Mohon tunggu...
Garaduz Grace
Garaduz Grace Mohon Tunggu... pegawai negeri -

..Garaduz untuk Grace..(✿◠‿◠)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sebuah Kolaborasi Menyambut Natal (1)

22 Desember 2011   15:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:53 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Penghuni Baru

Tirai malam makin diturunkan saat alam bersabda dalam hening, meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan. Dan itu tak cukup untuk menghalangi langkah cepat Vento menabrak botol-botol bir yang berserakan di ujung gang sempit itu. Setidaknya remaja berusia 17 tahun tersebut sudah bisa lepas dari cengkraman nenek sihir jahanam.

Bukannya menjadi naungan pengganti kehilangan sosok ibu, wanita paruh baya itu malah menjadi momok. Di depan ayah Vento, dia berubah menjadi dewi. Tapi di belakangnya, dia pantas disebut nenek sihir jahanam yang menguras segala jerih payah Vento di jalanan.

***

“Mana uang hasil jualan tas kresek dan mengamen hari ini?”

“Itu sudah kuserahkan semua.”

“Bohong, kamu!”

“Itu sudah semua.”

Plak!!

Tamparan telak di pipi kiri berdebu itu menyudahi semua pergulatan argumen panjang yang pada akhirnya membuat Vento mengutuki harinya di taman kota usai pelarian tanpa skenario. Mau tak mau, pandangannya makin mengabur. Dipilihnya untuk meredamnya dalam lipatan tangan yang menyangga sebuah kepala batu. Kepala yang terlalu disibukkan dengan rupa-rupa tanda tanya kekejaman hidup.

***

“Ha ha ha..Kau menangis?”

Sontak kepala batu itu terangkat mencari sumber suara.

“Aku disini, lelaki cengeng!”

“Hei! Aku tidak cengeng!”

“Hah! Wajahmu sudah bicara. Tak perlu ada bantahan lagi.”

“Tutup mulutmu! Kau tak tahu hidupku.”

Gadis remaja urakan itu tetap membuka mulutnya. Tentu saja dengan seringai mengejek.

“Oke..oke..aku tutup mulut. Nah, sekarang giliranmu buka mulut dan bercerita.”

Kekerasan hati itu luntur jua kala sepotong roti diulurkan tangan Noela. Bukan roti yang melunturkan hatinya tapi pintu persahabatan yang dibuka gadis hitam manis itu, mengusir pula rindu bulan kesepian akan belaian para bintang.

***

“Kau tinggal disini?”

“Kau keberatan?”

“Aku tidak bilang begitu..lihat, aku sudah melewati ambang pintu,” Vento menjawab dengan senyum kakunya, mengambil langkah satu depa ke dalam.

“Siapa kamu?” Suara lain menggapai telinga Vento. Lebih tepatnya, menggugahnya untuk membalikkan badan.

“Siapa dia, Noela?”

“Oh, iya, ini Vento. Vento, ini Leon.”

“Namaku Advento. Panggil saja Vento.”

Jabatan tangan singkat yang sudah terlanjur melekat itu dilepas kasar Leon.

“Noela! Tidak cukupkan kesulitan kita di sini? Kau mau menambah beban lagi dengan kehadiran dia?”

“….”

“Aku hanya menumpang sementara disini.”

“Hah! Menumpang katamu? Gratis? Enak saja!”

“Leon...”

“Lalu untuk makan? Mau disuapi?”

“Hei! Aku akan bekerja.”

“Iya, dia akan bekerja.”

“Kau bisa kerja apa?”

“Apa saja.”

“Hmm..kita lihat saja. Pastinya, aku bukan Sinterklas yang mau memberi barang gratis! Aku juga punya kebutuhan lain!”

Lengkingan suaranya ditelan frekuensi radio tua dibalik bilik sumpek dalam gubuk reot itu.

“Jangan diambil hati. Nanti hatimu berkarat. He he he... Leon memang agak kasar untuk menutupi sifat baiknya.”

Kedipan mata Noela sedikit menenangkan, mencairkan kekakuan tadi, menandai babak baru kehidupan Vento sebagai seorang anak jalanan tulen.

Emosi Leon memang cukup beralasan karena sejak tiga bulan lalu, dia dan Noela mau tak mau harus menghidupi Nenek Irma, seorang wanita tua sebatang kara yang hidup di gubuk sebelah. Secara manusiawi, keduanya punya kebutuhan sendiri yang berat untuk ukuran mereka. Apalagi Leon hanyalah pengamen jalanan dan Noela berprofesi sebagai tukang cuci piring di warung tenda yang kadang ditambah pekerjaan serabutan lainnya guna pemenuhan nafsu perut sesehari. Dan kemanusiaan pulalah yang mendorong mereka untuk berempati kepada wanita tua itu, menyatukan gubuk mereka dan merawat Nenek Irma.

Lalu terkadang penggalan bayang kisah pilu lima tahun lalu menggerayangi ingatan Noela. Kala hujan tak mau berhenti menghantam bumi malam itu, bertarung dengan kepedihan ditinggalkan sepasang ayah-ibu. Ya, mereka memilih mengorbankan Noela, si bungsu, demi dua mulut lainnya yang dirasa lebih pantas untuk dihidupi. Sekejam itukah? Hmm...Hingga tangan kasar remaja bermata satu yang tak dikenalnya itu mengelus rambutnya, menyentuh sampai ke ujung kalbu. Memberi mentari kehangatan khas seorang kakak yang menggeleng saat mata lebar itu sudah terlanjur basah dalam lara. “Tenang ... masih ada aku.” Mana mungkin bisa dilupakannya?

***

Hari-hari terus berjalan maju dalam arus kemacetan lalu lintas kehidupan, termasuk kehidupan di kawasan kumuh itu. Masing-masing tenggelam dalam rutinitasnya, termasuk Vento yang terpaksa fokus di dunia pemulungan sampah, karena gitar yang dipakainya mengamen disita si nenek sihir. Hingga …

“Aku capek sekali, Noela.”

“Sudah pulang? Cepat sekali. Sebentar kuambilkan minum.”

Gubrak!!!

Gitar tua itu buru-buru ambruk didahului robohnya tubuh gempal pemiliknya.

“Leon? Leon?”

(bersambung ke sini)

------------------------------------------

*persembahan Adit & Garaduz

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun