Barangkali begitulah sebuah paradoks bekerja. Sidis yang begitu dipuja keluarga Amerika, tiba-tiba harus lindap. Hidupnya seakan impian banyak pemuja jika ia mau menuruti peta jalan yang dibuat Boris. Tapi Sidis kecil tahu artinya melawan. Dan mungkin tidak terlalu tahu bagaimana cara merespon konsekuensi dari sebuah tindakan.
Dan berakhir menyesali hidupnya yang pernah cemerlang seperti sinar pagi. Lalu menatap peraduan di barat, dan tenggelam oleh sesal diri.
Pada 1944, tubuhnya ditemukan oleh pemilik apartemen sewaan sudah terkulai setengah membusuk. Pada usia 46 tahun. Dan ketika diusut, cerebral haemorrhage jadi penyebab kematiannya...
Adilkah hidup bagi seorang William Sidis? Benarkah rasa cinta dan upaya tekun Boris dan istri? Kemanakah mimpi keluarga Amerika akan berlabuh ---punya rumah besar dan anak jenius yang serba terampil?
Praktis disitu kita sering memompa diri terlalu keras. Gelembung-gelembung tubuh kita tak bisa menyesuaikan harapan-harapan yang dialamatkan...
Pintar, kaya, dan wibawa bisa dicetak. Metodologi bisa dibuat. Tujuan bisa digambar. Tapi jalan hidup berbeda. Mereka tak bisa dikarbit, dijejalkan pada sebuah rel yang membujur lurus sampai tujuan.
Dan ketika krisis datang, rasa tidak percaya akan menembak kita dari kejauhan. Entah apakah tepat sasaran. Tapi ketika krisis, sesuatu yang ideal seperti rapuh tak bertulang, lalu kita menjadi enggan...
William Sidis sudah membuktikan. Kita belajar dan menimbang banyak jalan. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H