--buat Pandu Y.A dan Dharma Rabbani
Tidak ada makan siang yang gratis, katanya. Barangkali sebuah makan siang akan selalu menuntut imbal, atau berakhir jadi sebentuk cerita yang remuk. Dan brutal.
Marco Clemente, berbicara menukik dengan kemarahan yang diremas keras-keras diantara kepal tangannya. Buruh boleh punya suara, dan buruh bersuara dengan api pada jalan-jalan Brasilia. Pria ini (Marco adalah Kepala organisasi buruh radio & televisi se-Brazil), memang menuntut. "Kita memang sengaja mengirimkan pesan kepada Pemerintah, bahwa apa yang menjadi hak ketika dicerabut, akan melahirkan perlawanan". Lalu Brasilia peyot. Dan Presiden Michel Temer, diantara Istana Sao Paulo, seperti mendadak bugil di hujan salju.
Gerakan buruh meradang. Beberapa pegawai pemerintah keluar dari kantor, dan sengaja memelihara ribut-ribut sambil turut membakari bus komuter dan lampu jalanan. Kebijakan pemotongan anggaran yang didorong Presiden Temer di DPR, menciptakan gelombang rakyat yang murka. Situasi krisis bukan lagi cerita di analisis koran ekonomi. Kota Brasilia merekamnya: 6 bus hangus, ratusan tembok terluka, ribuan orang menangis. Sebagian terkena tembakan gas airmata. Sisanya, menahan pedih perut yang lapar dan ketidakpastian masa depan...
Sebab Presiden Temer menghasilkan sesuatu yang tak teraba dari proyeksi ekonomi.
Ketika kebijakan pengetatan anggaran diberlakukan, dipayungi oleh Undang-Undang yang diloloskan oleh kumpulan DPR yang gemar mendengar kalkulasi politik tinimbang kesaksian sebuah kelaparan, yang tersisa hanya curiga. Rakyat merasa bahwa ekonomi akan terantuk, industri mulai lemas, lapangan pekerjaan makin sulit, dan jaminan pensiun dianggap tidak berfungsi layak. Maka orang-orang mulai memindah keasyikan menonton sepakbola jadi demonstrasi di jalanan berdebu...
Di kawasan kumuh di pinggir Rio de Jainero, ibu-ibu berkumpul dengan mata yang nanar. Program Bolsa Familia, bantuan langsung tunai kepada jutaan warga miskin dari APBN, akan dihapuskan perlahan. Kemana lagi mereka menanggungkan kemiskinan, selain kepada udara yang sembab?
Karena itu sebuah kebijakan --dengan bijak sebagai kata dasarnya-- tidak selalu memotret cita-cita.
Sering kebijakan dibuat, melahirkan banyak tanya. Untuk apa? Untuk siapa? Kenapa anggaran APBN Indonesia tahun 2025 harus dipotong sana-sini, misalnya. Sedang pertumbuhan ekonomi mungkin diramal stuck, neraca perdagangan dimungkinkan melemah, moneter yang sulit punya daya tawar, dan gas melon 3kg yang banyak lenyap.
Karena ada kebijakan lainnya yang diprioritaskan, katanya.
Dalam beberapa kesempatan, pengetatan anggaran di berbagai Kementerian adalah sebuah ekses dari rencana mulia untuk mendukung program Makan Siang Bergizi (MBG) yang jadi janji kampanye Presiden.