“Aku bisanya sesudah jam 15.00. Nanti langsung ke Warung Naskuter di Jalan DR Sardjito itu”. Begitu balasan inbox fesbuk dari Umi Azzurasantika.
Ya, awal September kemarin, saya kebetulan berada di Yogyakarta, dan merencanakan untuk kopi darat dengan sejumlah Kompasianer. Sore itu, akhirnya kita duduk bareng. Ada Ratih Purnamasari, Fandi Sido, Dwi Suparno dan Umi Azzurasantika.
Bersama Ratih dan Umi, ini kopdar pertama. Meski begitu, tidak ada rasa kikuk. Maklum sudah lebih dulu kenal di fesbuk. Kalau dengan Fandi dan Dwi, waaahhh … sudah jadi teman seperjalanan ke Bali dan Banyuwangi, sebagai pemenang lomba menulis di Kompasiana dengan sponsor Pertamina.
Khusus kepada Umi, saya tidak menduga, ia datang dari lokasi yang cukup jauh, Magelang! Sebelumnya, saya pikir ia tinggal di Gunungkidul atau searah perjalanan dengan Dwi Suparno. Rupanya saya salah. Orangtua Umi yang menetap di Gunungkidul, sedangkan ia harus berkendara dari Magelang menuju Yogyakarta, sejauh 45 km atau sekitar 1,5 hingga 2 jam perjalanan. Terbayang, untuk kopdar sore itu, Umi harus memacu kendaraannya melintasi rute Magelang – Mertoyudan – Mungkid – Muntilan – Salam – Sleman – Yogyakarta. Demi sebuah jalinan silaturahim. Luar biasa!
“Saya biasa bolak-balik Magelang – Yogyakarta - Gunungkidul. Jadi sudah enggak kaget lagi,” ujar Umi yang kini bersama suami dan anaknya tinggal di Perumahan Depkes, Kelurahan Kramat, Magelang Utara.
Di fesbuk, saya mengenal Umi sebagai penulis puisi dan penyair muda yang semakin bersinar, the rising star. Ketika buku antologi puisinya terbit, saya termasuk yang paling dulu memesan. Buku itu berjudul Di Antara Perempuan – Antologi Puisi 7 Penyair yang diterbitkan Buku Litera pada April 2015. Di buku ini, ada 17 puisi karya Umi. Temanya, tentang Cinta, Suasana dan Kritik Sosial.
Diantara puisi itu ada yang berjudul Hilangnya Hak Rakyat. Diantaranya, Umi menulis begini:
Kau tuntut kami taat
Bayar pajak dengan waktu tepat
Tapi hak kami kau rampas