Semua sudah tahu, Mbak Ya yat jadi Kompasianer of The Year (KoTY) 2016. Banyak yang jadi penyaksi, Ya Yat menyeka air mata di atas pentas saat menerima piala berdesain transparan setinggi 26,5 cm dengan logo “k” di puncaknya itu. Hanya saja, enggak banyak dari kita yang tahu, selain tangis bahagia ternyata Ya yat juga gemetaran. Untunglah ia akui semua itu dalam tulisannya yang jujur, berjudul: Setelah Kompasianival 2016, Setelah Rasa Iri Membumbung Tinggi.
Perempuan tulen berambut pendek, dengan tubuh mungil dan punya segudang koleksi t-shirt bergambar sang idola Valentino Rossi dan angka 46 ini menulis: “Anda nggak akan tahu bagaimana perasaan saya. Bahkan ketika mengetik ini pun saya masih gemetar. Saya menangis saat berdiri di panggung. Karena haru …“
Wajar dan manusiawi, seorang Ya yat yang biasa menghias senyum di wajahnya kemudian menitikkan air mata. Cengeng? Ya enggaklah. Ia shock. Coba teliti lagi apa yang dituturkan dalam tulisannya. Ya yat yang suka memproklamirkan diri sebagai “Nyonya Vale” (“istri" Valentino Rossi) mengaku: “Lemas karena capek dan shock”.
Kalau kemudian Ya yat menyebut pengumuman peraih award KoTY 2016 sebagai jawaban atas rasa irinya yang positif, maka itu beda dengan saya. Buat saya, ketika MasYos, pembawa acara Kompasianival menyerukan nama Ya Yat sebagai peraih award bergengsi itu, maka seketika itu juga kepo saya terjawab. Apa itu? Begini. Ketika gelaran pemilihan nominator peraih award masih berlangsung, Oom Yos Mo (admin komunitas Koprol) mengajukan “gugatan” ke saya di laman komentar facebook. Intinya, Yos Mo minta, agar saya tidak melupakan nama Ya yat demi menjadi nominator peraih Best in Specific Interest alias Kompasianer terbaik yang tulisannya menyasar tema spesifik.
Alasan Yos Mo jelas, karena Ya yat adalah “istri Valentino Rossi” sehingga mayoritas tulisannya melulu tentang MotoGP dan juga Rossi, sang pembalap kelahiran Urbino, Italia, 16 Februari 1979. Apa yang disampaikan Yos Mo saya amin-kan. Apalagi, dengan pundi-pundi tulisan Ya yat sebanyak 572 artikel per Senin, 10 Oktober 2016, ternyata yang didapuk admin menjadi Headline (HL) juga cukup meruyak, ada 161 artikel. Artinya, dari sisi ‘bloggeristik’ (bentuk lain dari ‘jurnalistik’), Ya yat terbukti tak pernah kehabisan nafas untuk melahirkan tulisan terbaik berdasarkan specific interest-nya, MotoGP dan sang jantung hati, Valentino Rossi.
Berbekal catatan kemilau Ya yat secara redaksional, ternyata takdir berkata lain. Nama Ya yat tidak masuk dalam deretan nominator calon peraih Best in Specific Interest. Gubrak! “Jago”-nya Yos Mo terlempar dari bursa. Sementara saya, juga sempat mbatin ra keruan, mempertanyakan hasil pengumuman nominator itu.
Begitulah. Rupanya teka-teki mengapa Ya yat terlempar dari bursa nominator peraih Best in Specific Interest cepat terjawab. Apa yang kemudian diraih Ya yat ternyata melebihi ekspektasi Yos Mo, saya dan bisa jadi, sebagian Kompasianer lainnya. Ya yat didaulat sebagai yang terbaik dari semua yang terbaik! Belakangan, amat layak bila kemudian “Nyonya Vale” meng-edit keterangan singkat profilnya di akun Kompasiana. Ia membubuhkan tulisan: Kompasianer of The Year 2016. Joss gandos!

Pertama, merujuk pada apa yang disampaikan langsung Kang Pepih Nugraha, COO Kompasiana kepada Ya yat saat menyerahkan trophy KoTY. Seperti diulangi Ya yat, pengantar singkat pengantar Kang Pepih bak tertelan rasa haru dan shock yang membuncah. Penuturan Kang Pepih tak lagi terdengar, kecuali hanya satu kata yang mampu diingat Ya yat, yaitu konsisten. Artinya, Ya yat pantas menerima gelar KoTY 2016 karena konsistensi yang sudah dibuktikannya selama bergabung dengan Kompasiana.
Ya yat bergabung dengan blog keroyokan berlogo ‘Burung Kriko’ sejak 9 Oktober 2009. Artinya, pas tujuh tahun! Sementara Kompasiana, setahun lebih dulu lahirnya yaitu 22 Oktober 2008. Meski bergabung pada 2009, tapi Ya Yat termasuk yang tidak ikutan “Kopdar” gathering Kompasiana angkatan pelopor. Wajar, karena “Kopdar” itu berlangsung pada 21 Februari 2009.
Istilah “pelopor” dipakai Kang Pepih dalam bukunya Kompasiana : Etalase Warga Biasa (Gramedia, 2012). Pada bab berjudul “Kopdar”, Komunitas, dan Aktivitas Offline, Kang Pepih menulis: “Satu hal yang sangat menggembirakan, di saat Kompasiana masih berujud “bayi merah”, antusias Kompasianer awal yang saya anggap sebagai pelopor bisa hadir. (hal 217-218)