Mohon tunggu...
Garaduz Grace
Garaduz Grace Mohon Tunggu... pegawai negeri -

..Garaduz untuk Grace..(✿◠‿◠)

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ayahku adalah..... (Refleksi Hari Ayah Sedunia - 1)

20 Juni 2011   00:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21 930
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Seragam hijaunya membuat Ayahku kelihatan keren. Apalagi jika dia sudah memanggul senjatanya itu. Wow! Lebih dari pahlawan manapun! Hal itu membuatku terdorong untuk mengikuti jejaknya sebagai seorang tentara saat dewasa nanti. Sayangnya beberapa tahun terakhir ini, Ayah sibuk bertugas di daerah terpencil sehingga hanya bisa mengunjungi ibu, aku dan ketiga kakakku dua kali setahun, tepatnya saat perayaan Lebaran dan Tahun Baru. Pelepasan rinduku kepadanya pun hanya bisa kulakukan via ponsel. Kuharap Ayah dapat menjadi tentara yang loyal terhadap tugasnya membela bangsa ini, tidak mengkhianati masyarakat dan kami keluarganya. Mengapa kukatakan hal yang terakhir tadi? Itu karena mengingat banyaknya cerita miring tentang para tentara yang sering main hakim sendiri, semena-mena terhadap warga sipil. Yang lebih parah lagi, ada para tentara yang sudah berkeluarga, namun memiliki wanita idaman lain secara diam-diam. Semoga Ayahku tidak berperilaku demikian. Karena bila itu terjadi, aku mungkin tidak akan pernah bisa memaafkanmu, Ayah. Cepatlah pulang. Aku rindu padamu. Selamat hari Ayah!”

Hanya segelintir siswa yang menyambut karangan yang baru saja dibacakan Mustafio di depan kelas. Yang lain lebih banyak mematung, namun ada pula yang memilih bisik-bisik. Sosok tidak banyak bicara itu kembali ke tempat duduknya, santai tanpa berucap sepatah kata pun menjadi jawaban kepada beberapa teman yang melongo beberapa detik kepadanya.

·٠

Menjelang peringatan hari Ayah Seduniapada 19 Juni 2011 ini, guru Bahasa Indonesiaku yang kreatif itu memang sudah menugaskan aku dan ke-25 siswa lainnya, seminggu sebelumnya untuk membuat sebuah karangan yang menggambarkan kesan seorang ayah terkait profesinya di mata kami. Hmmm.. Gampang-gampang susah untuk merangkaikannya dalam kata, kalimat dan paragraf bagi seorang seorang siswa kelas III SMP (kelasVIII) yang hampir genap berusia 14 tahun ini. Dan karena penanggalan 19 Juni 2011 jatuh pada hari Minggu, maka tugas ini dipresentasikan hari ini - Senin, 20 Juni 2011.٠

Tepukan meriah akhirnya memecah hening dalam ruang kelas berdinding biru langit itu, diikuti senyuman bangga para pemilik karangan berikut ini..

“Ayahku adalah seorang fotografer. Tiga kali seminggu dia selalu mengajakku berburu objek menarik. Kadang-kadang kami berdua tak selalu ke pantai dan gunung, tapi kami memanfaatkan lingkungan sekitar tempat tinggal yang sebenarnya menyimpan banyak keindahan yang layak diabadikan kamera Canon-nya itu. Sungguh menyenangkan bila Ayah mengizinkanku untuk tidak sekadar menyentuh, tapi juga memegang kamera kesayangannya itu, mengajariku bagaimana membidik objek yang baik guna menghasilkan suatu kualitas foto yang maksimal dan berdaya seni tinggi. Ah, Ayah.. Kelak aku ingin menjadi seorang fotografer handal seperti dirimu. Terima kasih, Ayah. Fitria sayang Ayah. Selamat hari Ayah!”

“Pelatih karate merupakan profesi ayahku. Sedari SD, Ayah sudah memaksaku untuk mengikuti bela diri itu. Awalnya aku selalu meraung-raung dalam tangisan setiap kali menjelang waktu latihan karena di otakku hanyalah bermain dan bermain. Kebebasanku terasa dikekang. Namun, lama-kelamaan kusadari akan manfaat karate itu. Cintaku pada karate akhirnya makin kuat seiring dengan cintaku pada Ayah. Dibalik kekerasan kata-katanya yang berpetuah, ayah ingin aku tumbuh menjadi anak lelaki yang kuat, tidak cengeng dalam menghadapi kerasnya badai kehidupan. Lihat saja sekarang rupa-rupa piala dan piagam penghargaan yang kuraih dari banyak pertandingan. Mengagumkan! Selamat hari Ayah.. Marselino selalu sayang padamu, Ayah.”

“Namaku Syalomita. Aku putri kedua ayahku. Ayahku sendiri merupakan seorang bupati selama dua periode kepemimpinan. Selama itu pula, tidak ada perubahan signifkan dalam hidup kami. Rumah kami pun biasa-biasa saja, masih sama seperti waktu Ayah belum menjadi orang nomor satu di kabupaten ini. Sampai sekarang pun Ayah hanya punya satu unit motor tua yang sering dipakai mengantar ibu ke pasar maupun aku ke sekolah bila dia tidak berhalangan. Jangan kira karena profesi Ayahku lalu aku sering dimanjakan dengan hal-hal yang berbau kemewahan. Lihat saja ponselku, ponsel tua “warisan” kakak yang nada deringnya masih poliponik. Lihat saja tasku, tas yang sudah kupakai sejak pertama kali terdaftar sebagai siswa kelas VII di SMP ini. Kerendahan hati dan hidup apa adanya tanpa lupa bersyukur pada Tuhan berulang kali menjadi selingan pembicaraan Ayah setiap kali kami berada meja makan. Kuharap nilai-nilai positif ini akan terus dipertahankannya. Kudoakan selalu agar jalan Ayah tetap bersih, jauh dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Selamat hari Ayah.”

“Setiap hari Ayah sibuk dengan aneka barang dagangannya yang dibawa para agen. Mau tahu kenapa? Tentu saja karena dia adalah pedagang, profesi yang sudah ditekuninya sebelum aku menjadi warga bumi, bahkan sebelum Ayah membawa wanita yang disebut Ibu itu ke dalam rumah kami. Toko kami selalu laris-manis karena dia berdagang dengan jujur dan selalu menjual dengan harga murah. Walaupun begitu, dia tidak menerima bon. Aku ingat motonya yang lebih mirip pantun itu berbunyi demikian, “rumah hancur karena bom, toko hancur karena bon”. Ha ha ha.. Aku sering membantunya menjaga toko, tapi bukan berarti aku ingin menjadi pedagang. Aku ingin jadi dokter dan kuharap uang hasil dagangannya bisa memenuhi cita-citaku itu. Maju terus, Ayah. Elsa sayang Ayah bukan hanya pada peringatan hari Ayah ini tapis setiap waktu dan selamanya..”

Selanjutnya giliran Elhanan, seorang remaja bertubuh tambun yang memiliki senyuman terbaik di kelas kami..

“Aku bangga ketika ke gereja bersama Ayah, Ibu dan kedua adikku. Disana kami menyaksikan Ayah dalam balutan jubah hitamnya berkhotbah dari atas mimbar, menyampaikan tentang apa yang disebut kebaikan, kebenaran dan sorga. Bukan cuma yang indah-indah yang dipaparkannya, tapi juga pertobatan, penderitaan bahkan kebobrokan yang terjadi di masa lampau menurut Kitab Suci maupun fakta masa kini yang terjadi di sekitar kita, neraka dan lain-lain. Sebagai seorang pendeta, Ayah tidak hanya banyak bicara selama hampir dua jam setiap ibadah Minggu, tapi yang paling utama adalah gambaran tingkah laku, perkataan dan perbuatannya sesehari terhadap sesama. Aku masih ingat ketika doa pagi kami sekeluarga terhenti karena ketukan pintu dibarengi tangisan seorang seorang wanita muda yang datang dalam kondisi babak belur, mengadukan kekerasan fisik yang dilakukan suaminya dan mohon didoakan. Ada pula saat ayah mengajakku untuk mengunjungi seorang wanita tua renta yang berbeda agamanya dengan kami di desa tetangga. Maksud kedatangan kami bukan untuk meng-Kristenkannya, tapi untuk berbagi kelebihan materi yang ada pada kami serta menghargai perbedaan. Dan itu nilai ketulusan yang diajarkan Ayah kepadaku dengan teladan Kristus yang kata dia, telah terlebih dahulu mengasihi kita, sehingga sudah sepatutnya kita pun mengasihi orang lain tanpa pamrih. Memberi dan terus memberi tanpa mengharapkan balasan, bagai mentari yang bersinar kepada seisi dunia. Bagiku Ayah adalah anugerah tak terkira untukku. Semoga Tuhan selalu menyertai Ayah. Selamat hari Ayah..”

Kali ini para penghuni kelas kembali terdiam. Mungkin karena terharu bahkan ada yang menatap ke arahnya tanpa kedipan mata. Untunglah tepukan tangan solo seorang gadis berkulit coklat yang sebangku dengan Elhanan akhirnya mengundang tepukan-tepukan tangan lainnya.

(bersambung ke Aku Tak Punya Ayah, Aku Punya Yesus (Refleksi Hari Ayah - 2))

----------------

artikel terkait : Hari Ini Pengecut Itu Berulang Tahun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun