Mohon tunggu...
Garaduz Grace
Garaduz Grace Mohon Tunggu... pegawai negeri -

..Garaduz untuk Grace..(✿◠‿◠)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Uya-ku Bukan Uya Kuya

10 Juli 2011   21:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:47 248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa tidak kenal Uya Kuya? Mungkin gelengan bisu yang akan kau dapatkan bila pertanyaan itu kau dendangkan kepada rumput yang bergoyang. Uya Kuya pemilik nama asli Surya Utama yang kini telah menjadi milik publik, dielu-elukan di layar kaca hingga layar tancap. Fantastis! Bombastis! Elastis kepopulerannya! Berlapis-lapis kayak kue lapis! Tak kunjung kempis. Peace! Peace! He he he.. Woei! Cukup..cukup..

By the way, aku juga punya Uya. Dan yang pasti, Uya-ku ini bukan Uya Kuya. Uya..demikian aku dan kawan-kawan sebaya memanggilnya demikian, dipangkas dari nama lengkap Jolia. So, itu nama perempuan. Sosok yang tidak banyak bicara. Lembut..bahkan saat bocah-bocah nakal berseragam putih-biru itu tak henti-hentinya memuntahkan ejekan, Uya tetap sabar. Suaranya tak bisa melengking apalagi mengeluarkan jurus menjepit bak kalajengking. Sangat tidak mungkin dilakukan seorang Uya. He he he..

Aku memang tidak ingat benar bagaimana awalnya kita menjalin rasa seia-sekata itu, walaupun kadang-kadang maksud dan tujuan kita bertabrakan. Semuanya menghidupkan bingkai tak bergambar yang disebut persahabatan semenjak 22 tahun silam itu. Aku pun tidak ingat benar apakah kaulah yang terdekat denganku. Karena aku bebas berbagi senyum dengan siapa saja, para penghuni petak-petak ruangan bercat hijau pucat, yang lekat dengan kostum senada putih-merah itu, sibuk berlari-larian dibalik pagar berkawat. Tapi yang kutahu, kau selalu ada. Kita bercengkrama dalam tawa, ejek, hingga mengetatkan senyum saat ilmu demi ilmu dicurahkan mereka yang memikul julukan pahlawan tanpa tanda jasa itu.

Kau hanya terpaut setahun lebih tua dariku. Kau menjelma dalam rupa seorang kakak perempuan yang mengerti aku. Aku masih ingat saat usia kita masih mengakrabi permainan lompat karet, kau sering menggenggam jemariku untuk membunyikannya seperti yang sering kau perlakukan pada dirimu. Spontan aku menarik tanganku sambil bersungut. “Jangan Uya..Nanti jari-jariku patah!” Lalu kau tertawa pelan sembari berkata, “Tidak mungkin patahlah.. Malah itu akan membuat jari-jarimu lebih rileks. Sini, kemarikan tanganmu..” Namun kedua tanganku yang sudah kapok diobok-obok olehmu kejahilanmu kini memilih menyembunyikan diri. Waspada tentu ada karena kau tak pernah bosan mencuri kesempatan untuk “mematahkan” jari-jariku itu. Ampuuun!

Bahkan ketika tahun-tahun kita akhirnya beralih ke seragam putih-biru tua. Kita masih sempat sekelas, tepatnya sebagai penghuni lantai dua sekolah tua itu. Bahkan kita sebangku, Uya..

Tahun kedua di SMP negeri itu kulalui dengan lesu. Prestasiku tumbang seiring angin persaingan yang bertiup tanpa mau kompromi. Salah satu faktor adalah pengaruh penglihatanku yang mengabur akibat kebiasaan burukku membaca dalam keremangan cahaya/pada waktu tiduran. Sontak tautan aksara yang ditorehkan guru via kapur putih di blackboard berdebu tersebut terlihat bagai abjad Mesir kuno di dinding-dinding beku piramida. Ditambah lokasi tempat duduk kita yang benar-benar tidak strategis – bangku kedua dari belakang pada lajur paling kanan - aku pun jadi malas belajar termasuk malas mencatat pelajaran.

“Uya, itu kata apa?”

“Yang mana?”

“Itu..yang paling kiri..”

“Oh..meningkatkan!”

30 detik berlalu..

“Uya..”

“Apa lagi?”

“Itu huruf apa? P apa F?”

“Ya ampun..P!”

“Ya sudah..kamu selesaikan catatannya. Nanti kupinjam untuk dicatat di rumah..”

“Dasar rabun!”

“He he he.. Daripada aku mengganggu konsentrasimu dalam mencatat.”

“Ingat Uya.. Kamu sekarang begitu berarti buatku,” kataku setengah serius, setengah bercanda.

“Ah! Penting apa?”

“Biji mataku adalah biji matamu. Yang kau lihat adalah yang kulihat,” lanjutku namun kali ini diberi bumbu senyuman lebar.

“Ha ha ha.. Ada-ada saja kamu ini.”

****

15 tahun kemudian

“Biji mataku adalah biji mataku. Yang kulihat adalah yang kulihat,” gumamku.. Mengapa demikian? Karena aku kini rutin mengenakan lensa bersayap itu sejak enam tahun lalu. – Horeee! Aku kini bisa melihat lebih baik lagi! - He he he.. Itu dia keceriaan si perempuan rabun. Tapi bukan! Bukan! Bukan itu maksudku.. Maksudku sekarang semuanya sudah berbeda. Kita masing-masing terpisah dalam panggilan kehidupan yang diresponi dengan cara yang berbeda pula.

Kau makin cantik sekarang. Hanya saja waktu itu sempat kulihat guratan sedih mengikis senyummu kala kau kisahkan perjalanan sendumu. Aku turut sedih, kawan! Untunglah disana masih ada sisa-sisa ketegaran yang menguncup dalam harap berselimutkan doa bahwa Yang Maha Kasih masih berdiri di ujung sana menanti kita, bersedia memeluk kala kita memilih pulang.

Namun yang pasti, kau tetap Uya-ku dan aku masih tetap Grace-mu. Lha, buktinya bertahun-tahun aku masih mengingat atau lebih tepatnya menghafal tanggal ulang tahunmu, 10 Juli! Hanya terpaut dua hari dari ulang tahunku!

****

Minggu, 10 Juli 2011

Aku tak punya stok kata-kata mutiara ucapan ulang tahun seperti yang sering kulakukan pada tahun-tahun sebelumnya ketika ada diantara sahabat dan kerabat yang berulang tahun. Mungkin karena faktor usia, aku jadi malas mengetikkan kata-kata yang kesannya bertele-tele dan membuat capek jemari menari di keypads hp. He he he.. Makanya saat mentari sudah menamparku dari jendela kayu yang tak pernah bisa terkunci itu, kukirimkan sms ini kepadamu.. “Selamat ultah, Uya. Gbu.” Singkat tapi kuharap kau bisa menyelami ketulusanku saat aku mengetikkannya.

Bersyukurlah kau memiliki teman sepertiku. Ha ha ha.. Narsis.. Bersyukurlah aku yang memiliki teman sepertimu. Idealnya, sama-sama bersyukurlah karena kita ada untuk saling melengkapi. Padahal seharusnya aku mengasihimu tanpa balasan apa-apa. Bukankah disitulah esensi sebuah kasih? Oh, iya..aku jadi teringat sebuah sms klasik yang kira-kira berbunyi demikian, “Persabahatan itu bagaikan mata dan tangan. Saat mata menangis, tangan menghapus air matanya; saat tangan terluka, mata menangis..” Kuharap kita selamanya demikian. Terserah kali ini kau mau jadi yang mana: mata atau tangan? Asal jangan kau “patahkan” jari-jari tanganku, kawan. Ha ha ha.. Lebih baik kau patahkan ego – aku juga – dalam pertarungan kehidupan ini.

Bahkan saat jarak terulur akibat panggilan kehidupan yang kita pilih kembali memisahkan kita, ingatlah bahwa kau adalah salah seorang yang pernah dan akan selalu berarti untukku. Sekali lagi, selamat ulang tahun yang ke-29, Uya-ku.. Aku mengasihimu sebagaimana Tuhan telah terlebih dahulu mengasihi aku dan kamu..(*)

-----------------------

Piru, 11 Juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun