sebelumnya:
“Ini aku, Lewi....Ini aku, Mama Pepi..”
Sepasang tangan keriput itu menggapai kacamata berlensa gandanya usai mengambil posisi duduk.
“Aku masih kenal suaramu. Hmm.. rupanya kau masih bersenang-senang dengan penyamaran favoritmu. Hmm..seakan-akan dirimu seumuran Mama sekarang.”
“Ha ha ha.. Mama, bisa saja,” sahutan putra sulungnya seakan tenggelam di telinganya kala mereka terbuai dalam pelukan.
“Kita keluar dulu, Ma. Lewi punya sesuatu buat Mama..”
Karton pembungkus kado raksasa itu dibuka dengan tangannya sendiri. Dan itu cukup untuk membuat Mama Pepi-nya terpaku dalam linangan air mata. Tapi bukan! Itu bukan air mata sedih melainkan haru.
Tangannya lalu mengelus benda itu hati-hati, seakan takut melukainya..berusaha menangkap pesan bisu dibaliknya.
“Kuharap Mama senang. Ini buatan tanganku sendiri.”
“Mirip sekali..tak ada bedanya dengan pohon Natal buatan Papamu. Terima kasih, nak!”
“Jangan! Jangan berterima kasih kepadaku, Ma. Sudah selayaknya aku menyenangkan hatimu. Berterima kasihlah kepada Tuhan yang masih bersama kita walaupun Papa sudah lama pergi.”
“Duh! Hampir lupa..”
Dirogohnya sebuah kotak terbalut rangkaian kertas metalik.
“Apa ini?”
“Buka saja, Ma..”
“Kau ini penuh kejutan..bisa-bisa Mama kena serangan jantung. He he he..”
“Hus! Mama ini bercandanya aneh-aneh terus.”
Balutan pertama dibuka..kotak merah..dibuka lagi..dan.. Tadaaa! Benda kekuningan yang bertuliskan EPIFANIA pada sisi dalamnya berhasil mengubah canda wanita 60 tahun itu menjadi tangisan yang akhirnya ditumpahkan dalam dekapan lelaki jangkung berjubah merah panjang itu.
“Dimana kamu menemukannya?”
“Di dalam lemari buku Papa. Sudah lima bulan aku menyimpannya dan kupikir inilah saat yang tepat bagiku untuk menyerahkannya kepada Mama.”
Tangisan itu belum mau berhenti
“Cup..cup...tangisannya dihentikan dulu, Ma. Karena aku masih punya kejutan yang lain.”
“Kenapa tidak kau serahkan saja semua kejutanmu dalam satu paket?”
“Ha ha ha...justru kalau satu paket akan membuat Mama kena serangan jantung. Makanya satu per satu..”
“Huh! Sudah cepat sana..”
“Sudah tidak sabar ya?”
Akhirnya tangisan itu bermetamorfosis menjadi seulas senyum. Eh, Lewi berjalan ke arahku..mau apa dia..dia mengedipkan matanya kepadaku. Haruskah aku balas berkedip? Duh, aku bagai robot saja ketika dia menarikku ke depan bundanya.
“Ini dia pencuri hatiku selama tiga tahun terakhir ini, Ma. Dia yang sering kuceritakan berulang kali kepadamu saat kita mengobrol di telepon.”
Lagi-lagi Lewi berkedip..tapi bukan kepadaku. Kepada wanita tua itu.
Setelah puas mengamat-amatiku barang dua menit..
“Telingaku sampai panas setiap kali Lewi membicarakanmu di telepon.”
“He eh..”
“Aku heran mengapa nona semanis kamu mau mencintai anakku yang hitam dan jelek ini.”
“Ah, Mama.. Curang! Masa baru kenal saja Mama sudah menyukai dia lebih daripadaku? Dan aku terima kalau aku dikatakan hitam, tapi aku aku tidak terima bila dikatakan jelek. He he he..”
“Mama bosan melihat kamu terus.”
“Yeee..”
“Sudah sana..jangan lama-lama kau pacari dia.”
“Maksudnya?”
“Nikahi secepatnya...Dasar!”
“Ha ha ha ha...” seisi ruangan tertawa..
Entah bagaimana reaksi jantungku sekarang. Berdebar senang atau terkejut. Ah! Epifania! Ternyata itu nama depan ibundanya. Yang aku tahu, Lewi biasa memanggil wanita itu dengan nama Mama Pepi. Ini juga pertama kalinya aku bertemu dengannya. Semenjak kematian suaminya, dia tinggal bersama adik Lewi di Manado. Selebihnya aku cuma beberapa kali bersua dengannya via telepon saat sedang bersama Lewi-ku. Ah! Bisa-bisanya aku cemburu kepada bundanya sendiri. Inikah yang dinamakan cemburu menguras hati? Heh! Aku jadi malu. Dan akan lebih malu lagi jika analisa ala Detektif Conan abal-abalku itu kuceritakan kepadanya, karena sudah tidak diragukan lagi, aku akan menjadi bulan-bulanannya selama berbulan-bulan.
Eh, masih ada lagi misteri yang akhirnya terpecahkan. Itu..proyek rahasia Lewiku selama bulan November itu. Ternyata itu kejutan pohon Natal buatan tangannya untuk menggantikan pohon Natal tua buatan almarhum ayahnya itu. Sekali lagi dia berhasil mengelabuiku. Curiga-cemasku terjawab sudah.
“Oi, nona...apa yang sedang kau pikirkan? Haruskah aku memata-matai isi kepalamu?”
Kata-katanya kembali menarikku ke dunia nyata, tepat saat sebuah kotak merah kecil yang sudah dipampangkan isinya tepat di hadapanku.
“Awas kalau kau tak terima lamaranku..”
“Eh, berani mengancamku di depan ibumu dan teman-teman..”
“Biar! Setidaknya supaya kau tidak cemburu kepada Epifania,” bisiknya nakal yang akhirnya membuatku menjewer telinganya..diakhiri..sebuah pelukan..
"Aku cinta kamu. Selamat ulang tahun, nona manisku. Jangan nakal sampai Natal tahun depan, ya? Dan jangan pernah berhenti mencintaiku."
“Terima kasih, sayang. Kuterima lamaranmu, sinterklas cinta..”
(tamat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H