Mohon tunggu...
Garaduz Grace
Garaduz Grace Mohon Tunggu... pegawai negeri -

..Garaduz untuk Grace..(✿◠‿◠)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Potret Neraka Kemiskinan Para Bocah di Ambon Manise

23 Juli 2011   06:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:27 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa tidak kau lahirkan aku di atas kemewahan, Ibu? Apakah aku harus menyalahkanmu? Aku jenuh, letih.. Hidup bagaikan seekor kelelawar malam. Tak ada seorangpun yang dapat menghilangkan dahaga itu, Ibu.

Jerit pilu bermandikan tetesan air mata Sulis seakan membasahi kalbunya, saat Sukur, adiknya harus dipanggil Yang Kuasa. Rupa-rupanya kehidupan begitu keras dan memukulnya telak lewat penyakit kronis yang perlahan-lahan menggerogoti tubuhnya, bahkan mengambil nyawanya menyusul sang bunda yang sudah lebih dulu pergi.

Dia terbujur kaku, didampingi Wandi sahabatnya yang mematung dengan tatapan hampa. Sedangkan Sulis masih menjerit histeris bagai kesetanan, mencari jawab atas tanya akan rongrongan kemiskinan yang melekat erat pada mereka sejak pertama kali hadir di dunia. Dan suasana makin haru kala alunan lagu Bunda milik Melly Goeslaw menelusup dalam alur kisah itu.

Sungguh tragis, Sukur yang begitu belia di usia belasan awal harus pergi secepat itu. Padahal sejak lama dia sudah memendam asa untuk mengenyam pendidikan di bangku menengah sebagaimana bocah-bocah sebayanya yang lebih beruntung. Dan Sulis kini harus mengais bekas gelas plastik air mineral sendirian, pekerjaan yang sudah digelutinya sejak lama guna sesuap nasi, tanpa celoteh dan suara riang sang adik lagi.

Dari dulu memang, Sukur selalu memandangi kerumunan siswa-siswi di sebuah sekolah yang tak jauh dari tempat tinggalnya yang kumuh dengan mata berbinar. Namun, Wandi lalu membuyarkan mimpinya itu, menyadarkannya, bahwa itu adalah kemustahilan belaka.

"Kamu tidak akan bisa masuk kesana," sergah Wandi.

"Mengapa?" tanyanya.

"Kita tidak sama dengan mereka," tegas Wandi mengingatkan.

"Ah! Pokoknya aku tetap ingin masuk, ingin sekolah seperti mereka dan memakai baju seragam seperti itu," paksanya.

Hingga ajal menjemputnya, asanya pun tak kunjung terwujud.

"Kasihan.. Padahal dia begitu ingin bersekolah," timpal teman-teman sebayanya.

Tak pelak Sulis pun pingsan seketika. Dan pentasan teater Komunitas Lalan pun berakhir. Namun, aksi spontan gadis cantik tanpa riasan yang berkaos putih itu bukan dibuat-buat. Karena begitu menghayati perannya sebagai seorang anak jalanan, Sulis tiba-tiba pingsan. Dan baru siuman beberapa menit kemudian setelah dibopong teman-temannya ke bagian belakang tribun Lapangan Merdeka, Ambon.

Itulah penggalan jeritan jiwa anak-anak jalanan Kota Ambon yang tergambar pentasan teater berdurasi kurang lebih 25 menit itu, yang diramaikan oleh sekira empat puluhan anggota Komunitas Lalan (salah satu komunitas peduli anak-anak jalanan di Ambon) maupun anak-anak jalanan.

Bukan hanya minimnya kesempatan mengenyam pendidikan yang ditampilkan dalam pentasan tersebut. Dunia pekerjaan yang sebenarnya terlalu dini untuk jiwa-jiwa muda itu terpaksa digeluti. Sebut saja dari pedagang asongan, loper koran, hingga pemuda yang luntang-lantung mencari jati diri dan pekerjaan. Tak urung, minuman keras menjadi sahabat akrab, kala mata hati memandang perih orang lain yang melangkah begitu gagah dalam balutan seragam PNS.

Di lain sisi, ada mereka yang lebih beruntung, yang memiliki anggota keluarga lengkap, ibu dan ayah. Belum lagi limpahan kasih sayang yang menyeimbangi kecukupan materi.

Sedari awal, pentasan yang digelar dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional itu begitu sederhana. Tidak ada balon, tidak ada kursi. Yang ada hanya beberapa coretan tangan anak-anak itu, semisal puisi dan lukisan sederhana yang ditempelkan pada beberapa bagian dinding tribun, disamping sebuah spanduk bertuliskan "Jangan biarkan kemiskinan merenggut masa depan kami", ditambah dengan dua buah spanduk milik Pemerintah Provinsi Maluku yang sudah terpampang disitu sehari sebelumnya.

"Panggung" itu sudah dipenuhi oleh sekira 25 orang anak yang riuh dengan permainan mereka. Kumpulan anak-anak yang mayoritasnya berusia 8-9 tahun ini terlihat berkejar-kejaran penuh kecerian. Namun, ada pula yang memilih duduk sembari bersenda gurau. Mereka seakan tidak peduli bahwa hari ini adalah hari Anak Nasional.

Tidak ada yang tampil dengan baju rapi sebagaimana akan menghadiri suatu acara meriah. Tak ada kalangan elit berdasi, berkemeja rapi, maupun berseragam pemerintahan. Tak ada kata-kata sambutan, layaknya sebuah acara seremonial. Yang hadir hanyalah kalangan pemuda, media, dan penonton dadakan yang kebetulan melintas.

Dan anak-anak yang berusia antara 5-13 itu malah memakai baju-baju seadanya, yang dipakai sesehari. Kotor, lusuh, dan compang-camping. Bahkan, mereka begitu nyaman tanpa alas kaki. Seorang bocah tampak sedang membawa setumpuk koran, yang seharusnya sudah dijajakannya di jalanan. Namun, karena harus pentas hari ini, dia terpaksa menunda waktu kerjanya.

Kira-kira pukul 12.00 WIT, acara itu dimulai. Sebelumnya beberapa musik diperdengarkan, mulai dari instrumentalia lembut hingga R N B yang menghentak, yang kemudian mengundang beberapa anak yang mempertontonkan aksi disco mereka, mulai dari salto hingga moonwalk-nyaMichael Jackson dengan wajah yang sudah dilumuri cat minyak sebagai aksesoris pentasan.

Pertunjukan itu memang tidak jauh bedanya dengan kehidupan yang dilakoni Wandi Latif (13), bocah kelahiran 1995. Belia yang sama sekali tidak ingat tanggal ulang tahunnya itu mengaku lebih suka tinggal bersama teman-teman sebayanya dibandingkan bersama ayah dan ibu tirinya beserta ketiga saudaranya yang lain di Batu Merah.

"Saya jarang pulang. Kalau malam tidur di pasar. Kecuali kalau saya dipanggil papa," ujar bocah yang sempat unjuk kebolehan dengan gaya moonwalk-nyatadi, sambil tersenyum.

Sesehari Wandi memang lebih suka berjualan tas kresek di Pasar Arumbae daripada mengecap dunia sekolah seperti kali terakhir dialaminya saat di SMP Al Watan Ambon. Kata dia, itulah kemauannya sendiri, menjadi tumbal bagi pendidikan adik-adiknya mengingat minimnya kemampuan finansial orang tua.

"Itu kemauan saya sendiri. Papa kan sudah tidak mampu lagi membiayai kami semua," ucapnya santai.

Lebih lanjut untuk profesinya, anak kedua dari empat bersaudara ini mengungkapkan, bisa meraup laba Rp.30 ribu per hari, yang ditabungnya untuk membeli baju saat jelang Lebaran nanti. Namun, dikeluhkannya, sang ibu tiri sering kali meminta uang hasil keringatnya.

"Mama (ibu tiri, Red) sering minta. Kalau tidak dikasih, dia marah-marah. Tapi, saya tidak pernah memberikan karena mau beli baju Lebaran," terangnya polos.

Uniknya, dia sangat ingin bersekolah bila ada orang yang mau menjamin segala sesuatunya mengingat biaya pendidikan sekarang tidak cukup dengan gratis biaya operasional. Selain itu, jauh di lubuk hatinya, Wandi sangat merindukan ibunya di Namlea, Kabupaten Buru, yang kini sudah menikah dengan pria lain, sama seperti ayahnya. Dia ingin sekali menemui wanita yang melahirkannya itu kala dewasa. Meskipun sayang kepada kedua orang tuanya, dia juga menuding mereka sebagai penyebab semua derita ini. " Saya jadi susah begini karena papa dan mama yang menikah lagi," tuturnya tanpa ada ragu sedikitpun.

Lain Wandi, lain pula La Amu (9). Bocah imut berbaju hijau ini mengaku duduk di bangku kelas V SD Negeri 13 Ambon. Namun, ternyata anak keempat dari enam bersaudara ini berbohong kepada penulis dengan alasan yang tidak diketahui pasti. Padahal, temannya sudah mendesak La Amu untuk berkata jujur, namun pemilik rambut jabrik ini tetap bersikukuh dengan jawabannya.

Hal yang sama ditegaskannya pula saat ditanyakan mengenai makan-minum sesehari di dalam keluarga. Awalnya, dia mengaku tak ada masalah. Alhasil, setelah didesak berulang-ulang bahkan sampai La Amu membuat tawa kami pecah saat dia mengangkat kaos lusuhnya untuk menunjukkan perutnya, akhirnya dia mengaku lirih, tak setiap hari bisa makan di rumah akibat keterpurukan ekonomi keluarganya. "Iya. Sebenarnya saya jarang makang. Kemarin saja saya tidak makan".

Demikianlah memoar peringatan Hari Anak Nasional 2009 yang diselami penulis pada 23 Juli 2009 di ibukota Provinsi Maluku yang berjulukan Ambon Manise. Manise (sungguh manis) julukan yang kontras dengan kepahitan Sulis, Sukur, Wandi, La Amu, mewakili ratusan atau mungkin ribuan bocah lainnya di Indonesia yang mengais lembaran-lembaran rupiah di jalanan..mengorbankan masa kecilnya di emperan toko, menyambut turunnya tirai malam beralaskan potongan kartun dan berselimutkan koran-koran bekas. Apa yang seharunya kita lakukan? Mari merenung dan bertindak! Selamat Hari Anak Nasional! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun