Mohon tunggu...
gaplek thiwul
gaplek thiwul Mohon Tunggu... -

seorang penyuka thiwul dan gatot dari thiwul, asli wong gunungkidul

Selanjutnya

Tutup

Bola

Belajar dari Kasus FIFA

3 Juni 2015   15:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:22 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

FIFA sedang terguncang. Beberapa pejabat tingginya ditangkap FBI karena diduga terlibat berbagai kasus suap. Sekjennya pun diindikasikan terlibat hal yang sama. Terbaru, Sepp Blatter mundur dari jabatannya sebagai Presiden FIFA.

Lord Acton (1834 - 1902), seorang sejarahwan dan polisi asal Inggris pernah mengungkapkan "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely", artinya memiliki kekuasaan cenderung melakukan korupsi.

FIFA sebagai organisasi induk sepakbola dunia memiliki kekuasaan yang sangat besar. Mereka memiliki statuta dan aturan yang tidak boleh dicampuri oleh negara dan organisasi manapun. Sebagai induk cabang olahraga terpopuler dimuka bumi, FIFA sangat mudah mendapatkan sponsor sehingga pundi-pundi uang mengalir deras. Status sebagai tuan rumah piala dunia menjadi rebutan anggota FIFA karena menjanjikan pemasukan fulus yang luar biasa bagi negara penyelenggara piala dunia.

Karena memiliki kekuasaan yang super, FIFA berani mengingatkan negara yang coba-coba mengintervensi organisasi sepakbola setempat. Kasus di-banned-nya Yunani, Australi dan Brunei Darussalam menjadi bukti superiornya FIFA. 

Bergelimang kekuasaan tanpa batas dan uang melimpah, membuat pengurus FIFA akan berjuang mati-matian untuk tetap bercokol di FIFA. Sepp Blatter, sebelum mengundurkan diri, telah memimpin FIFA selama 17 tahun sejak naik sebagai presiden Tahun 1998, belum termasuk saat menjadi sekjen FIFA. 

Berbagai pihak sudah lama mengendus berbagai kasus mafia di FIFA. Tidak kurang, Legenda Argentina, Maradona, pernah menanyakannya. Sekarang, teori Lord Acton terjadi di FIFA.

Hal yang sama terjadi di PSSI. Selama ini, pengurus PSSI selalu berlindung dibalik statuta FIFA apabila ada pihak yang mengusiknya. PSSI berpendapat bahwa induk mereka adalah FIFA, bukan pemerintah Indonesia. Selama ini, orang-orang yang menjadi pengurus PSSI hanya orang-orang itu saja. Mereka hanya mencari makan di PSSI, tetapi tidak ada maksud baik untuk memajukan sepakbola nasional. Buktinya, tidak ada transparansi masalah keuangan dan manajemen dari PSSI. Tidak heran, berbagai skandal datang silih berganti, mulai masalah pengaturan skor pertandingan, suap, tertunggaknya gaji pemain sampai dengan kasus meninggalnya pemain. Selama dekade terakhir, nyaris tidak ada prestasi membanggakan dari sepakbola kita. Jangankan level Asia, apalagi Dunia, untuk sekelas Asia Tenggara kita sudah keteteran. Terbaru, Tim Sepakbola Sea Games kita dibantai Myanmar dengan skor 2-4. Maka, menurut hemat saya, saat ini merupakan momen yang tepat untuk merevolusi PSSI yang dimulai dengan pembekuan PSSI sebagaimana dilakukan Menpora, seiiring dengan kasus yang terjadi di FIFA.   

Terlepas dari itu semua, belajar dari kasus FIFA dan PSSI, serta merujuk teori Lord Acton, diperlukan semacam lembaga pengawas independen untuk mengawasi organisasi sepakbola. Bagaimanapun, FIFA dan PSSI hanyalah sekumpulan orang yang secara manusiawi cenderung menyalahgunakan kekuasaan jika sedang memegang kekuasaan besar. Lembaga tersebut harus diisi orang-orang yang kredibel dan mengerti sepakbola, audit, hukum dan manajemen yang baik. Tujuan lembaga tersebut bukan untuk mengintervensi, tetapi mengingatkan organisasi sepakbola apabila dianggap mulai menyimpang dari tujuan pendirian organisasi sepakbola. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun