaca, kemudian menghidupkan kembali instrumen dan ansambel musik yang ada di dalam relief Borobudur. Meminjam istilah yang digunakan oleh Sound of Borobudur, yakni reaktualisasi instrumen dengan membuat instrumen-instrumen musik menyerupai apa yang ditampilkan dalam relief candi. Tentu saja, pembacaan semacam ini mesti dilakukan secara cermat dan mendalam baik melalui pembacaan relief itu sendiri dan berbagai sumber kajian para ahli yang sudah ada selama ini. Selalu ada ruang tafsir dalam proses ini, mengingat wujud organologi instrumen musik tidak serta merta menyajikan sebuah data musikal yang akurat, misalnya mengenai nada atau sistem tuning, material instrumen, timbre atau warna suara, kemudian idiom-idiom musikal yang dimainkan oleh para musisi pada saat itu mengingat tidak adanya penotasian. Namun di satu sisi disinilah pula menariknya sebuah aktivitas kreatif kesenian. Ada ruang-ruang tafsir yang diciptakan, dan kemudian disajikan dan dibenturkan ke publik menjadi sebuah diskursus kebudayaan, dalam hal ini pemikiran mengenai peradaban musik. Ada ruang-ruang pembacaan yang dibuka, ada imajinasi-imajinasi yang dilahirkan, ada pengetahuan, ada pula pertanyaan-pertanyaan dan misteri baru yang lahir. Inilah dinamika dialektika pengetahuan kita yang begitu menarik.
Meskipun demikian, proses menafsir yang begitu imajinatif ini sejatinya juga tidak berangkat dari ruang hampa dan terpisah sepenuhnya dari realitas. Misalnya, beberapa instrumen dalam gamelan, seperti gong, kemudian gambang dengan tabuh yang menyerupai huruf Y seperti yang kini masih kita jumpai dan dimainkan di Bali dalam ansambel gamelan gambang yang terbuat dari bambu, instrumen menyerupai Keledi, alat organ tiup yang masih dimainkan suku Dayak hingga saat ini, adalah sebuah bukti bahwa peradaban musik masa lampau masih meninggalkan "DNA" dan jiwanya dalam kehidupan masyarakat kita hingga saat ini. Â
Gerakan kreatif dan imajinatif seperti Sound of Borobudur mesti kita rayakan sebagai pemantik dari spirit renaisans musik: bersumber dari masa lalu, hidup dan bergerak di masa kini untuk perkembangan di masa mendatang. Â Semoga gerakan ini dapat merangkum dua dimensi yang esensial yakni wujud instrumen dan pengembangan idiom-idiom musikal.
Â
Dari Jawa Merenungi Dunia kemudian Berkreasi
Perjalanan, persebaran serta kontak-kontak kebudayaan umat manusia memang penuh kisah sejarah sekaligus mengandung tabir-tabir misteri. Dalam semangatnya, gerakan Sound of Borobudur juga menggulirkan sebuah visi Borobudur sebagai pusat musik dunia. Sebuah impian yang begitu besar.
Dalam data yang dipaparkan di situs resmi Sound of Borobudur, dari 226 relief alat musik berbagai jenis dan 45 relief ansambel musik di dinding candi, terdapat kemiripan bentuk organologi dengan berbagai instrumen musik yang saat ini tersebar di lebih dari 40 negara di dunia. Selain tentu saja, instrumen-instrumen yang serupa dengan yang tergambar dalam relief-relief tersebut tersebar hampir di seluruh penjuru Indonesia. Temuan data ini sungguh menarik, sebab memang dalam kebudayaan umat manusia, selalu ada unsur partikularitas dan universalitas. Umat manusia menyebar dan kemudian juga saling terhubung, berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain selama ribuan tahun sepanjang sejarah keberadaannya di bumi ini.
Mengingat konektivitas ini, rasanya mimpi Sound of Borobudur untuk mengusung spirit Borobudur pusat musik dunia juga dapat dimaknai lebih kepada sumbangsih bagi dunia: sebab rasanya sulit untuk menemukan tandingan sebuah "dokumen" peradaban musik yang tercatat dalam bentuk visual dalam relief sebuah bangunan yang dibangun umat manusia pada milenium pertama masehi. Pada titik inilah, kekaguman kita kepada Borobudur semakin dalam dan magis. Mari merenung semakin dalam dan kemudian terus bergerak dan berkreasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H