Kereta api berjalan tenang. Bunyi peluit tukang parkir stasiun terdengar nyaring. Tasikmalaya! Ai, kota santri. Kini aku di tengah-tengahmu. Kau belum kenal aku, Malangbong, Manonjaya, Tasikmalaya! Aku kenal kalian. Kereta yang aku tumpangi ini sisa-sisa yang selamat dari gelimpangan teman-temannya digulingkan tentara. Rel kereta jalur selatan telah jadi saksi bisu perseteruan dua tentara seagama tapi berbeda ideologi. Komunis dan Nasionalis bersekutu melawan orang Islamis. Kau lihat tentara Siliwangi berjalan kelelahan jiwa dan raga akibat perjanjian Renfille. Atas nama istilah Hijrah yang suci padahal kalah diplomasi. Ah, otakku semakin dipengaruhi pemikiran Kang Hafidzin saja. Pikiran-pikiran seniorku itu nyeleneh, sudut pandangnya aneh, tapi pikiranku akan lebih bijaksana dan lebih berwawasan.
Dahulu zaman perang revolusi, sepanjang rel jalur selatan Jawa ini tak putus-putusnya tentara Siliwangi diganggu. Perjalanan Bandung-Jogja yang seharusnya seharian saja menjadi tiga hari-tiga malam.
Pemandangan memang berwarna-warni. Hatiku lebih berwarna-warni lagi, meriah. Mana kalian, gadis-gadis santriwati Tasikmalaya, yang terkenal luwes, cantik, berkulit sawo langsat? Belum seorang pun kutemui. Ayoh, keluar dari rumah kalian. Ini aku datang. Mana gadis-gadis Tasik berpayung motif bunga itu?
Tak terlihat olehku apa yang kucari. Dalam gerbong satu kereta ini yang ada hampir-hampir pedagang. Pedagang asli maupun pedagang gadungan. Petugas karcis tak akan meminta ongkos dari pedagang. Diangggapnya mereka hanya turun di stasiun kecil berikutnya sambil menumpang berdagang. Pedagang gadungan menjadikan cenderamata – oleh-oleh buat saudaranya - sebagai perisai agar tidak dipungut ongkos karcis.
Yang duduk disampingku sudah berganti–ganti orang sejak dari Rancaekek. Sekarang, tepat di depanku seorang nenek berkerudung sehelai yang sibuk menggaruki kepala, mungkin lupa menyisiri kutu. Di sebelah nenek itu, Kang Hafidzin. Di sampingku persis seorang muda sedang asyik membaca koran. Sekilas terbaca berita akan disahkannya Undang-undang kelistrikan. Listrik yang membuat orang berlama lama di depan televisi. Lupa akan masalah malam hari, esoknya baru tahu rasa.
Tidak! Waktu ini takkan kupergunakan untuk berdebat apapun. Sudah lelah rasanya – sebelum ke Manonjaya ini – kami berdebat tentang devinisi menyembah. Bagiku, agama adalah cara menyembah yang ditemukan sekelompok orang. Aku bilang menyembah, bukan mematuhi. Itu dua perkara yang berbeda. Sekelompok yang ini bisa menyembah Budha, Allah, Yesus, tidak masalah. Yang penting adalah pada saat kita terhubung dengan persoalan hidup yang belum pernah dialami, kita merasa jadi lebih bersatu. Ada perasaan senasib yang membuat kita lebih terbuka pada hidup. Minimal aku bisa berkata bahwa di dunia ini aku tidak sendirian, ada orang lain, di bagian dunia lain, yang hidupnya tidak lebih merana ketimbang kita, dan bahwa kita hidup tidak terisolir. Itulah agama buatku, bukan seperangkat aturan dan tatanan yang dipaksakan oleh ulama, pendeta, rahib, yang semuanya hanya makhluk lemah sepertiku.
Itulah perdebatan yang tak berkesudahan dengan Kang Hafidzin. Dia mengangggap aku teledor bahkan menyerempet murtad. Menyamakan istilah Ad-dien – agama- dengan produk manusia yang kotor, bukan firman Tuhan yang suci dan mutlak kebenarannya. Aku juga tidak tahu persis pada hal apa perbedaan kami. Apakah ini hanya masalah sudut pandang teknis atau sesuatu yang prinsip. Ilmuku belum cukup untuk menelisik ke arah sana.
Aku senang berpolemik dengan Kang Hafidin, selalu blak-blakan. Tapi aku tahu kelamahannya. Dia sebenarnya tidak pernah sepenuhnya yakin akan apapun kecuali dogma Islamnya. Kedua, dia akan berhenti sejenak, berpikir apakah dia sedang menapaki kesalahan? Bila, ya, Kang Pidin – nama pendeknya- mengakui bahwa ia sedang keliru. Aku selalu menghargai orang yang tidak takut mengakui kesalahan mereka. Jelas, itu butuh kebesaran jiwa. Kang Hafidzin pernah berkata, “ Simak baik-baik, karena kau akan mendengar dan melihat sesuatu yang bahkan kau sendiri tidak menduga sebelumnya. Selama kau bergaul denganku, kuputuskan untuk menceriterakan semuanya, telanjang bulat, agar kau tahu siapa aku dulu, kini, dan yang akan datang. Dan, aku tidak akan mengarang-ngarang karakter palsu tentangku”. Ucapannya itu aku pegang.
Aku perhatikan nenek tadi. Kepalanya yang tertunduk ke depan bergoyang ke samping kiri kanan. Dia masih tertidur pulas. Pada satu hentakan sambungan gerbong tiba-tiba badannya tergoyangkan menimpa badanku. Oh, ada apa ini? Kudorong ia kembali ke tempat semula. Kang Pidin agak cangung memegang kepalanya. “Ada perawat atau dokter?” aku berteriak-teriak. Orang-orang di selasar gerbong hanya bengong. Aku bergegas ke depan mendekati lokomotof. “Ada orang pingsan di belakang gerbang nomor sekian, tempat duduk ke sekian” kataku ketika melihat seorang berseragam PDL bertopi baret. Polisi keamanan kereta itu berkata akan melihatnya.
Jadi, saya telah menjalankan kewajiban saya. Perbuatan baik hari ini! Masalah ini kini ada ditangan orang lain, mereka yang harus bertanggung jawab. Orang-orang bergumam, Nenek Acah pingsan. Kudengar ada yang menyebut namanya. Mereka semua mengenali nenek ini, tapi tak seorangpun mengaku keluarganya. Dia naik kereta sendirian. Kang Pidin memeriksa hidungnya. Tanpa angin. “Inna lillaha, wainna ilaihi rojiun”. Siapa keluarganya? Semua orang hanya berpandangan, kebingungan. Belum lama berselang, seorang asing mendekat, dia berbicara bahasa Sunda-Jawa yang kurang kumengerti. “Saya sudah memberitahu masinis dan kondektur soal nenek ini,” katanya. “tapi mereka bilang ini bukan urusan kecelakaan, maka urusannya akan di selesaikan di stasiun terdekat”. Saya tidak menunggu orang itu selesai bicara.
Saya dan Kang Hafidzin memutuskan turun di Ciamis, stasiun setelah Manonjaya, tujuanku seharusnya. Ditemani dua orang lain, aku membopong mayat segar yang mulai kaku ini. Kami menyewa dua becak menuju puskesmas terdekat.