sebelumnya: 1 | Sinterklas Cinta
Lewi-ku memang sudah menjadi Sinterklas langganan dari tahun ke tahun selama bulan Desember. Entah itu Sinterklas untuk organisasi kepemudaan, kampus, gereja, maupun untuk panti jompo atau panti asuhan. Dan karena kerendahan hatinya, dia sering menolak bayaran yang ditawarkan karena baginya hal itu merupakan bagian dari pelayanan kepada sesama manusia.
“Kesempatan ini merupakan anugerah cuma-cuma dari Tuhan sebagaimana keselamatan yang sudah kuterima. Jadi buat apa aku harus meminta bayaran? Toh, tokoh Sinterklas ini bukanlah tokoh utamanya melainkan Tuhan-lah yang telah merelakan putra-Nya, Yesus, untuk menjadi serupa dengan kita manusia karena kasih-Nya yang tak terbatas itu. Sama seperti yang kulakukan ini hanyalah alat untuk mengenalkan kasih Tuhan kepada sesama maupun mereka yang tak sama.Itu yang harus senantiasa menjadi tolak ukur bahwa apa yang kita lakukan ini bukan untuk manusia tetapi untuk Tuhan, nona. Tanpa kita sadari, ketika kita membuat orang lain tersenyum bahagia, Tuhan pun sedang tersenyum.”
Penjelasan itu sudah cukup membungkamku saat aku protes akan keterlibatannya di berbagai organisasi /lembaga yang memakai jasa penyamarannya sebagai opa yang diyakini sebagian orang sebagai jelmaan Santo Nikolas dari Myra (Demre), Turki itu.
Tak salah lagi jika orang tuanya menyandingkan nama itu kepadanya 28 tahun silam. Lewi. Nama salah satu dari 12 suku Israel yang ditugasi Tuhan khusus untuk melayani-Nya di Kemah Suci. Lewi-ku yang kukenal tak tanggung-tanggung mau melayani orang lain dalam kesehariannya.
Pada akhirnya, mau tidak mau, aku memang tidak bisa melarangnya selama yang dilakukannya berbau kebaikan meskipun sebenarnya aku cukup beralasan. Mengapa? Karena bila dia sudah berubah menjadi sang maha sibuk selama bulan kelahiran Yesus Kristus itu, sakit langganan bisa menyerangnya. Dan itu pernah membuatnya harus merayakan Natal dan Tahun Baru di rumah sakit.
So, kali ini aku memilih untuk mendampinginya, menjadi dayangnya tapi hanya untuk kegiatan Sinterklas di Angkatan Muda gereja di lokasi domisilinya.
Lewi yang kukenal sebelum proklamasi cintanya kepadaku memang merupakan sosok yang sangat mencintai anak-anak. Itu faktor kedua menyebabkannya mau jadi Sinterklas yang sinergis dengan proporsi tubuh dan kekalemannya. Terbukti para keponakannya sangat dekat dengannya. Mereka memujanya bagai dewa, melebihi tokoh kartun favorit maupun ayah-bunda. Kehidupannya yang keras setelah ditinggal ayah yang lebih memilih wanita lain ketimbang bundanya itu membuatnya tegar menopang sang bunda demi menghidupi keluarga, termasuk keempat adiknya yang masih sangat kecil kala itu. Hebatnya lagi, Lewi-ku sama sekali tidak membenci ayahnya, malah dia berhasil meluluhkan keteguhan hati bunda ketika lelaki tua itu berniat kembali ke keluarga lamanya.
Sayangnya, Tuhan berencana lain. Baru dua tahun menikmati kebersamaan kembali, sang ayah dipanggil-Nya. Lagi-lagi ketegaran Lewi-ku diuji. Apalagi sang ayah ternyata meninggalkan surat hutang pengganti warisan. Rumah mereka beserta isinya lalu disita. Kecuali....sebuah pohon Natal tua buatan tangan ayahnya yang merupakan hadiah Natal kepada sang bunda belasan tahun lalu. Ya, pohon yang diboyong ibunya bersama tas pakaiannya ketika akhirnya harus tinggal sementara dengan anak keduanya yang sudah cukup mapan.
Berkat kerjasama berbalut kerja keras kelima anaknya, rumah itu kembali menjadi ibundanya Lewi. Hanya saja, pohon Natal yang sering kali dipandanginya berjam-jam itu kini telah lapuk dimakan waktu. Namun, “reruntuhannya” masih disimpannya dengan linangan air mata setiap kali memandanginya selama bulan ke-12 sesuai penanggalan Gregorian itu, tanda setia yang tak mampu dilafalkan aksara.
“Aku tidak suka melihat bunda sedih. Makanya sisa-sisa pohon Natal itu kusimpan di loteng dan kuperbolehkannya melihatnya hanya pada bulan Desember,” kata Lewi kepadaku pada suatu hari.
“Belikan saja pohon Natal yang baru. Gampang kan?”
“Kalau bunda mau, malah sudah dari dulu. Tapi dia menolak.”
“Alasannya?”
“Karena itu buatan tangan ayahku. Tidak sama dengan produk pabrik”
“Hmm..”
“Itu satu-satunya peninggalan ayahku yang terisa dan yang paling berharga kepada ibuku.”
“Lalu, cincin....................”
“Cincin pernikahan yang dulu melingkari jari manis ayah sudah hilang ketika dia kembali ke rumah kami. Dan ibu memilih diam daripada menanyakannya.
“................”
Hmm..Sosok lelaki penyayang Tuhan, ibu, keluarga dan sesama. Sempurna menurut kamus versiku! Jadi mana mungkin aku bisa menggantikan Lewi dengan lelaki lain? Lagipula memang tidak ada alasan dan semoga aku tidak pernah memiliki alasan itu.
Hanya saja ada pengganjal kesempurnaan hidupku yang hampir sebulan ini memenuhi alam pikirku.
“Kapan dia melamarku?”
Otak detektifku mulai bekerja saat kutangkap sedikit perubahan sikap dan perbuatannya pada bulan lalu. Setiap Sabtu dia menolak bertemu denganku – tentu saja itu artinya tidak ada acara malam minggu bersamaku – dengan alasan sedang ada proyek khusus. Bahkan topik subtitusi sudah disiapkannya setiap kali aku berusaha menggali informasi tentang proyek rahasia itu.
Curigaku makin memuncak kala suatu hari kulihat kilauan benda kekuningan setengah lingkaran dari saku dompetnya yang terbuka tanpa sengaja usai dilemparkannya begitu saja ke atas meja sebelum “bertapa” 13 menit di kamar mandi rumahku.
Tak puas rasanya kalau tidak menyentuhnya..dompet kuambil, jari kumasukkan lebih dalam..lebih dalam lagi..dan..ah! EPIFANIA! Kueja nama yang mengagetkanku dari tepi dalam cincin pernikahan yang sudah pudar kemilaunya itu.
Belum berhenti gemetar di tanganku yang selaras dengan memerahnya sepasang mata yang mulai berembun, buru-buru kumasukkan lagi cincin emas itu ke tempat asalnya, berharap posisinya sama seperti semula...karena derik pintu yang membuka-tutup kini berganti dengan derap langkah.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H