Di kampung saya, terlahir sebagai perempuan adalah bencana. Meski posisi perempuan dalam sistem kekeluargaan berada pada posisi strategis, tatap saja mempunyai anak perempuan merupakan beban berat bagi orang tua. Tak jarang perempuan dianggap sebagai sumber malapetaka.
Kampung saya bukan kampung di pedalaman Cina, dimana bayi perempuan dengan enteng dibunuh karena alasan tradisi dan kebijakan negara. Beragam kisah mengusik rasa kemanusiaan kita. Seorang ibu tega membuang bayinya kedalam tong sampah setelah mengetahui bahwa sang bayi terlahir sebagai perempuan. Di sebuah stasiun kereta, seorang bapak tersenyum setelah berhasil menelantarkan anak perempuannya di sudut stasiun kereta api.
Kampung saya terletak jauh dari daratan Cina. Setiap hari, kampung saya selalu ditampar oleh keberingasan ombak-ombak samudera. Orang kampung saya sadar bahwa alam adalah petunjuk untuk bertahan hidup. Dari alam, saya dan orang kampung belajar tradisi yang turun temurun dari nenek moyang. Ketika orang-orang dari timur jauh datang, tradisi di kampung saya dibumbui dengan cita rasa agama.
Di kampung saya, kombinasi apik antara tradisi dan agama berdampak terhadap keengganan para orang tua untuk membunuh bayi perempuan mereka. Sebagai konsekunsi, bayi perempuan yang telah dewasa harus rela hidup bagaikan kerbau. Hidup dengan menjadi mesin-mesin produksi bagi kaum adam. Semakin meningkat produksi, maka semakin besar harapan untuk diakui sebagai manusia. Kalau bukan karena perpaduan tradisi dan agama, mungkin nasib bayi perempuan di kampung saya akan sama dengan nasib bayi perempuan di pedalaman Cina.
Kampung saya adalah kampung bersahaja. Harmonisasi interaksi manusia semakin menyatukan masyarakat di kampung saya. Sayangnya, harmonisasi dan kesahajaan itu sirna dengan seketika karena rajutan cinta terlarang seorang perempuan dari kampung saya dengan laki-laki kampung sebelah. Tetua kampung memfatwakan perempuan tersebut sebagai simbol setan yang akan membawa petaka bagi semua orang kampung. Penilaian perempuan sebagai sumber bencana makin terlihat nyata. Orang tua ogah-ogahan melahirkan anak perempuan, karena perempuan adalah bencana.
Kampung saya mulai dihantui oleh manusia-manusia yang kehilangan naluri ibu dan ayah, seperti di Cina. Mungkin, penggabungan antara tradisi dan agama tidak lagi menjadi pondasi kehidupan. Tradisi dan Agama dibiarkan jalan sendiri-sendiri. Untung saja, tuntunan agama tidak disebandingankan dengan kebijakan negara. Sehingga bayangan kesadisan yang terjadi di pedalaman Cina tidak menjalar ke kampung saya, tapi perempuan masih dianggap sebagai beban dan sumber bencana. ((1102140245trt))
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H