---buat Mabda dan teman-teman
Di Zednaya, puing-puing berserakan seperti enggan membentuk cerita. Udara panas tampak lelah, dan gurun di sebelah barat murung bertanya: apalagi setelah ini?
Suriah adalah keping-keping, berserakan tak akur, dan dalam posisi tertentu seperti bintang-bintang di hamparan langit hijau. Damaskus dijejali orang-orang. "Allahu Akbar" terdengar bagai gema. Harapan rakyat selama 14 tahun timbul kembali setelah Presiden Bashar Al-Assad jatuh, dan dikabarkan melarikan diri ke Rusia untuk dapat suaka politik. Milisi bersenjata dalam intensitas yang tak terkendali, berhasil merangsek menuju Istana Kepresidenan. Konon, 8 Desember 2024 pagi lalu, diantara debu-debu yang kelu, Suriah secara resmi "merdeka" kembali.
Sebab kemerdekaan itu adalah sebuah barang tersier, dan tidak cukup didapatkan dengan ongkos yang murah. Semenjak 2010, faksi-faksi politik di Suriah meradang. Mereka jengah dengan Dinasti Assad yang memerintah turun temurun selama 44 tahun. Tidak hanya turun gelanggang politik dengan baris pidato dan massa aksi jalanan, mayoritas perlawanan menjelma milisi bersenjata yang rela mati demi tumbangnya dinasti ini...
Tak ada peta yang jelas dan legenda di pojok kiri bawah berisi informasi memadai. Segala spektrum berbaur, dan entah mengapa saling berbareng, mengupayakan perang tanpa kendali. Kelompok Islam ekstrem yang terafiliasi dengan Al-Qaeda, menamakan diri Front Nusra, menggelar pamor. Mereka angkat senjata dan menyerang siapa saja yang mereka sebut kaum nasionalis dan "thogut". Kelompok lain, Hayat Tahrir Al-Sham, secara gradual tumbuh dan menguat dari sisi sebelah barat. Meski berbeda, bersama Tentara Nasional Suriah yang notabene berisi gerilyawan bersenjata, mulai saling dukung untuk merebut kota Hama dan Aleppo. Di beberapa kota kecil, bahkan ada milisi komunis yang coba mengusir polisi lokal untuk menegaskan diri sebagai penguasa sah distrik mereka. Suriah yang indah, saling dikerubungi oleh agenda politik yang disuarakan bedil-bedil, dan mencoba mencari atensi...
Dunia juga dibuat bingung. Presiden Bashar Al Assad sendiri mencari dekeng pada Rusia. Beberapa milisi yang terafiliasi ke Tentara Nasional Suriah, mendapat suplai dari Turki. Rezim Erdogan yang cenderung anti-Kurdi berkepentingan besar agar daerah perbatasan mereka tidak dimuati proxy politik yang mengganggu, dan meski Ankara selalu menampik terlibat, dunia tidak bisa dibohongi. Amerika berusaha intersep beberapa langkah politik-keamanan, terutama pasca penggunaan senjata bom kimia yang terjadi tahun 2012 lalu di pinggiran Damaskus. Meski begitu, kelompok revolusioner macam Hayat Tahrir Al-Sham yang dominan di lapangan justru dikategorikan sebagai teroris internasional, karena dianggap mengorbit pada Al-Qaeda.
Tapi itu semua adalah cerita politik, yang kadang terlalu ruwet diurai dalam analisis kajian pakar hubungan internasional ataupun ahli sekuritisasi. Yang membuat dunia terhenyak adalah serangkaian fakta lain yang lebih mempan menusuk: 550 ribu nyawa melayang karena perang saudara, 6,8 juta orang mengungsi, jutaan tembok yang terjangkit luka peluru.
"What happen in Vegas, stays in Vegas" kata sebuah pepatah. Tapi perang saudara dan ketidakstabilan politik tidak bisa menerapkan pepatah yang sama. "What happen in Suriah won't stay in Suriah"...
Sebab perang saudara ini seperti kanker akut. Tidak pernah terbayangkan bahwa ledakan jumlah pencari suaka dari Suriah yang masuk ke Eropa melalui berbagai jalur, akan menghasilkan perubahan lanskap politik di dalam negeri-negeri Eropa. Tak ada yang membayangkan bahkan isu imigran akan jadi bahasan tiap minggu di Prime Minister's Questions, forum debat resmi Perdana Menteri Inggris dengan House of Commons tiap hari Rabu di Inggris Raya. Dari ribuan pengungsi yang terkatung-katung, Parlemen Uni Eropa bahkan sampai harus membentuk beragam beleid agar masalah perbatasan, peran Interpol, dan pemberian asylum bisa dilakukan dalam satu orkestrasi kebijakan...
Dan itu semua karena Dinasti Assad yang bercokol terlalu lama, dan sering tidak tahan akan rasa gatal dari perbedaan-perbedaan...
Bashar sendiri tidak nyana bahwa hidup akan berjalan dalam episode sekelam ini. Segalanya sangat lempang ketika 1988 dia lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Damascus. Ayahnya, Hafez Al-Assad, saat itu masih menjabat sebagai Presiden. Dengan semua privilese yang ada, Bashar terbang ke Inggris untuk meneruskan studi spesialisasi mata.