[caption id="attachment_176694" align="aligncenter" width="300" caption="Kanya"][/caption]
Sebulan terakhir sejak aku dan Kanya – putraku yang saat itu berusia tiga tahun - menjadi penghuni baru di tempat kost ini, aku makin akrab dengan Ge, perempuan kocak di usia akhir 20-an yang kadang-kadang lebay-nya kumat tanpa remote control.
.
Pada Jumat sore itu, secara mendadak dia dimintai kesediaan oleh seorang tetangga kami untuk menjadi salah satu pendukung liturgi ibadah unit – ibadah dalam satu wilayah domisili tertentu. Tentu saja hal ini menyebabkan acara cuci-bilas pakaian kotor bersama yang sudah kami jadwalkan sebelumnya akhirnya harus kulakukan sendiri. Jadilah aku harus bersolo-ria mencuci segudang pakaianku dan Ge, yang terdiri dari rupa-rupa pakaian penutup raga bagian atas, bawah maupun dalam.
“Tidak apa-apa. Nanti aku cuci punyamu juga.”
“Wah, aku jadi tidak enak hati. Ma’i – nama panggilanku – harus mencuci semua pakaianku sendiri.” “Ah! Jangan pura-pura. Bilang saja kalau kau juga senang.”
“Jadi maksudnya aku harus bilang terima kasih, begitu? Ha ha ha..”
“Dasar perempuan tidak tahu diri!”
“Ha ha ha..tenang, Ma’i. Akang kudoakan Ma’i ini dalam ibadah nanti, supaya Tuhan selalu memberikan kekuatan ekstra kepadamu sehingga bisa mencuci pakaian-pakaianku lagi lain kali.”
“Bilang saja kalau kau pemalas. Sudah pergi sana. Nanti kamu terlambat.”
“He he he..iyooo..”
“Wei! Apa ini sudah semuanya? Atau masih ada lagi pakaian-pakaianmu yang lain?”
“Sudaaah...” Kali ini jawaban penutupnya seiring dengan ditutupnya pintu kayu bercat merah yang memakai plastik tebal kusam tembus pandang sebagai pengganti kaca.
.
Beberapa menit setelah kepergian Ge, aku merasa seperti ada yang kurang. Aku tahu perempuan lajang itu agak talamburang – berantakan. Tiba-tiba aku berubah curiga ala detektif Sherlock Holmes dengan niat membuka pintu kamarnya.
“Hmm..siapa tahu dia belum memberikan semua pakaiannya untuk kucuci. Kucek dulu ah, di kamarnya,” gumamku seirama kerja tanganku kananku yang menurunkan pegangan pintunya ke bawah.
.
Ternyata usahaku sia-sia. Aku lupa kalau Ge sudah mengunci pintunya dan tentu saja membawa pergi serta kunci pintu yang berhiaskan gantungan ukiran kayu dari Bali itu
.
Dan aku juga lupa kalau Kanya kecilku sedang memandangiku dari dati dengan pandang selidik polosnya. Sepasang mata bulat hitamnya menelisik sampai ke lubuk hatiku, mencari jawaban atas aksiku yang dinilainya tak biasa..
“Mama kenapa mau membuka pintu kamar tante Ge? Mama mau mencuri, ya?”
“E he eh..maksudnya Mama mau ambil pakaian tante Ge yang lain untuk dicuci, nak..”
“Ooo..”
.
Ohoo..anakku mencurigaiku sebagai seorang pencuri. Kanya..Kanya..apa tampang mamamu seperti seorang pencuri? Niat baikku, malah kau curigai. He he he..
╚═════♥══════════♣══════════♥═════╝
» diceritakan berdasarkan penuturan seorang sahabat «
◕
Catatan:
- Anak itu polos – ada juga orang dewasa yang polos (✿◠‿◠)
- Jangan cepat mengambil kesimpulan berdasarkan apa yang dlihat pertama kali. Apa yang dilihat mata belum tentu menyiratkan yang sebenarnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H