sebelumnya:
Sebuah Kolaborasi Menyambut Natal (1)
Sebuah Kolaborasi Menyambut Natal (2)
Dibalik yang Terlihat
Beberapa jam sebelum Vento dan Noela bertemu di pintu …
Vento berdiri termangu di pinggir jalan usai memulung seperti biasanya. Uang harian yang diterimanya dari hasil penjualan besi tua belum cukup untuk menebus obat Leon. Alis matanya berkerut menambah dinginnya wajah itu. Otaknya berputar keras. Dengan tekad bulat, dia melangkahkan kakinya ke gedung yang sedang dikebut pembangunannya. Dia berusaha mencari pekerjaan tambahan sebagai kuli bangunan di sana. Sifatnya yang keras tidak membuat dia memohon-mohon untuk mendapatkan pekerjaan, namun perasaan itu sudah terlanjur terpancar dari wajahnya. Apakah sesungguhnya ada sesuatu berpijar dengan panasnya di dalam? Mandor nampaknya tidak ada, namun seorang pekerja yang cukup culas untuk mengambil keuntungan dari sorot penuh harapan itu akhirnya menerimanya dengan upah yang telah dikebiri nyaris setengah.
Tak ada pilihan lain. Menggali dan membuang tanah adalah pekerjaan yang baru pertama kali dilakukannya sehingga menjelang tengah malam Vento menerima upah dengan kulit tangan yang agak mengelupas, namun matanya berbinar. Perih terasa, namun itu cuma sebatas kulit. Yang terpenting baginya adalah dia berhasil mendapatkan uang tambahan, ditambah pula, dia diijinkan membawa pulang beberapa tripleks bekas yang tidak beraturan ukurannya, danpaku-paku bekas. Tripleks ini akan digunakannya untuk menambal jendela dan langit-langit kamar Leon yang rusak – yang tampaknya membuat kondisi Leon semakin memburuk. Juga untuk jendela kamar Nenek Irma. Sambil berjalan pulang, dihitungnya dalam hati uang yang ada di kantung celananya. “Oh, masih cukup banyak kekurangannya. Darimana lagi kekurangannya harus kucari?” Ada kilau di matanya saat ditimpa cahaya lampu mobil. Bukan kilau sorot mata. Airkah itu? Tidak ada yang tahu; orang hanya tahu wajahnya yang dingin. “Esok aku akan bekerja lebih keras lagi. Leon, bertahanlah beberapa hari lagi.”
Tiba-tiba tubuhnya limbung, pandangannya berputar. Baru disadari , terakhir dia mengisi perutnya adalah siang tadi, itu pun setengah dari porsi biasanya. Dia mau menghemat setiap rupiah. Namun untuk bisa pulang, dia harus makan. Ahirnya Vento mengeraskan hati dan cukup mengisi perutnya dengan dua potong lontong plus gorengan seharga Rp.2.000 agar kekurangan untuk beli obat tidak semakin menjauh.
***
Noela terus melangkahkan kakinya tanpa tujuan. Seraut wajah pucat selalu ada di depan pelupuk matanya, juga wajah keriput yang menggigil kedinginan. Matanya terasa panas. “Kemana? Dengan jalan apa aku bisa mendapatkan uang tambahan?“ Walaupun ia telah mengorbankan makannya agar uang yang didapat seseharinya dapat digunakan untuk menebus obat, kekurangannya sungguh masih amat besar, apalagi jika ditambah untuk sehelai selimut. Tampak olehnya sebuah dompet tebal menyembul dari orang yang berjalan di depannya. Mengapa di saat seperti ini, hal itu yang didapatinya? Alangkah mudahnya. Tinggal mengulurkan tangan. Sang pemilik pasti tidak menyadarinya. Hatinya berperang. “Tidak, aku tidak boleh melakukan itu. Aku harus mendapatkan uang dengan cara yang tidak merugikan orang lain”. Apa yang kemudian dia lakukan memang tidak merugikan orang lain kecuali dirinya, dan hasilnya ternyata tidak seperti yang diharapkannya.Namun, segalanya telah terjadi dan hanya itu yang terpikir olehnya. Dia berjanji ini adalah yang pertama dan yang terakhir. Paling tidak uang untuk menebus obat telah bertambah. Noela melangkah pulang dengan harga diri hancur namun juga dengan sepenggal asa.
***
Leon merasakan badannya amat tak enak. Demamnya masih tinggi, tenggorokannya serasa terbakar namun badannya menggigil. Setelah disuapi sepiring bubur oleh Noela, dia merasa sedikit nyaman walau dua helai selimut robek milik Noela dan Vento yang berada di atas tubuhnya tidak sepenuhnya mampu menghilangkan rasa dingin. Sekarang dia terbaring di biliknya seorang diri. Dia ingat kembali pada sesuatu. Diselipkannya tangannya ke bawah bantalnya. Dibalik tikar di bawah bantal yang menjadi lapisan terbawah, terpegang olehnya lembar-lembar kertas itu. Kurang puas, lembar-lembar itu diambilnya ... dihitungnya. Masih samakah jumlahnya dengan kali terakhir disimpannya? Hatinya terasa lega. “Tidak, uang ini akan kugunakan untuk membeli gitar baru menggantikan gitar tuaku yang mulai sumbang. Sudah lama aku mengidam-idamkannya. Apalagi uang ini kudapat dengan kerja keras, dengan penuh keringat, dengan air mata.”
***
Kembali ke tengah malam saat Vento dan Noela bertemu di pintu.
Noela membalikkan tubuhnya menjawab panggilan Vento. Matanya berusaha melarikan diri dari pandangan Vento. Vento dapat melihatnya. Pertanyaan yang ingin diucapkannya tidak jadi terucap.
“Bagaimana Leon?”
“Setidaknya panasnya tidak meninggi dan dia sudah tertidur sebelum aku keluar.”
Vento menatapnya dalam-dalam dan menghela nafas. Dikeluarkannya uang yang didapatnya. “Masih kurang untuk menebus obat Leon.” Wajahnya tetap dingin, namun ada sedikit getar di suaranya. Noela ingin bertanya mengapa Vento pulang begitu larut, namun pertanyaan itu tidak jadi diucapkan. Sorot mata keheranannya membuat pipi Vento memerah. Vento memalingkan wajahnya. Dengan mata sedikit basah Noela pun mengeluarkan uang dari dompet lusuhnya. “Hei, uang gabungan kita cukup. Leon pasti tertolong.” Sampai detik terakhir belum lewat, asa selalu ada dan kini asa itu semakin membuncah. ”Malah masih ada kelebihan sedikit, bagaimana jika kita gunakan untuk membeli kaus kaki untuk menghangatkan kaki nenek?”
“Dari mana kau dapat uang sebanyak itu?” Kalimat itu sudah hampir terucap dari mulut Vento namun berhasil ditahannya. Sejak kepulangan Noela, yang ingin ditanyakannya adalah tentang bilur di lengan dan pelipis kiri Noela. Hanya saja dugaan itu ditelannya sendiri karena hanya akan menimbulkan kepedihan yang lebih dalam pada Noela. “Istirahatlah, Noela.” Untuk pertama kalinya tampak emosi membara di matanya, namun bukan sorot hinaan atau cemoohan. Noela sempat melihat sekilas sorot penuh kasih itu, hanya sekilas, karena kembali tertutup oleh dinginnya wajah Vento. Dia tahu maksud Vento. Ucapan “Istirahatlah” dan bukan “Tidurlah” itumemang memerihkan tapi di lain sisi juga menghangatkan hatinya. Namun ada yang Noela tidak tahu. Ada satu hati yang merasakan keperihan yang teramat dalam. Noela mengucapkan selamat tidur untuk Vento lalu beranjak ke kamarnya. Vento mematung sejenak. Setelah sendirian, baru tampak ada kilau di kedua matanya.
(bersambung)
--------------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H