Berulang-ulang kali, nama Kota Tangerang Selatan (Tangsel) mencuat ke permukaan. Sayangnya, bukan melulu karena prestasi yang berhasil diraih kota ini. Tapi, justru karena keterkaitannya dengan kelompok-kelompok teroris!
Sejumlah peristiwa terkait aksi terorisme di Tangsel adalah, pertama, berawal dari adanya ledakan bom dengan daya low explosive di dekat aau di samping rumah tokoh Abu Jibril, yang berlokasi di kompleks perumahan Witana Harja Blok C, Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang. Tidak ada korban jiwa pada peristiwa ledakan bom yang terjadi pada tanggal 8 Juni 2005, sekitar pukul 04.40 wib itu. Abu Jibril alias M Iqbal bin Abdurrachman adalah aktivis Majelis Mujahidin Indonesia, yang disebut-sebut pernah ditahan di Malaysia dan memiliki keterkaitan dengan jaringan Al Qaeda.
[caption id="attachment_313044" align="aligncenter" width="597" caption="TERORIS DI TANGSEL. Penggerebekan tersangka teroris di Gang Asem, Jalan Raya Setiabudi, Kelurahan Pamulang Barat, Kecamatan Pamulang, Kota Tangerang Selatan, pada 9 Maret 2010 lalu. (Foto: vivanews.co.id)"][/caption]
Kedua, seseorang bernama Muhammad Jibril, yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), dicokok aparat Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror pada tanggal 25 Agustus 2009. Muhammad Jibril alias Muhammad Ricky Ardhan, tak lain adalah anak dari Abu Jibril. Penangkapan tersebut terjadi di Pamulang, dan waktu itu, sempat seperti adegan kejar-kejaran dalam film laga antara aparat kepolisian dengan Muhammad Jibril yang juga diketahui aktif mengelola situs arrahmah.com. Kala itu, Mabes Polri menduga, Muhammad Jibril menjadi perantara aliran dana dari luar negeri ke Indonesia untuk dipergunakan sebagai pendanaan peledakan bom di dua hotel di Jakarta, yaitu JW Marriot dan Ritz Carlton.
Ketiga, aksi penggerebekan sejumlah teroris oleh aparat Polri Densus 88 Antiteror terjadi lagi, dimana kejadiannya tak berselang lama, atau hanya dua bulan sejak penangkapan Muhammad Jibril. Kejadian kali ini adalah pada tanggal 9 Oktober 2009, dan berlokasi di Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangsel. Ada dua orang teroris yang tewas ditembak, yakni Syaifuddin Zuhri dan Mohammad Syahrir, di sebuah rumah kos, dekat Kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.
Keempat, peristiwa yang cukup menghebohkan terjadi, tepatnya pada tanggal 9 Maret 2010. Disebut menghebohkan, karena kali ini kejadiannya berurutan di dua lokasi yang berdekatan. Diawali dengan penggerebekan yang akhirnya membuat seorang tersangka teroris tewas ditembak oleh aparat Densus 88 Antiteror di sebuah ruko yang biasa melayani business service center termasuk Warnet ‘Multiplus’ di Jalan Raya Siliwangi (seberang Situ Tujuh Muara, dan pusat perbelanjaan Pamulang Square), Kecamatan Pamulang, Tangsel.
Selang satu setengah jam kemudian, aparat kepolisian kembali beraksi. Kali ini, lokasinya masih berada di kecamatan yang sama tapi hanya bergeser sekitar satu kilometer saja dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) di Warnet ‘Multiplus’ sebelumnya. Kejadian tepatnya adalah di Gang Asem yang berada di Jalan Raya Setiabudi, Kelurahan Pamulang Barat. Drama penyergapan bersenjata ini menewaskan dua orang tersangka teroris lagi.
Kelima, terjadi aksi penggerebekan oleh tim Densus 88 Antiteror yang bertepatan pada malam tanggal 31 Desember 2013 hingga pagi hari, 1 Januari 2014. Kejadiannya di Kampung Sawah, Kecamatan Ciputat, Tangsel. Dalam peristiwa yang mengejutkan, karena bertepatan dengan malam pergantian tahun ini, terdapat enam tersangka teroris yang ditembak mati oleh aparat Densus 88. Satu orang tersangka teroris bernama Dayat ‘Kacamata’ ditembak aparat saat hendak melawan petugas dan melarikan diri menggunakan sepeda motornya. Sedangkan lima tersangka teroris lainnya, tewas diterjang peluru aparat Densus 88 Antiteror di dalam rumah kontrakan. Ditemukan sejumlah bom rakitan, beberapa senjata api dengan tipe pistol berikut pelurunya, sejumlah senjata tajam, dan barang bukti lainnya.
Deretan aksi (penggerebekan) tersangka teroris di kota yang dipimpin oleh Walikota Airin Rachmi Diany dan Wakilnya Benyamin Davnie ini memang memprihatinkan. Betapa tidak, susul-menyusul para tersangka teroris ditangkap dan meregang nyawa akibat tertembus timah panas di Tangsel. Ironisnya, semua lokasi kejadian di atas, tidak jauh dari kantor Polsek Metro Pamulang (Jalan Raya Surya Kencana No.1, atau seberang kampus Universitas Pamulang), kantor Polsek Metro Ciputat (Jalan Raya Juanda No.70), dan juga kantor Walikota Tangsel yang beralamat di Jalan Raya Siliwangi No.1.
Selain terkait dengan para tersangka terorisnya, Kota Tangsel juga tercatat mewarnai rasa duka yang mendalam terhadap korps Bhayangkara. Maklum, periode Juli dan Agustus 2013 kemarin, sejumlah aparat kepolisian menjadi korban penembakan oleh komplotan tak dikenal, yang beroperasi di sekitaran wilayah hukum kota ini, mulai dari kejadian penembakan polisi di Cireundeu, Ciputat, juga Pondok Aren. Belakangan, enam teroris yang digerebek dan ditembak mati, saat malam pergantian tahun, 31 Desember 2013, hingga pagi hari, 1 Januari 2014 itu, disebut-sebut sebagai komplotan tersangka teroris yang melakukan aksi penembakan terhadap sejumlah aparat kepolisian tadi.
[caption id="attachment_313051" align="aligncenter" width="620" caption="APARAT POLISI DITEMBAK. Lokasi tewas tertembaknya anggota kepolisian, Aiptu Dwiyatna, oleh komplotan tak dikenal di Jalan Otista Raya, Ciputat, Kota Tangsel, pada 7 Agustus 2013 lalu. (Foto: ANTARA)"]
Kenapa Pilih Kota Tangsel?
Sungguh, setelah terjadi rentetan aksi penggerebekan tersebut, hampir semua warga Tangsel terperangah, karena tak menduga, bahwa ternyata selama ini para tesangka teroris itu bermukim dan bertempat-tinggal bersama-sama dengan mereka. Tak jadi soal, apakah para tersangka teroris itu bertempat-tinggal hanya sementara dengan cara mengontrak rumah, atau memang tinggal secara permanen di kota yang resmi menjadi Kota Otonom terhitung sejak tanggal 26 November 2008 lalu, dengan berdasarkan payung hukum UU No. 51 Tahun 2008 ini.
Yang pasti, mereka, para tersangka teroris ini digerebek, ditangkap dan di-dor, di wilayah hukum Tangsel yang memang luas dan terdiri dari tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Pamulang, Ciputat, Ciputat Timur, Serpong, Serpong Utara, Setu, dan Pondok Aren. Luas Kota Tangsel itu sendiri mencapai 147,19 kilometer persegi, dimana Kecamatan Pondok Aren menjadi yang paling luas dengan 29,88 km2, disusul Pamulang (26,82 km2), Serpong (24,04 km2), Ciputat (18,38 km2), Serpong Utara (17,84 km2), Ciputat Timur (15,43 km2), sedangkan Kecamatan Setu menjadi yang paling kecil arealnya dengan 14,8 km2.
Adapun jumlah penduduk Tangsel, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2012 mencapai total 1.405.170 orang (708.767 lelaki, dan 696.403 perempuan). Sedangkan luas wilayah kota dibandingkan dengan jumlah penduduknya, maka tercatat kepadatan penduduk di kota yang semakin berkembang pesat ini adalah 9.547 orang per kilometer persegi. Ditinjau dari sebaran atau pemerataan penduduknya, Kecamatan Pondok Aren menjadi yang terbanyak penduduknya, dengan 331.644 jiwa. Disusul Kecamatan Pamulang dengan 308.272 jiwa. Lalu, Kecamatan Ciputat yang jumlah penduduknya mencapai 207.885 jiwa, dan Kecamatan Ciputat Timur (190.415 jiwa).
Nah, dari paparan data geografis berikut kependudukannya, terlihat jelas, betapa wilayah dimana tersangka teroris kerapkali digerebek dan ditembak mati aparat Densus 88 Antiteror adalah di empat kecamatan yang memang terluas dan terpadat penduduknya, yaitu Pondok Aren, Pamulang, Ciputat, dan Ciputat Timur. Setidaknya, ini bisa menjadi alasan pertama, kenapa para tersangka teroris lebih “senang” bermukim di empat kecamatan yang saling berdampingan itu. Besar kemungkinan, dengan kondisi wilayah yang seperti digambarkan ini, membuat para tersangka teroris cukup leluasa melakukan penyamaran, bersosialisasi (secara terbatas) dengan lingkungan sekitar, sekaligus merencanakan dan melakukan aksi-aksi terornya.
Kedua, lokasi Kota Tangsel yang memang strategis, karena berdampingan secara langsung dengan sejumlah akses menuju ke perkotaan lain. Misalnya, sisi sebelah utara yang bertetangga dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang; sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat (Kota Depok); sisi selatan berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor, dan Kota Depok); sementara sebelah barat bersebelahan dengan Kabupaten Tangerang. Akses ini menjadi penting, karena apapun yang terjadi dengan para tersangka teroris, mereka dapat segera ‘mabur’ meninggalkan Kota Tangsel dalam sekejap, dan bersamaan dengan itu pula, sudah langsung ‘hinggap’ di luar kota.
[caption id="attachment_313053" align="aligncenter" width="569" caption="TERORIS LAGI DI TANGSEL. Penggerebekan tersangka teroris oleh tim Densus 88 Antiteror, yang menewaskan enam tersangka teroris di Ciputat, Kota Tangsel, pada malam 31 Desember 2013, hingga 1 Januari 2014. (Foto: kompas.com)"]
Ketiga, sebagai pemimpin wilayah, gaya kepemimpinan Walikota Airin Rachmi Diany yang pelan tapi pasti, terbilang cukup serius untuk mewujudkan slogan Kota Tangsel, yakni “Cerdas, Modern, dan Religius”. Bisa jadi, perkembangan pesat berbagai aspek Kota Tangsel, yang tak melewatkan sedikit pun aspek pembangunan kerohanian masyarakat, melalui berbagai kegiatan keagamaan yang marak di kota ini, membuat para tersangka teroris (cukup) betah tinggal dan menetap sementara di sini. Boleh dibilang, Kota Tangsel termasuk yang “menyediakan ransum” kebutuhan lahir dan batin para tersangka teroris. Contoh paling jelas adalah, kemudahan mereka memperoleh rumah kontrakan, menikmati layanan internet berbayar di Warnet, hingga kemudahan memesan produk tas ransel buatan di kios jasa pembuatan tas (yang berdekatan dengan rumah kontrakan mereka) sebagai pelengkap piranti aktivitas mereka, seperti yang terungkap pasca ditembak matinya seorang tersangka teroris di Warnet ‘Multiplus’ seperti paparan di atas.
Keempat, dengan rata-rata umur para tersangka teroris yang masih muda, mudah bagi mereka untuk menetap (sementara) di Kota Tangsel, sekaligus memperoleh rumah kontrakan atau kost-kostan, karena penyamaran yang mereka lakukan, mungkin lebih sebagai penyandang status mahasiswa. Kemudahan menyewa rumah tinggal ini, adalah merupakan dampak negatif juga dari luasnya wilayah berikut padatnya penduduk, sehingga aturan kependudukan dan izin bertempat tinggal menjadi kurang terperhatikan oleh jajaran Pemkot Tangsel. Meskipun, Pemkot gencar dan terpadu menyelesaikan program KTP elektronik bagi warganya, tapi, bagi masyarakat pendatang yang hanya tinggal sementara untuk berbagai keperluan (bekerja, kuliah, dan sebagainya), belum komprehensif dilakukan penataan sekaligus pendataan.
Kelima, pesatnya perkembangan Kota Tangsel menjadikan budaya sosial dan keakraban antar warga masyarakat semakin menipis. Terbukti, setelah para tersangka teroris digerebek lokasi rumah kontrakannya, barulah masyarakat menyadari bahwa mereka para penghuni kontrakan tersebut selama ini kurang bersosialisasi dengan warga masyarakat setempat. Ini sekaligus menjadi pembenaran point keempat di atas, sekaligus belum maksimalnya antisipasi preventif dan pre-emtif yang dilakukan oleh warga masyarakat, termasuk para tokoh masyarakat, juga jajaran Pemkot Tangsel pada tingkat bawah yakni RT dan RW yang kurang peduli akan denyut nadi keseharian warganya sendiri.
Keenam, dengan penduduk yang padat dan areal Kota Tangsel yang luas, diakui atau tidak, jumlah personil keamanan, dalam hal ini kepolisian, memang masih sedikit dan belum ideal. Tambah lagi, Kota Tangsel belum memiliki Markas Polisi Resort Metro (Mapolres), padahal tingkat kriminalitas di wilayah ini semakin meningkat. Urgensi memiliki Mapolres sendiri memang sudah dalam tahap wacana untuk segera dibangun (konon, sudah ditemukan lahan tanah di wilayah Bumi Serpong Damai untuk merealisasikan pembangunannya). Maklum, Kota Tangsel dan Kabupaten Tangerang adalah merupakan wilayah hukum Polres Kota Kabupaten Tangerang. Meski begitu, sebagian wilayah Kota Tangsel, yaitu Kecamatan Pamulang dan Ciputat, merupakan wilayah hukum Polres Metro Jakarta Selatan.
Meski diapit oleh dua kantor Polres, menurut Kapolres Kota Kabupaten Tangerang Kombes Irfing Jaya, sebanyak 70 persen kejahatan yang terjadi di wilayah hukumnya adalah terjadi di Kota Tangsel. “Dalam satu hari, ada dua sampai tiga sepeda motor milik warga yang raib dicuri,” katanya seperti dikutip jurnas.com, pada akhir Oktober 2013 kemarin. Sedangkan jumlah personil polisi di Polres Kota Kabupaten Tangerang, kata Kombes Irfing, baru ada 1.400 personil. Padahal idealnya, kuantitas personil polisi itu adalah 2.500 personil.
Dengan sejumlah alasan yang membuat Tangsel seolah menjadi magnet atas pilihan para tersangka teroris bermukim sementara di kota ini, tak ada alasan bagi Walikota Airin Rachmi Diany beserta Wakilnya Benyamin Davnie, untuk bekerja lebih keras lagi menertibkan dan menggesa kinerja jajaran aparat dibawahnya untuk lebih seksama menata wilayah kota, termasuk melakukan administrasi kependudukan yang ketat. Maklum, dengan aksi penggerebekan yang berujung ditembak matinya enam tersangka teroris di malam pergantian tahun oleh tim Densus 88 Antiteror, itu berarti sudah sudah ke sekian kalinya pula, Airin dan Benyamin “kecolongan” lagi, dengan adanya teroris yang bermukim di wilayahnya dengan begitu mudah.
Terutama bagi Walikota Airin Rachmi Diany, tentu masih punya kesempatan untuk terus menata Kota Tangsel menjadi “Cerdas, Modern, dan Religius”. Juga, seperti slogan cerdas Airin saat berkampanye sebagai calon walikota Tangsel dulu, yaitu Menata Kota Tangsel Sebagai Rumah Kita Bersama. Secara berseloroh tapi serius, kiranya semua berharap, “Rumah Kita Bersama” itu artinya: “Bukan Rumah Dinasti”, apalagi “Rumah Teroris”.
Ayo, Bu Airin ... bisa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H