[caption id="attachment_117282" align="alignleft" width="150" caption="Cinta dan Celana Dalam"][/caption] Wajah nakalnya mengembang perlahan saat sepasang tangan jahil tersebut menggumpalkan benda yang hampir berbentuk segitiga itu. Masih dengan tubuh berlilitkan handuk sebatas dada di depan pintu dapur, dia pun memincingkan kedua mata bola ping-pongnya, tanda bidikan terhadap sasaran lempar.
Alamak! Dalam sekejap dia telah menyulap gumpalan celana dalam itu menjadi bola basket mini yang siap ditembakkan ke sebuah ember hitam berisi seperempat air, yang juga telah berubah wujud dalam ilusinya menjadi sebuah keranjang basket. Itulah aksi gila-gilaan yang sesehari dilakoni putri tomboy-ku setelah melangkah keluar dari kamar mandi, berdempatan dengan dapur kami yang sudah berulang kali direnovasi.
Bila three-point-nya berhasil, gadis yang berusia hampir pertengahan 20-an ini akan bersorak kegirangan diikuti naik-turunnya kedua alis tebalnya itu. Semangatnya itu tak ubahnya bintang lapangan bola dribel, semakin meluap dengan aksi memutar tubuh jangkungnya yang pada akhirnya bersambut dengan omelanku selama beberapa detik.
Lain halnya bila tembakan pamungkasnya itu gagal. Dengan wajah masam, putri tunggalku itu akan beranjak ke lokasi jatuhnya “bola basket” dan memasukkannya pada tempatnya secara baik dan benar layaknya pakaian kotor yang siap cuci. “Duh, kurang kerjaan rupanya, anakku ini,” gumamku sambil menggelengkan kepala.
Entah dosa apa hingga putri semata wayangku berkelakukan seperti ini. Apakah aku salah mendidiknya atau karena dia salah menempatkan dirinya ke dalam pergaulan yang sarat dengan rupa-rupa hal buruk? Seperti kelakuannya yang satu ini, kebiasaan mendarah dagingnya semenjak remaja. Pusing aku dibuatnya bila melihatnya bertingkah demikian. Mulai dari tatapan memelas hingga teguran keras sudah puluhan kali kulontarkan, tapi nihil hasilnya. Seakan-akan dia sudah menulikan telinga terhadap rentetan kata-kataku– masuk telinga kiri, keluar telinga kanan.
Yang lebih gawat lagi, celana dalam itu tidak dicucinya usai mandi di kamar mandi, tapi malah dilemparkan seperti tadi. Huh! Ibu mana yang tidak stress melihat tingkah anaknya seperti itu. Anak gadis pula.
Hingga pada suatu ketika, aku menegurnya agak keras usai dia melakukan “aksinya”...
“Kau itu anak gadis! Usiamu 23 tahun!”
“Yo’i, Ma.. Aku tahu!”
“Tahu! Tahu! Tapi perbuatanmu itu tidak pantas! Kau kan punya kaki untuk melangkah keluar dan meletakkan celana dalammu baik-baik di ember itu..”
“Biasa aja, Ma.. Itu yang namanya seni. Kata pepatah, banyak jalan ke Roma. Jadi banyak jalan juga untuk memasukkan celana dalam kotor itu ke ember. Ditaruh baik-baik, bisa, dilemparkan pun bisa. Kalaupun tidak masuk sasaran, toh akan kumasukkan juga baik-baik di ember, Ma. He he he..”
“ Biasa bagaimana? Seni! Seni! Seni apa? Itu namanya tidak beretika,”
“Ah, Mama..”
“Sudah begitu, celna dalamnya tidak langsung dicuci malah masuk ember buat kucuci. Bisa-bisa setelah menikah nanti, suamimu yang mencuci celana dalammu, seperti tetangga kita, Om William yang selalu mencuci semua pakaian dalam istrinya!!”
“Lha, itu kan malah bagus, Ma.”
“Bagus apanya? Itu namanya istri pemalas, tidak tahu diri!”
“KALAU DIA CINTA, YA CUCILAH CELANA DALAMKU...!!!”
Lagi-lagi aku kehabisan kata-kata sembari memandangnya berlalu ke kamar sambil bersiul riang..
“Huf! Kapan anakku jadi dewasa, Tuhan?” gumamku dalam tanya yang tak terjawab. (*)
Artikel terkait : Celana Dalam Persahabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H