Kutengadahkan wajahku, tapi tak kutemukan Tuhan. Hanya Mickey mouse yang tersenyum dengan pakaian ala dokternya. Mataku seperti semakin tenggelam ke dalam tengkorak akibat kurang tidur tapi kadang pula terlihat sembab bin bengkak karena menangisi penderitaan putraku. Jika suamiku yang bersalah, kenapa tidak Kau hukum saja dia, Tuhan? Kenapa harus anakku yang menanggung ini semua? Aku tergetar dalam geram sambil meremas ujung seprai putih polos. Tidak! Aku tidak boleh menangis! Aku tidak mau saat Putra terbangun dan menemukanku seperti ini, membuatnya makin sedih kala dia butuh kekuatan.
Sudah tiga hari demam Putra tak turun-turun. Ini merupakan serangan stepnya yang kedua setelah tiga bulan lalu. Entah benar atau tidak, percaya atau tidak, tapi kata orang, jika anak terkena step, itu ada kaitannya dengan kesalahan yang dibuat orang tuanya. Padahal menurut catatan medis, step memang rentan menyerang anak laki-laki karena umumnya mereka tidak tahan terhadap suhu tubuh yang meninggi. Tapi mungkin ada benarnya, karena sekarang suamiku, ayah Putra itu sedang berselingkuh.
Sakit sekali hati ini, mengiringi sakit yang dialami Putra-ku malang, anakku sayang. Sejak sakitnya ini, tak ada kabar apapun dari ayahnya. Sekadar meng-sms atau menelepon apalagi menjenguk? Tidak ada sama sekali. Lebih baik berharap Putra lekas sembuh daripada memikirkan si brengsek itu. Ampunilah aku Tuhan bila kulabelkan kata brengsek itu kepadanya. Tapi jujur, memang aku sudah niat menyebutnya demikian.
***
Berkat keajaiban-Mu-lah, Putra-ku sembuh. Beruntung pula tubuhku masih baik-baik saja, tidak kurus, tidak pula gemuk. Pas! Malah mungkin aku masih bisa menerima pinangan lelaki lain yang lebih layak untuk kupanggil “sayang” dan dipanggil “ayah” oleh anakku. Tapi aku bukan tipe wanita demikian. Aku masih terikat pernikahan sah, yang diikrarkan bukan saja di hadapan para manusia tapi di hadapan Tuhan. Dan sumpahku bukan hanya setia di kala senang tapi juga susah, bukan? Mungkin inilah badai pertama yang sudah merobek layar pernikahanku dengan si brengsek. Lagipula aku mengamini pernikahan sekali seumur hidup dimana apa yang sudah dipersatukan Allah takkan bisa diceraikan oleh manusia. Padahal bukan sekali dia mengancam untuk menceraikanku.
“Jika kau laporkan aku dan aku dipecat, aku akan menceraikanmu!”
“Silahkan! Tapi aku takkan pernah menceraikanmu! Kalau kau mau melakukannya duluan, biarlah dosa itu yang kau tanggung!”
Lagi-lagi aku membayangkan masa depan Putra bila dia harus hidup tanpa ayah. Aku teringat saat kami bertiga masih rukun dan bahagia dulu. Rengekan Putra akan menjadi-jadi bila matanya telah menangkap mainan yang tersangkut di hatinya. Mau tidak mau, aku dan ayahku terpaksa membelikannya. Memang saat itu kondisi keuangan kami masih mantap. Tapi sekarang, semuanya sudah berbeda. Seperti hari itu. Aku agak was-was ketika akan melewati rak berisi aneka mobilan-mobilan warna-warni itu. Kucoba untuk mengalihkan perhatiannya, tapi terlambat! Dia sudah mematung di depan situ. Sejenak matanya terpukau pada benda itu, lalu beralih kepadaku.
“Nak, Papa sekarang tidak bersama kita. Jadi kita tidak punya banyak uang lagi. Uang Mama juga pas-pasan.”
“Tenang saj, Maa. Putra tidak minta dibelikan mobil-mobilan itu. Putra mengerti.”
***
Sudah hampir setahun suamiku tidak pulang. Entah sejak kapan dia berubah. Padahal sebelum menikah hingga tiga tahun terakhir ini kehidupan kami baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda adanya perempuan lain. Setiaku pun berani kujamin dengan nyawaku. Kuanalisa, sepertinya perubahan pada dirinya sejak karirnya menanjak dibalik seragam coklat itu. Pengayom dan pelindung masyarakat yang seharusnya dia emban malah tak bisa dipraktekkannya di dalam keluarganya sendiri. Ya, sejak sebuah sms kasar masuk di hp-ku. Kusinyalir itu dari selingkuhannya. Tapi aku belum mau berburuk sangka sehingga kutanyakan baik-baik dengan nada selembut mungkin kepada suamiku.
“Sayang, apa kau kenal nomor ini? Tadi aku dapat sms dari seorang perempuan,” kusodorkan hp-ku kepadanya.
“Kau jangan turut campur dalam urusanku!” bentaknya sembari membanting pintu kamar
Kenapa dia mesti marah-marah bila tidak ada “sesuatu”? Aneh, bukan? Dan selanjutnya bukan hanya Diona, tapi Valda, bahkan Stella yang berani memakiku via hp.
Hanya kesabaran dari Tuhanlah yang masih memampukanku bertahan hingga detik ini, tanpa gaji suami – aku bekerja seadanya. Aku sudah melaporkan dia ke instansinya tapi dengan tuntutan kelalaiannya memenuhi nafkah keluarga. Sedangkan tuntutan perselingkuhan belum kuajukan karena aku belum mendapatkan bukti-bukti kuat. Memang sudah banyak kerabat dan teman yang sering melihatnya bersama para selingkuhannya. Tapi aku ingin memergokinya dengan mata kepalaku sendiri.
***
Malam itu sebagaimana biasanya, Putra berdoa sebelum kami tidur malam..
“Tuhan Yesus, jaga Putra dan Mama karena kami sekarang akan tidur. Tuhan Yesus juga kiranya mau mengampuni Papa, karena Putra dan Mama tidak marah lagi kepada Papa. Kami mau Papa cepat pulang. Terima kasih, Tuhan Yesus. Amin!
Buru-buru kubalikkan wajah agar Putra-ku tak melihat mataku sudah mengabur karena air mata ini.
***
Beberapa hari kemudian, hp-ku berdering......
“Aku mau bicara dengan Putra.”
“Putra sedang apa?”
“Putra sedang main dengan Mama.”
“Kapan Papa pulang ke rumah?”
“................”
“Papa pulang saja. Kami kangen Papa. Putra dan Mama juga tidak marah lagi kepada Papa. Kami sayang Papa karena Tuhan Yesus juga sayang Papa.”
“...............”
Kalau Papa pulang nanti, Putra ingin Papa membelikan mobilan-mobilan yang kemarin Putra dan Mama lihat di toko. Putra tidak mau minta Mama yang membelikan karena uang Mama tidak cukup.”
“................”
(✿)
*dikisahkan berdasarkan pengalaman seorang teman
.
lihat juga:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H