Mohon tunggu...
Garaduz Grace
Garaduz Grace Mohon Tunggu... pegawai negeri -

..Garaduz untuk Grace..(✿◠‿◠)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Kolaborasi Menyambut Natal (2)

23 Desember 2011   00:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:52 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

sebelumnya: Sebuah Kolaborasi Menyambut Natal (1)

Tragedi Datang

Dengan panik Noela mengguncangkan tubuh Leon yang tak sepenuhnya pingsan. Beruntung Vento segera tiba dan keduanya segera membopongnya ke klinik 24 jam terdekat malam itu.

****

“Positif…..”

Secarik kertas putih itu kini ditulisi rupa-rupa istilah aneh yang tak jelas huruf maupun ejaannya..

“Berbahayakah?”

“Bila tidak mendapatkan pengobatan semestinya,” jawab sang dokter datar.

“Boleh dirawat di rumah saja, dok?”

“Hmm…boleh...asalkan obatnya  segera diberikan. Kalau tidak … saya tidak perlu melanjutkan kalimat saya, bukan?” ucap sang dokter tanpa senyum.

Jantung Vento dan Noela berdegup kencang. Dan makin kencang seraya menunggu pria berseragam putih itu mengumumkan nominal pengobatan sahabat mereka. “Bawa ini ke depan, ke bagian apotik,” kata sang dokter tanpa perasaan itu sambil menyerahkan kertas berisi corat-coret mirip cakar ayam yang tadi ditulisinya. “Biaya dokter sekalian dibayar di sana,” ujarnya kembali menjawab bibir Noela yang baru terbuka seperempat. Angka yang disebutkan petugas bagian apotik adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan bagi mereka. Setelah habis-habisan menguras isi kantung mereka, termasuk recehan, hanya biaya dokter yang dapat terbayarkan. Nominal untuk obat, yang mungkin tak seberapa bagi mereka yang level hidupnya di atas, bagi ketiganya  terasa mencekik leher.

****

Panas Leon masih cukup tinggi namun tidak sampai sepenuhnya merebut kesadarannya. Mereka hanya mengandalkan sehelai kain lap usang basah yang dikompreskan ke dahinya. Tak lupa pula komat-kamit pelan doa yang berulang kali dipanjatkan tak kenal waktu kepada oknum yang menurut kaum terdahulu disebut Tuhan itu. Namun kadang-kadang Leon pun ditundukkan aneka igauan yang mengalir dari bibirnya begitu saja tanpa kompromi.

Kalau sudah begitu, keduanya hanya mampu ternganga sedih seperti malam itu.

“Sudah..jangan menangis. Toh, kita sedang berusaha,” ujarVento memecah hening.

“Aku takut. Jika dia kenapa-kenapa, aku sudah tak tahu lagi.”

“Kita berdoa, bukan? Jadi tak perlu menyerah secepat itu.”

Noela mengangguk dalam keraguan..

“Tapi, apakah Tuhan mau mendengarkan doa orang kecil seperti kita ini?”

“Kenapa tidak?”

***

Dua hari telah lewat. Vento dan Noela telah mengurangi porsi makan mereka. Mereka tidak sampai hati untuk mengurangi juga porsi makan nenek Irma.  Ah! Semuanya demi menebus nominal kertas tebusan itu. Bila obat belum bisa terbeli, mereka kuatir Leon tidak akan pernah membuka matanya lagi.

Sudah dua hari ini Vento pulang lebih malam. Wajahnya dingin, kusut, lelah tapi membawa uang dan tentu saja dengan binar-binar harap.  Digabungkannya dengan apa yang berhasil diperoleh Noela - yang sudah berusaha menambah daftar kerja serabutannya – hari ini. Mereka berdua memang secara bergantian bekerja dan menjaga Leon. 3-4 jam istirahat dalam sehari pun serasa cukup untuk kondisi demikian. Walaupun begitu, mereka berusaha agar tidak terjungkal dalam sakit yang sama maupun yang lebih parah dari si pasien ini.

***

Akhirnya uang logam itu menjadi penutup perhitungan hari itu. Lagi-lagi mereka berdua saling ternganga dalam diam di depan tubuh Leon yang masih terbujur lelap usai menghabiskan seporsi bubur hangat berlauk garam. Jumlahnya tetap saja masih jauh dari kata cukup! Kali ini Noela takluk dalam isakannya.

“Dimanakah Tuhan, Vento?”

“Dia masih disini.”

“Mengapa Dia diam saja?”

“Dia sedang bekerja. Bersabarlah.”

***

Panas Leon sedikit meninggi namun tubuhnya menggigil hebat. Noela menghampiri kamar nenek Irma, berharap dapat meminjam sehelai selimut atau kain atau apa pun untuk menghangatkan tubuh Leon. Dilihatnya sang nenek sedang tertidur. Dia sedang mempertimbangkan apakah harus membangunkannya atau tidak saat dia melihat tubuh nenek tak henti-hentinya bergerak. Selimut usang tipis yang sudah bolong di sana-sini ternyata tidak mampu melindungi tubuh rentanya dari hawa dingin malam. Noela kembali dengan hati yang bahkan lebih berat. Setelah yakin bahwa Leon tidak membutuhkan dirinya, dia beranjak keluar. Diputuskannya bersama Vento untuk memberikan selimut rombeng mereka guna menghangatkan tubuh Leon. Apa lagi yang dapat dan harus mereka lakukan?

***

Tengah malam baru lewat saat Noela pulang, tampak Vento datang nyaris bersamaan dengan beberapa tripleks di tangannya. Mata mereka bertemu. Mata Noela melihat keletihan dan sedikit kernyit kesakitan di mata Vento yang tetap dingin. Di saat yang sama, Vento juga melihat keletihan dan kepahitan di mata Noela. Juga rambutnya yang sedikit kacau. Dan bilurkah yang sekilas dilihatnya di lengan dan pelipis kiri Noela? Sadar akan tatapan itu, Noela buru-buru membalikkan tubuhnya, melangkah menuju bilik Leon.

“Noela! Noela!”

(bersambung)

------------------------------------------

*persembahan Adit Garaduz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun