Diskusi hangat blogger & jurnalis terjadi di laman Facebook milik Ani Berta. Ani, yang biasa disapa Teteh oleh sesama Kompasianer terutama Dzulfikar Al A’la ini “memulai” diskusi dengan mem-publish satu foto pada statusnya, Selasa (2 Juni 2015). Gara-gara foto itu, lengkap dengan status Teteh yang bertuliskan “Bloggers, ada yang mau menanggapi statement Ibu Petty S Fatimah pemred Femina ini?”, meluncurlah tanggapan demi tanggapan. Termasuk komentar dari yang bersangkutan, Petty S Fatimah itu sendiri.
Sebenarnya, foto apa yang di-upload si Teteh?
Seperti pembaca lihat sendiri, fotonya adalah kolom Dari Redaksi yang ditulis Pemred Femina, Petty. Entah edisi kapan tulisan itu, tak disebutkan Teteh. Tak pentinglah itu tulisan kapan, karena justru isinyalah yang kemudian cukup banyak memunculkan penanggap.
Tulisan Petty sebenarnya biasa saja. Temanya juga tidak ada yang baru. Cuma soal labeling saja. Tapi, karena tulisan ini (seolah) ditujukan kepada pihak-pihak tertentu, maka tak ayal berubah jadi tulisan yang “tidak biasa”. Siapa yang disasar Petty? Mengapa Petty yang notabene seorang Pemred dan pasti punya Kartu Pers malah ngerusuhi para blogger? Aduh, ngerusuhi itu kata yang suka dipergunakan almarhum Mbah Buyut saya di Yogyakarta, tapi untuk padanan bahasa Indonesianya, apa ya? Membuat “rusuh”, alias merecoki, barangkali.
Kalau tulisan yang di foto itu kurang terbaca, sesungguhnya begini antara lain yang ditulis Petty.
“Begitu mudah kita menempelkan suatu profesi hanya karena melakukan satu-dua pekerjaan saja. Menyebut diri blogger hanya karena punya blog (padahal tidak update juga), satu-dua kali menulis menyebut diri penulis, sesekali bepergian melabeli diri traveler, bikin satu-dua kali koleksi busana sudah menjadi desainer, dan seterusnya”.
Nah, paham ya, siapa kira-kira yang jadi target Petty dalam paragraf itu? Para blogger yang enggak pernah update blog-nya, pada penulis yang belum layak menyebut dirinya penulis karena baru “seujung kuku” karya tulisannya, juga traveler, desainer dan seterusnya yang kurang lebih sama.
Anda termasuk blogger seperti yang dituding Petty? Lekas ambil cermin, nilailah diri sendiri, sebelum “dinilai” Petty, heheheheeee ...
Petty melanjutkan tulisannya.
“Mungkin ini urusan pribadi, namun di ranah profesional hal ini sulit dibenarkan. Penghargaan terhadap mereka yang betul-betul berprofesi itu menjadi terabaikan. Apalagi ketika mereka kalah ‘pamor’ dengan para wannabe ini yang populer di ranah maya”.
Paragraf di atas, cobalah baca dua-tiga kali. Siapa lagi yang dimaksud Petty? Oh ya, dengan gampang kita akan bilang, tentu saja para blogger yang cuma satu-dua kali nge-blog, penulis yang hanya satu-dua kali nulis, begitu pun traveler, desainer dan blogger dengan labeling tempelan, atau asal tempel itu tadi.
Di satu sisi, yang menarik, Petty paham ini urusan pribadi para blogger yang suka asal tempel labeling tadi. Tapi nyentrik-nya, alih-alih karena alasan menjunjung tinggi profesionalisme, Petty malah jadi masuk ke ranah pribadi itu. Bukannya enggak boleh sih. Toh, Petty juga punya hak dan kewajiban yang sama untuk mengingatkan asas profesionalisme, tidak hanya kepada anak buahnya di kantor, tapi juga kepada orang lain (baca: blogger). Apalagi, Petty seakan menempatkan posisinya sebagai pekerja pers PROFESIONAL, sementara blogger yang dimaksudkan tadi, kesannya seperti jauh dari syarat profesional.
Blogger Kuliner yang tergabung dalam komunitas "Kompasianer Penggila Kuliner" (KPK) dalam satu acara liputan bareng. (Foto: KPK)
Lucunya, para blogger yang menempelkan suatu profesi tadi, justru dikesankan 'berhasil' memberi pengaruh pada pemberian penghargaan (bukan merebut penghargaan lho ya) yang semestinya untuk para pekerja pers PROFESIONAL. Waduh, ada apa dengan Petty? Sudah merasa kurang mendapat penghargaan-kah? Bagaimana mungkin, para blogger yang kesannya “jauh dari syarat profesional” bisa mempengaruhi pemberian penghargaan kepada para pekerja pers PROFESIONAL? Meskipun, kita paham, penghargaan yang dimaksud tentu bukan melulu soal sertifikat, piala maupun bentuk fisik lainnya. Tapi rasanya ‘kok, enggak masuk akal bingits kalau itu sampai benar-benar terjadi. Karena, kalau kita memaknai tulisan Petty, bukankah antara pekerja pers PROFESIONAL dan blogger yang kesannya kurang profesional itu, keduanya hidup di dua “habitat” berbeda? Sederhananya, murid-murid TK mungkin malah lebih paham. Mereka akan tahu diri untuk tidak ikutan berkompetisi lomba baca puisi melawan murid-murid SMP.
Eh, saya sendiri pernah punya pengalaman untuk tahu diri dalam sebuah lomba penulisan yang diselenggarakan satu intitusi. Maklum, diantara syaratnya adalah para peserta wajib melampirkan scan identitas Kartu Pers-nya. Yeeehhhh … blogger mah dah atuh, enggak punya “kartu-kartuan” kayak begitu. Alhasil, saya dan sejumlah teman blogger jadi (musti) tahu diri untuk mundur teratur, urungkan diri mengikuti lomba penulisan. Tapi ya gak masalah, blogger mah dah atuh enggak merasa penghargaan untuknya jadi terabaikan. Biasa wae.
Contoh lain, kenapa saya menyebut antara pekerja pers PROFESIONAL dan blogger yang dikesankan kurang memenuhi syarat profesional itu hidup di dua “habitat” berbeda? Ini bukan promosi. Tapi fakta. Lihat misalnya, lomba penulisan yang diselenggarakan pihak AQUA. Selalu ada kategori jurnalis (media) profesional, dan kategori blogger. Apa kemudian blogger yang mempengaruhi pihak panitia untuk membuat juga kategori lomba untuk para insan blogger? Rasanya kok enggak mungkin lah yauw. Sebaliknya, dengan percaya diri dan rada gede rasa para blogger akan beranggapan bahwa, ya itulah bentuk apresiasi dan penghargaan dunia usaha kepada mereka yang suka nulis di blog. Meskipun memang, pada lomba-lomba sejenis lainnya, ada saja syarat yang mengharuskan para blogger itu sudah memuat minimal sepuluh tulisan, pada setiap media blog yang akan diikutsertakan dalam blog competition.
Nah, sekarang coba simak kalimat tulisan Petty berikutnya, “Apalagi ketika mereka kalah ‘pamor’ dengan para wannabe ini yang populer di ranah maya”. Astaghfirulloh. Apa benar, para pekerja pers PROFESIONAL merasa dikalahkah ‘pamor’-nya oleh para blogger yang dikesankan suka asal tempel profesi? Sekalipun hanya di ranah maya, rasanya pernyataan Petty musti “dimintai pertanggung-jawaban”. Heheheheeee, kayak sosok Jugde Bao aja ya, minta “pertanggung-jawaban”. Ya, lebih tepatnya, sebaiknya ada klarifikasi dari Petty soal kalah ‘pamor’ ini. Padahal, tadi sudah saya bilang, kita bersanding, sama-sama nulis, tapi tetap, hidup di dua “habitat” berbeda. Lagipula, kalau dari kacamata yang lebih bijak dan dewasa, kenapa musti terlintas pikiran sampai ke masalah ‘pamor’ segala? Kenapa tematik labeling bisa berujung pada urusan kalah ‘pamor’ segala nih … wah, misterius juga ya. Padahal, memakai istilah Petty, para blogger---enggak semua loch---, dan mereka yang suka asal tempel profesi itu cuma wannabe, want to be, yang kebetulan tampil eksis, narsis dan meraih popularitas di dumay, dunia maya.
Blogger Kompasiana ketika dijamu makan siang oleh Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara, Jakarta. (Foto: Agus Sularto)
Terlepas dari itu semua, saya memberi pujian untuk Petty. Sanjungan karena telah mengingatkan blogger, penulis, dan pelaku profesi lain, untuk jangan sembrono menempelkan profesi. Istilahnya, jangan mengaku traveler kalau ternyata paspor aja enggak punya. Jangan mengaku desainer kalau enggak tahu siapa itu Valentino Garavani, Tom Ford, Donatella Versace, Betsey Johnson, Ralph Lauren, Ghea S Panggabean, Samuel Wattimena, dan Tex Saverio. Dus, jangan ngaku blogger kalau blog-nya aja terakhir di-update pada beberapa bulan lewat.
Sebuah tulisan Petty yang bermakna “tamparan” positif agar blogger makin memacu kerja kreatifnya. Terutama dengan nasehat Petty, yang mengingatkan: “Selalu ada proses yang dilewati untuk boleh memakai label profesi tertentu, kalau mau pekerjaan itu disandang dalam jangka waktu lama. Tidak hanya musiman, atau ikut-ikutan tren”. Domo arigatoo gozaimasu, Petty.
* * * * *
Terkait masalah ini, saya meminta komentar kepada Drs H Kamsul Hasan SH MH, Ketua Dewan Kehormatan Provinsi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya periode 2014-2019. Menurut “Bang Haji”, begitu tadi ketika saya menyapanya melalui telepon (Kamis, 4 Juni 2015), istilah kalah ‘pamor’ antara pekerja pers profesional dan blogger (yang dikesankan gampang menempelkan profesi) seharusnya tidak perlu ada.
“Karena profesi antara keduanya ‘kan berbeda-beda. Untuk pekerja pers ada Kode Etik Jurnalistik yang harus dipatuhi, begitu juga dengan blogger yang say apikir punya etika blogger. Jadi kalau menurut saya sih, perkembangan teknologi memang membuat siapa saja boleh menulis, dan itu sah-sah saja orang boleh menulis,” tuturnya ‘kebapakan’.
Apa musti para pekerja pers profesional harus tumbuh benih perasaan kalah ‘pamor’ dengan kehadiran blogger, baik blogger yang aktif ngupdate, maupun non-aktif? “Kita sih enggak punya perasaan kalah ‘pamor’ seperti itu. Kita enggak ada masalah dengan blogger. Malah kita kadang-kadang berbagi dengan blogger. Bahkan di banyak media mainstream saat ini sudah banyak disediakan ruang untuk citizen journalism yang notabene diisi oleh blogger-blogger juga. Dan dengan diberikannya ruang untuk citizen journalism atau untuk blogger, maka sebenarnya media mainstream juga sudah mengakui keberadaaan blogger itu,” terang Bang Haji Kamsul.
Kamsul Hasan, Ketua Dewan Kehormatan Provinsi PWI Jaya. (Foto: FB Kamsul Hasan)
Adapun soal blogger yang dikesankan mudah menempelkan profesi, misalnya sebagai blogger traveler, blogger kuliner, meskipun baru satu-dua kali menulis tentang perjalanan maupun kuliner, maka hal itu pun oleh Dosen IISIP Jakarta ini, dianggap sebagai sesuatu yang sah-sah saja.
“Lagipula, itu ‘kan enggak ada aturannya. Kalau memang ada blogger yang menyebut dirinya blogger traveler, blogger kuliner, ya urusannya yang bersangkutan! ‘Kan itu enggak diatur, enggak ada aturan atau persyaratannya. Enggak ada sertifikasi, kalau blogger kuliner harus memenuhi persyaratan seperti ini-itu. Itu sih, sah-sah saja dia menyebut diri seperti blogger dengan spesialisasi bidang penulisan tertentu. Cuma, kalau ada yang menyatakan diri sebagai wartawan profesional, ya maka yang bersangkutan harus memiliki sertifikasi, dan itu ada aturannya oleh Dewan Pers,” tegas mantan Ketua PWI Cabang Jakarta Raya selama dua periode masa jabatan ini.
Rasanya, adem ya kepala (bukan “pucing pala berbie” loch ya), manakala kita menyimak luncuran jawaban dari pekerja pers sekelas Kamsul Hasan ini.
* * * * *
Okelah, untuk Anda yang mau tahu, apa yang terjadi dalam diskusi di laman Facebook Teteh Ani Berta, sila baca sejumlah komentar dari para “pemirsah”. Termasuk, sudah barang tentu, komentar dari Petty S Fatimah, Pemred Femina itu juga.
Ani Berta Entahlah maksud ibu pemred ini bisa dua versi, antara memacu semangat dan mematahkan semangat orang lain. Tergantung penerimaan tiap individu.
Ani Berta Bisa jadi bahan evaluasi juga buat kita semua, ambil positifnya.
Petty S Fatimah Sila dicerna baik2 , ini adalah pemacu semangat. Setiap orang bertanggung jawab pada pilihan profesinya . Cheerrs.
Evi Indrawanto Saya kemarin sudah membaca. Terserah pendapat bu Petty tapi label positif sangat penting dalam membangun Cita-cita. Ingin jadi blogger ya sebutlah diri blogger sekalipun tulisan baru satu dua di blog. Begitupun jika ingin traveler citrakan diri seperti traveler umumnya. Cara ini membantu alam bawah sadar kita dan menuntun kita ke arah yg dicita2kan. Saya rasa tak ada yg dirugikan disini. Kalau ada yang merasa dirugikan kayaknya mesti berpikir ulang. Tiap orang berhak menjadi apapun yang diinginkannya. Usaha orang lain ke arah itu takan merampas hak para maestro.
Meity Mutiara L. Iskandar Mmm... ada juga yang senang menulis, ngeblog, jalan2 tapi ngga pernah mengklaim diri sebagai penulis, blogger, traveler lho. Ada kalanya label2 itu malah diberikan kepada ybs tanpa diminta.
Bang Aswi Th 2002 ... buku saya yg ditulis oleh 3 org dikritik di ruang publik. Itulah buku pertama yg keluar dr kurungan penulis antologi oleh penerbit major. Hanya tulisan saya yg 'dibantai' oleh 2 sastrawan terkenal. Beberapa hari gak bisa tidur, hingga akhirnya tersadar bahwa saya harus menjawab kritikan itu dgn karya. Alhamdulillah 2 tahun kemudian sy mengeluarkan buku pertama sendirian. Saat 'banting stir' ke blog juga begitu. Sy gak pernah menyebut diri ini penulis atau blogger, hanya suka nulis dan ngeblog. Org lainlah yg menyebut demikian. Intinya... jangan bangga dgn pekerjaan atau profesi atau labelling. Itu hanya label semata. Kalau suka nulis dan ngeblog, buktikan dgn karya. Jangan minta/nawar harga kalau belum berkarya.
PS: Profesi sendiri adalah gelar yg dikeluarkan dgn sumpah atas nama agama karena melayani publik. Profesi yg kini diakui adalah dokter, apoteker, perawat, bidan, pengacara, etc. Penulis dan blogger? Itu hanyalah label semata ...
Meity Mutiara L. Iskandar Nah, sepakat dengan Bang Aswi. Tahun 2007 awal create blog, aku ngga terpikir sama sekali dengan sebutan blogger. Pokoknya pengen punya blog seperti orang2 yang blognya suka aku baca. Beberapa bulan kemudian gabung di komunitas pun belum ngerti dengan sebutan blogger itu... karena alasannya pengen punya banner kayak orang2 yang udah duluan jadi member di komunitas itu. Terus waktu iseng ikutan ngirim tulisan ke salah satu penerbit, pun ngga pernah terpikir untuk menyebut diri sebagai penulis.... lah, orang cuma share satu dua cerita aja kok. Suka jalan2? Suka... tapi da aku mah jalan2 kalau lagi mau. Profesi aslina mah ngan saukur pegawai belakang meja dari Senin - Jumat, jam 08:30 - 17:00 hehehe
Ima Emaknya Alif Inti pendapatnya adalah, apapun yang kita jalani, lakukan dengan tanggung jawab, serius dan terus menerus. Blogger dan penulis, diambil contoh karena sekarang "profesi" ini sedang naik daun. Setiap orang bisa melakukannya, bisa menjalaninya. Tantangan sebagai "blogger" dan "penulis", profesi ini dinilai oleh masyarakat langsung, suka, tidak suka, menarik, tidak menarik, bermanfaat atau tidak bermanfaat, penilaiannya akan personal banget dan jujur. Label akan lahir dari masyarakat. Karena blogger/penulis memainkan nilai rasa, keterampilan, imajinasi, kreatifitas, yang memerlukan proses yang menyatu dengan hidup, penemuan jati diri dan ciri khas karyanya. Semua ini lahir karena ada rasa "cinta", "bahagia". Beres nge blog kamu bahagia? Maka kamu mencintai duniamu. Berbahagialah atau bersungguh-sungguhlah.
NhHer Akan selalu ada yang pertama ... untuk setiap hal. Andrea Hirata juga awalnya hanya menulis satu buku bukan ?
Hazmi Fitriyasa Sekali lagi, kualitas konten dan waktu sebagai kunci jawaban untuk bu Petty dan kita semua.
Novi Mudhakir Ketekunan berkarya memang diperlukan dalam self-labelling. Dua tahun lalu saya ngedadak jadi perhatian karena cerpen saya difilmkan. Saya jadi motivator dalam kepenulisan, biografiku muncul di beberapa tabloid, sungguh disyukuri. Tapi memang aneh rasanya ketika diminta jadi mentor dalam acara ini itu. Karena saya merasa, apa iya udah pantas aku duduk di sebuah kursi yang diposisikan khusus dan menghadapi puluhan orang yang siap meraup ilmu. Meskipun semua kejadian itu saya yakin bukan sebuah kebetulan. Sejak smp saya sudah menulis, vakum sekian tahun, lalu setelah jam ibu rumah tangga panggilan hati untuk menulis pun muncul dan thn 2008 saya memutuskan bergabung dengan sebuah grup penulis terkenal. Lalu beberapa karya antologi muncul, beberapa tulisan artikel di beberapa majalah terkenal muncul, saya juga jadi penerjemah novel, dsb. Selain menghasilkan karya, saya juga terus bergerilya belajar kesana kemari ttg kepenulisan. Saya juga nyebarin tip-tip menulis gratis ala saya kepada siapapun yang membutuhkan. Tanpa ada niat labelling diri, alami aja. Semuanya menurut saya berproses. Kalau yang konsisten pasti makin berkembang, apalagi yang kreatif pasti kelihaiannya menulis makin beragam.
Mungkin, memang harus konsisten menghasilkan karya jika memang ingin dikenal sebagai penulis or blogger or traveller writer. Karena saya amati teman-teman blogger yang tekun biasanya memiliki pencapaian yang tidak semua orang bisa. Misalnya mbak Ani sendiri, sekarang lagi keliling Indonesia mengemban amanah dari pemerintah sebagai blogger yang pintar mengolah kata. Belum lagi Bang Aswi, jebolan ITB yang konsisten dalam kepenulisan. Ada juga yang karena hobbynya travelling, sering nulis jejak perjalanannya malah akhirnya sekarang dipinang dipinang sebuah stasiun televisi. Karya-karyanya sekarang nggak sekedar terpampang di blog pribadinya, tapi sudah menjadi lahan komersil yang bermanfaat.
Keberadaan wannabe tidak perlu dipandang sebelah mata oleh para profesional. Malah seringnya menghasilkan hubungan simbiosis mutualisme. Blogger yang hobby jalan-jalan sering berbagi info jalan2 keluar negeri maupun domestik. Buat redaksi majalah bisa kerjasama dengan membeli tulisan-tulisannya. Tidak perlu ada sikap meng -underestimate wannabe, karena para profesional pun dulunya wannabe. Hanya saja jalan hiduo orang kan pastinya bercabang-cabang.
Seperti saya yang kini vakum menulis karena fokus menjalankan usaha kursus bahasa jepang. Buat saya mengajar bahasa jepang ttap ada link dengan dunia kepenulisan, karena saya kan 'menulis' di papan tulis hehehe. Saling support sajalah, biar hidup lebih damai. Kesempatan berkembang kan sangat luas. Siapa tahu yang tadinya dipandang sebelah mata malah jadi yang dikejar-kejar.
Putu Ayu Winayasari Kalo buatku, siapapun yg bikin tulisan itu ya penulis (masa iya namanya koki..), yg ngerancang baju itu desainer (masa iya dipanggil mbok jamu), dsb. Walaupun cuma sekali2nya dalam seumur hidup, at least she/he has done such thing. Terserah saja nantinya talenta itu dijadikan profesi, atau 'hanya' dijadikan hobi. Yg jelas, aku mah tetep ngerasa dan nge-label-in diri 'IBU' biarpun 'hanya' punya dua anak. Piiiss v
Para blogger kuliner yang tergabung dalam komunitas "Kompasianer Penggila Kuliner" (KPK) dalam satu acara liputan bareng. (Foto: KPK)
Ririn Sjafriani Sepertinya media mainstream merasa 'tersaingi' tuh mba Ani Berta wink emoticon
Myra Anastasia Komen lagi, ya hehehe. Saya positive thinking aja dengan tulisan ibu Petty ini. Untuk yang pro kalau memang merasa (sedang) kalah pamor dengan wannabe berarti saatnya memperbaiki dan mengasah kualitasnya lagi. Untuk yang wannabe kalau bisa naik pamor, disyukuri aja. Tapi kalau memang ingin serius dengan bidang tersebut, mulai belajar konsisten. Konsistensi yang (bisa jadi) pada akhirnya akan dilihat orang.
Petty S Fatimah Whooaaa... rame banget ini ya . Terimakasih untuk perhatiannya. Seneng ada diskusi seperti ini. Itu artinya kita peduli pada pekerjaan yang kita lalukan. Karena saya di mention Ani Berta let explain ya, tulisan ini tidak bermaksud mendeskriditkan siapapun justru pacuan untuk siapapun yang ingin menjadi apapun untuk konsisten pada apa yang ditekuninya. Agar hasilnya maksimal. Mungkin pengakuannya, secara finansial juga dan seterusnya. Semangat ya teman-teman. BE POSITIF on everything. Happy wednesday semuanya.
Ani Berta Terima kasih Bu Petty S Fatimah sudah memacu semangat kami, ini akan menjadi refleksi. Tetapi izinkan buat newbie untuk tetap bisa diakui sebagai blogger karena itu akan menjadi penyemangat kami untuk konsisten hehehe. Maaf jika ada hal yang kurang berkenan. Semoga gak kapok terlibat di diskusi semacam ini.
o o o O o o o
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H