Baca bagian sebelumnya : Tuhan Ada di Bangku Gereja Katedral (1)
[caption id="attachment_116308" align="alignleft" width="300" caption="Bagian atas gereja Katedral Ambon yang tertimpa cahaya matahari - dok. pribadi"][/caption]
Tia akhirnya melangkah mengikutiku tanda menyerah usai transaksi rupiah dengan si abang becak. Kebetulan ini adalah kali kedua aku mengikuti ibadah di gereja Katolik dan pertama kalinya di gereja Katedral Ambon, jadi aku tidak merasakan kecanggungan berarti. Malah bila ada sesuatu baru pernah kulihat selama ibadah berlangsung, kuanggap itu sebagai sebuah pengalaman menarik dan seni beribadah.
Aku juga senang beribadah di gedung gereja yang kecil kemungkinannya untuk berjumpa orang-orang yang tidak saling kenal denganku seperti disini. Jadi, santai sajalah.. Dan memang benar, yang kebetulan tertangkap di sepasang lensa bersayap ini hanyalah Bung Abe - kakak tingkatku di bangku kuliah dulu – yang duduk satu bangku lebih depan dariku, sebelah kanan. Kusapa dia pelan saat secara tak sengaja bola mata kami beradu seirama dengan gerakan balik tubuhnya ke kiri belakang.
˙·٠•●★
Lagu-lagu yang dinyanyikan umat selama ibadah berlangsung sama sekali tidak bisa kami nyanyikan. Mungkin Tia agak gelisah sambil sesekali mencubit pelan atau melirik ke arahku karena ini merupakan pengalaman pertama baginya beribadah di gereja Katolik. Tapi aku justru menikmati saat-saat ini. Lebih khusyuk. Terutama saat doa yang dilakukan berulang-ulang baik dengan pose berdiri maupun berlutut.
˙·٠•●★
Ibadah berjalan lancar hingga saatnya misa.....
Lagi-lagi Tia menatapku was-was.. Kali ini dia melanjutkan untuk berbisik..
“Kak Grace.. Kita harus maju juga ke depan untuk mengambil hosti?”
“Ya iyalah, Tia.. Kamu mau maju, tidak?” tanyaku setengah menantang.
“Ngg.. Tidak tahu..” jawabnya ragu sambil mencari-cari persetujuan dariku.
“Gimana perasaanmu? Tanyakan hatimu, Tia. Kalau aku mau saja. Soalnya sejak Januari aku belum mengikuti perjamuan kudus di gereja Protestan. Toh intinya sama, bukan? Menghayati pengorbanan Yesus di kayu salib untuk kita,” jelasku ringkas.
Dan entah dia benar-benar menuruti kata hatinya atau terpaksa daripada terlihat aneh karena tidak ikut misa, dia pun memilih berjalan meninggalkan tempat duduk menuju depan altar. Aku pun tak mau ketinggalan dengan berjalan di belakangnya bersama antrian umat yang terbagi dalam dua barisan.
Tak menunggu lama, setelah hosti dibagikan salah seorang suster pembantu, kami pun kembali ke bangku semula dengan mengambil jalan memutar. Sesaat kemudian pastur yang memimpin ibadah mengomando umat untuk memakan hosti itu. Semua berjalan lancar.. Pintu mulutku dibuka, hosti dimasukkan, dikunyah, ditelan.. No problemo!
Eh, lagi-lagi Tia memalingkan wajahnya kepadaku sembari menggeser posisi duduknya lebih dekat denganku.
“Kenapa lagi?” bisikku penuh curiga dengan kedua alis yang agak mengerut.
“Kak Ge.. Ini..” tangannya menyodorkan Alkitab yang dibuka perlahan.
“Apa?” tanyaku penasaran.
Ya ampun! Ternyata Tia masih menyimpan hosti miliknya pada lembaran pertama Alkitab.
“Kenapa tidak dimakan?” aku mulai gusar.
Hanya gelengan kepala yang menjadi jawabannya.
“Kalau tidak mau kan tidak usah maju tadi.. Sini!” Segera kuambil hostinya dan tanpa menunggu lama, hosti itu pun menghilang dalam mulutku dengan kecepatan tangan standar.
“Beres kan?” ucapku sambil mengerling, menikmati raut mukanya yang terkejut dan mungkin mengganggapku kurang waras.
30 menit kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Alkitab, pemberian persembahan dan beberapa ritual doa. Dan akhirnya, selesailah :D
˙·٠•●★
Nah, karena besok aku, Tia dan para Guru Sekolah Minggu di kelompok kami akan merayakan Valentine’s day bersama para murid dan orang tua jompo di lokasi domisili kami, maka kami berdua bersama seorang teman guru sekolah minggu - Nita namanya - akan berbelanja beberapa barang yang dibutuhkan setelah ini. Sambil menunggu SMS konfirmasi dari temanku itu, kukeluarkan sepasang sandal jepit jelekku menggantikan sepatu nona manis yang siap dininabobokan di dalam tas tanganku. Yup! Saatnya bertempur! Lagi-lagi Tia memandangku tak percaya dengan mulut menganga plus sepasang mata yang terbelalak dengan diameter ± 5 cm. Eh, kebesaran ya? Kayaknya cuma 3 cm. Ha ha ha..
˙·٠•●★
Tak butuh waktu lama untuk berburu benda-benda yang diperlukan untuk perayaan hari merah muda itu. Dengan langkah santai, kami bertiga meninggalkan satu-satunya plaza di kota kami. Namun tiba-tiba ledakan tawa kami sedari tadi itu macet ketika melihat Tia menghentikan langkahnya sembari menekan perutnya, tak lupa pula memasang ekspresi wajah tersiksa...
“Woei! Kau kenapa?” tanya Nita.
“Sakit perutlah! Sudah lihat gayaku seperti ini, masa masih nanya lagi?” jelas Tia masih dengan pose yang sama.
“Tapi sakit kenapa? Kan tadi kita makan siang berdua? Aku baik-baik saja, tapi kenapa kamu jadi sekarat begini?” tanyaku yang lebih mirip ledekan.
“Duuh! Bukannya ditolong malah diinterogasi!” gerutu Tia.
“Sebelum mengobati pasien, dokter kan harus melakukan diagnosa dulu. Ha ha ha..” ledek Nita tak mau kalah.
“Aaa! Aku ingat sekarang!” seruku tiba-tiba bagai kejatuhan ilham.
“Apa?” tanya Tia dan Nita berbarengan.
“Itu karena tadi Tia tidak makan hosti saat misa tadi. Kualat tuh, sama Tuhan! Makanya tadi kumakan hostinya. Jadinya aku makan dua hosti, makan tubuh Kristus dua kali, berkatnya juga dobel! He he he..” jelasku.
“Hus! Bukan makan tubuh Kristus tapi lambang tubuh Kristus! Memangnya kamu kanibal?” kata Nita setengah mengklarifikasi.
“Iya, bu guru...” ucapku penuh senyum sumringah.
"Huh! Bilang saja kalau Kak Ge lapar jadinya makan dua hosti," kelit Tia.
Kembali tawa pecah diantara kami sambil melangkahkan kaki mencari rumah makan Padang terdekat sebelum Tia pingsan di jalan. (*)
----------------------------------------------------------------------------------------- Didekasikan kepada Sentia Ferdinandus dan Yuanita Siahaya [caption id="attachment_116310" align="aligncenter" width="300" caption="Gereja Katedral Ambon dari kompleks persekolahan Xaverius - dok.pribadi "][/caption] [caption id="attachment_116311" align="aligncenter" width="300" caption="Patung para santo - dok.pribadi"][/caption] [caption id="attachment_116315" align="aligncenter" width="300" caption="Kisah masuknya agama Katolik di Maluku yang diukir pada salah satu dinding halaman gereja Katedral Ambon - dok.pribadi"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H