[caption id="attachment_360288" align="aligncenter" width="567" caption="Kompasiana Nangkring Bareng Pertamina. Kiri ke kanan: Adiatma Sardjito (Media Manager Pertamina), Heru Margiyanto (moderator, New Assistant Managing Editor kompas.com), Farah Quinn (koki, selebriti). (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]
“Memasak dengan kompor gas, ofcourse ada bedanya. Kalau saya lebih suka memakai gas, terutama untuk aroma masak. Ini special one, tidak bisa sembarangan. Bahkan untuk alat masaknya pun tidak bisa menggunakan panci-panci biasa.Hasilnya memang lebih bagus, tapi juga lebih mahal. Dan saya akui, hasil panas dari gas elpiji itu sangat pas, dan bisa lama,” jelas koki kondang Farah Quinn dalam acara Kompasiana Nangkring Bareng PT Pertamina dengan tajuk Membincang Elpiji Non Subsidi, pada 29 Agustus 2014 di Penang Bistro, Jalan Pakubuwono VI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Peraih Panasonic Gobel Award untuk Presenter Hobi dan Gaya Hidup ini juga mengakui, kerapkali membaca buku-buku resep dalam waktu senggangnya. “Inspirasi saya memasak? Saya suka travelling, sambil melihat dan mencicipi makanan. Jujur, saya suka melihat dari internet, buku resep. Saya sendiri mengoleksi buku resep. Jadi kalau ada waktu senggang, saya suka membaca-baca buku resep dan sebagainya. Dari situ saya lalu melakukan modifikasikan berbagai aneka masakan sehingga menjadi lebih bagus,” kata Farah yang alumnus Indiana University of Pennsylvania, dan Le Cordon Bleu Institute of Culinary Arts in Pittsburgh, Amerika Serikat ini.
[caption id="attachment_360289" align="aligncenter" width="567" caption="Farah Quinn, memasak dengan elpiji 12 kilogram pas isinya, pas panasnya, pas nyamannya, pasti ada dimana-mana. (Foto: Gapey Sandy)"]
Narasumber lain dalam acara yang diikuti lebih dari seratus Kompasiner ini adalah Adiatma Sardjito selaku Media Manager PT Pertamina (Persero). Dalam paparannya, antara lain disampaikan mengenai roadmap usulan penyesuaian harga elpiji 12 kilogram. “Sesuai surat Pertamina kepada Menteri BUMN dan ESDM tertanggal 15 Januari 2014 perihal roadmap penyesuaian harga elpiji 12 kilogram nonsubsidi, dimana untuk mencapai perbaikan margin elpiji 12 kilogram, maka Pertamina mengusulkan kenaikan harga gas elpiji 12 kilogram secara berkala,” tutur Adiatma yang tampil mengenakan kemeja batik tradisional.
Rincian kenaikan harga secara berkala itu adalah, pada 2014, kenaikan masing-masing Rp 1.000 per kilogram pada bulan Januari, dan Juli, sehingga harganya menjadi Rp 6.944 per kilogram pada Juli 2014. Sedangkan estimasi harga di konsumen Rp 8.640 per kilogram, atau Rp 103.700 per tabung.
[caption id="attachment_360290" align="aligncenter" width="567" caption="Adiatma Sardjito, Media Manager PT Pertamina (Persero). Harga gas elpiji 12 kilogram berusaha menuju harga keekonomian hingga awal 2016. (Foto: Gapey Sandy)"]
“Kita memproyeksikan setiap enam bulan ada kenaikan harga elpiji 12 kilogram sampai terpenuhi harga keekonomiannya. Kenaikan harga elpiji 12 kilogram yang sudah dimulai pada bulan Januari 2014, semestinya naik lagi pada bulan Juli 2014. Tapi, karena menyimak pendapat dari berbagai pihak, termasuk dari kalangan ibu-ibu, pengamat ekonomi, bahkan pemerintah, yang menghendaki agar kenaikan harga gas epliji jangan naik pada bulan Juni, lantaran momentumnya dianggap kurang pas karena mayoritas masyarakat usai menunaikan ibadah di bulan suci Ramadhan, kemudian dilanjutkan dengan momentum lebaran, tahun ajaran baru, dan sebagainya. Akhirnya, rencana kenaikan pada bulan Juli 2014 itu benar-benar tidak jadi dilaksanakan, untuk kemudian barulah pada bulan September 2014 ini, kenaikan elpiji 12 kilogram itu terlaksana. Tapi, dalam kesempatan ini saya juga menyampaikan bahwa, pada bulan Januari 2015 nanti, harga elpiji 12 kilogram akan disesuaikan kembali, hingga tercapai nilai harga keekonomiannya pada awal tahun 2016,” urai Adiatma.
Nanti, pada 2015, akan terjadi penyesuaian harga elpiji 12 kilogram lagi. Tepatnya pada bulan Januari dan Juli, dengan kenaikan masing-masing sebesar Rp 1.500 per kilogram, menjadi Rp 9.944 per kilogram pada Juli 2015. Dengan demikian, estimasi harga pada level konsumen akan menjadi sebesar Rp 12.250 per kilogram, atau Rp 147.000 per tabung.
[caption id="attachment_360291" align="aligncenter" width="549" caption="Sekilas tentang perbandingan Bahan Bakar Gas. (Sumber: Pertamina)"]
Penyesuai harga elpiji 12 kilogram nonsubsidi baru akan “berhenti” pada 2016. Estimasinya adalah, akan terjadi kenaikan harga epliji 12 kilogram pada Januari sebesar Rp 1.500 per kilogram, dan pada Juli kenaikannya adalah Rp 500 per kilogram. Sehingga pada Juli 2016, harga elpiji 12 kilogram akan menjadi Rp 11.944 per kilogram. Sedangkan taksiran harga di konsumen adalah Rp 14.660 per kilogram, atau Rp 175.900 per tabung. Inilah harga keekonomian yang menjadi target Pertamina.
“Semestinya kalau di harga keekonomiannya adalah sekitar Rp. 15.000 per kilogram, sehingga harga per tabungnya semestinya Rp 181.000. Kalau mengikuti harga keekonomian. Jadi begini, Pertamina impor dengan komponen harga contract price (CP) Aramco dan Kurs Dolar. Dua komponen harga ini tidak dalam kendali Pertamina. Itulah yang dijadikan dasar patokan harga awal, kemudian setelah itu ditambah dengan komponen biaya filling fee, transportasi, dan sebagainya. Untuk kemudian terbentuk harga jual yang kita temukan di agen-agen penjualan itu,” jelas Adiatma seraya mengatakan, penggunaan CP Aramco adalah karena komponen itu pula yang paling banyak dipakai oleh dunia internasional untuk membeli LPG. “Dan karena banyak diimpor dari Arab Saudi, maka kita pun memakai komponen CP Aramco ini. Jadi, posisi Pertamina adalah posisi beli, dan harganya menyesuaikan dengan harga dunia internasional,” imbuhnya.
[caption id="attachment_360293" align="aligncenter" width="568" caption="Peta jalan usulan penyesuaian harga elpiji 12 kilogram. (Sumber: Pertamina)"]
Naik, Harga Gas Elpiji 12 Kilogram
Nyatanya, dua pekan kemudian, tepatnya pada Rabu, 10 September 2014 pukul 00.00 wib, Pertamina mengumumkan bahwa, harga elpiji ukuran tabung 12 kilogram naik sebesar Rp 1.500 per kilogram, atau Rp 18.000 per tabung.
Secara yuridis, keputusan untuk menyesuaikan harga elpiji 12 kilogram nonsubsidi sudah sesuai aturan hukum yang berlaku. Misalnya, dengan berdasarkan kepada Peraturan Menteri ESDM Nomor 26/2009 tentang Penyediaan dan Pendistribusian Liquefied Petroleum Gas (LPG/elpiji), pada Pasal 24 yang menyebutkan bahwa, Pengguna elpiji terdiri dari Pengguna elpiji Tertentu dan Pengguna elpiji Umum; Pengguna elpiji Tertentu merupakan konsumen rumah tangga dan usaha mikro yang menggunakan elpiji Tertentu dalam kemasan tabung elpiji 3 kilogram dengan harga diatur dan ditetapkan oleh Menteri; dan, Pengguna elpiji Umum merupakan konsumen yang menggunakan elpiji dalam kemasan tabung 12 kilogram, tabung 50 kilogram dan/atau dalam bentuk kemasan lainnya atau dalam bentuk curah (bulk) serta konsumen elpiji sebagai bahan pendingin.
[caption id="attachment_360296" align="aligncenter" width="565" caption="Perbandingan harga LPG atau elpiji di kawasan regional. (Sumber: Pertamina)"]
Disusul kemudian Pasal 25 yang mengatur tentang harga jual elpiji. Aturan tersebut menyebutkan bahwa, harga jual elpiji untuk Pengguna elpiji Umum ditetapkan oleh Badan Usaha dengan berpedoman pada harga patokan elpiji; kemampuan daya beli konsumen dalam negeri; kesinambungan penyediaan dan pendistribusian. Lalu, penetapan harga jual elpiji wajib dilaporkan kepada Menteri ESDM.
Soal harga elpiji 12 kilogram ini, Adiatma berujar, selama ini Pertamina justru menanggung beban kerugian. Penyebabnya, lantaran dua faktor yang justru tak sanggup dikendalikan oleh Pertamina, yaitu harga patokan dunia internasional, CP Aramco (CPA) dan kurs dolar. “Jadi, kalau bicara rugi, ini kita bicara komponen ya, komponen harga pokok itu ada dua faktor yang berada di luar kendali Pertamina. Yang pertama adalah, harga CP Aramco karena kita 60 persen mengimpor dan membeli elpiji di Indonesia dengan harga patokan itu. Yang kedua, kurs dolar Amerika Serikat, yang apabila nilai kurs rupiah terhadap dolar semakin melemah, maka harga elpiji jelas akan semakin mahal,” ungkapnya.
[caption id="attachment_360297" align="aligncenter" width="563" caption="Profil Konsumen Elpiji 12 Kilogram atau Non Subsidi. (Sumber: Pertamina)"]
Kerugian Pertamina dalam mengoperasionalkan bisnis elpiji tabung 12 kilogram memang sudah berlangsung lama. Pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sendiri mahfum adanya, sehingga tak berlebihan apabila pada perjalanannya turut “memberi lampu hijau” kepada Pertamina untuk menaikkan harga jual elpiji 12 kilogram.
Ada tiga alasan penyebab penyesuaian harga berkala elpiji 12 kilogram nonsubsidi. Pertama, hasil konsultasi dengan BPK pasca kenaikan harga pada Januari 2014, dimana Pertamina diminta untuk menyampaikan roadmap kenaikan harga elpiji 12 kilogram kepada Pemerintah. Kedua, kerugian sejak 2009 hingga 2013 mencapai Rp 17 triliun. Dengan asumsi yang dipakai RKAP 2014 (CPA US$ 833 per Mton, dengan kurs Rp 10.500 per US$) pasca kenaikan harga Rp 1.000 per kilogram pada Januari 2014 maka diperkirakan kerugian 2014 akan mencapai Rp 5,4 triliun. Namun apabila harga bahan baku dan kurs lebih besar akan berpotensi rugi lebih besar juga. Ketiga, potensi penggunaan elpiji 12 kilogram ke depan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun demikian, porsi elpiji impor akan semakin besar beserta kenaikan-kenaikan biaya bahan baku dan operasional.
[caption id="attachment_360299" align="aligncenter" width="576" caption="Profil Konsumen Elpiji 12 Kilogram. (Sumber: Pertamina)"]
Seperti kita tahu, elpiji memiliki kandungan utama yaitu lebih dari 97 persen Propana (C3) dan Butana (C4), lalu kurang dari 3 persen berupa Pentana (C5) dan lainnya. Bentuk penggunaannya, dijual dalam bentuk curah untuk industri, dan tabung untuk rumah tangga serta komersial. Sumber asal elpiji itu sendiri berasal dari produk sampingan dari kilang gas sebanyak lebih dari 5 persen, dan kilang minyak atau BBM. Dari kebutuhan akan kandungan utama inilah, terjadi kondisi balance supply 2013 yang menunjukkan bahwa, Pertamina masih harus melakukan impor sebanyak 3,3 juta ton elpiji.
“Derita” bisnis elpiji berbanding terbalik dengan gas alam. Kandungan utama gas alam adalah lebih dari 95 persen Metana (C1) dan Etana (C2), kurang dari 5 persen adalah Propana (C3) dan Butana (C4). Bentuk penggunaan gas alam adalah dalam bentuk LNG atau Liquefied Natural Gas) untuk kemudahan pengapalan dan pengangkutan; dalam bentuk Gas Pipa atau Gas Kota untuk industri dan rumah tangga; dalam bentuk CNG (Compressed Natural Gas) untuk bahan bakar transportasi. Sumber asal gas alam itu sendiri berasal dari sumur minyak dan sumur. Dari fakta ini, terjadi kondisi balance supply 2013, dimana Pertamina bahkan berhasil melakukan ekspor sebanyak 17,04 juta ton dalam bentuk LNG.
[caption id="attachment_360300" align="aligncenter" width="379" caption="Profil pengguna elpiji 12 kilogram berdasarkan pengeluaran bulanan. (Sumber: Pertamina)"]
Dari perbandingan antara kedua bahan bakar gas, elpiji dan gas alam, dapat diketahui bahwa realitas Pertamina yang melakukan impor elpiji---dengan dua komponen harga patokan dunia internasional yang tak dapat dikendalikan oleh Pertamina yaitu harga CPR Aramco dan kurs dolar---, maka imbasnya berpengaruh pada harga jual elpiji kepada konsumen, terutama ukuran tabung 12 kilogram yang memang tidak disubsidi oleh Pemerintah.
Selain harga beli dengan harga patokan dunia internasional yang berfluktuasi, tentu masih banyak lagi komponen lain yang mempengaruhi harga jual epliji nonsubsidi ke konsumen. Terutama, apabila menelisik lebih jauh tentang rangkaian distribusi elpiji Pertamina yang harus melalui delapan titik mata rantai distribusi, sebelum akhirnya benar-benar sampai ke tempat penyimpanan tabung gas milik konsumen. Urutan delapan titik mata rantai ini sebagai berikut: Sumber suplai elpiji; Pengangkutan elpiji ke depot atau terminal; Penyimpanan di terminal elpiji dan floating storage; Pengangkutan dari terminal elpiji ke stasiun pengisian; Pengisian tabung di stasiun pengisian; Pengetesan ulang tabung elpiji 12 kilogram; Pendistribusian produk elpiji ke agen elpiji 12 kilogram; dan, Penjualan produk elpiji ke pengecer atau konsumen.
Di luar itu, kenyataan lain menunjukkan harga elpiji subsidi maupun nonsubsidi di Indonesia ternyata jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. Menurut World LP Gas Association, harga gas ELPIJI SUBSIDI di Indonesia termasuk yang paling rendah bila dibandingkan dengan sejumlah negara lainnya, dengan angka seperti berikut ini: harga elpiji subsidi di Indonesia (Rp 4.250 per kg), India (Rp 5.500 per kg), Malaysia (Rp 6.938 per kg), dan, Thailand (Rp 7.000 per kg).
Sementara harga ELPIJI NONSUBSIDI di Indonesia juga termasuk yang paling rendah bila dibandingkan dengan negara lain di Asia. Angkanya adalah sebagai berikut: harga elpiji non subsidi di Indonesia (Rp 7.700 – 14.200 per kg), India (Rp 12.600 per kg), Korea Utara (Rp 17.000 per kg), Jepang (Rp 20.000 per kg), China (Rp 17.000 – 21.000 per kg), dan Filipina (Rp 24.000 per kg).
[caption id="attachment_360301" align="aligncenter" width="436" caption="Delapan titik mata rantai distribusi elpiji 12 kilogram atau nonsubsidi. (Sumber: Pertamina)"]
Hasrat Pertamina untuk menciptakan harga keekonomian terhadap elpiji 12 kilogram, antara lain karena alasan kerugian bisnis. Padahal, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pertamina wajib memetik keuntungan karena seluruh profitnya ‘toh akan masuk juga ke kas negara. “Pertamina ini adalah BUMN yang orientasinya jelas yaitu profit, dimana seluruh keuntungan Pertamina akan diserahkan kepada negara. Jadi artinya, kalau kita menjual rugi, maka potensi keuangan negaranya juga akan berkurang. Inilah yang menyebabkan tidak boleh ada aspek bisnis Pertamina yang merugi,” kata Adiatma.
Profil Pengguna Elpiji 12 Kilogram
Sejak kenaikan harga elpiji 12 kilogram, pada tanggal 10 September 2014 kemarin, respon yang bermunculan memang beragam. Ada yang menyatakan penolakan, ada yang tak ambil pusing, dan yang mengejutkan, justru tak sedikit warga masyarakat yang malah justru dapat memahami kebijakan penyesuaian harga sebesar Rp 1.500 per kilogram, atau Rp 18.000 per tabung ini. Tak hanya itu, sepekan setelah kenaikan harga elpiji 12 kilogram nonsubsidi, tidak nampak gejolak yang berarti sebagai efek domino di lapangan. Meski terkesan semua pihak merasa berkeberatan, tapi seperti pengalaman sebelumnya ketika kenaikan harga epiliji 12 kilogram pada Januari 2014, imbas kenaikan harganya diprediksi hanya berlangsung pada bulan pertama saja. Selebihnya, bulan kedua, ketiga dan seterusnya, “geger” ekonomi sebagai dampak lanjutan atas kenaikan harga elpiji 12 kilogram akan pulih kembali, dan normal seperti sediakala.
Pihak Pertamina pun menyadari akan hal itu. Sejumlah survei tentang profil pengguna elpiji 12 kilogram yang menjadi salah satu acuan atas keputusan menaikkan harga elpiji 12 kilogram kiranya tidak meleset. Kalangan menengah ke atas yang menjadi target pasar elpiji 12 kilogram, diyakini hanya menahan sedikit laju pembelanjaan konsumsinya pada bulan pertama, tapi tidak begitu pada bulan kedua, ketiga, dan seterusnya.