[caption caption="Pingkan Carolina Rosalie Warouw sedang menerjemahkan bahasa isyarat tuli. (Foto: Gapey Sandy)"][/caption]Namanya panjang: Pingkan Carolina Rosalie Warouw. “Cukup panggil saya Pingky,” kata perempuan separuh baya dengan rambut bercat pirang ini. Pingky lahir di Makassar, 30 Juli 1952. Ia menjabat Ketua INASLI atau Indonesian Sign Language Interpreter, sebuah lembaga yang baru berdiri pada 2015 kemarin.
Dalam menerjemahkan bahasa isyarat kepada para tunarungu atau tuli, Pingky sudah sarat pengalaman. Belasan tahun lamanya ia menggeluti sign language. Karena kepandaiannya itu, Pingky sering dipercaya jadi penerjemah pada berbagai acara formal. Termasuk muncul di layar kaca TVRI untuk menerjemahkan informasi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait Pilpres juga Pilkada. Juga, tampil menerjemahkan jalannya rapat anggota legislatif. Sebuah tugas dan kepercayaan yang teramat besar jasanya. Pingky juga tercatat menjadi anggota WASLI atau World Association of Sign Language Interpreters.
“Tidak gampang menjadi penerjemah bahasa isyarat,” ujar Pingky. “Ada banyak prasyarat yang harus melekat pada diri seorang penerjemah. Enggak bisa cuma dari belajar bahasa isyarat saja.”
[caption caption="Tidak mudah menjadi penerjemah bahasa isyarat tuli. Pingkan Carolina Rosalie Warouw, Ketua INASLI. (Foto: Gapey Sandy)"]
Berikut kutipan wawancaranya:
* * *
Mengapa begitu sulit menyeragamkan bahasa isyarat di Indonesia?
Karena ini masih menjadi hal baru. Sosialisasi keberadaan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) juga belum lama. Jadi banyak individu dan sekelompok tuli yang merasa bahwa mereka punya bahasanya sendiri, “bahasa gaul”. Padahal, dengan banyaknya versi “bahasa gaul” mereka sendiri-sendiri, dan tidak dipersatukan seperti Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa pemersatu bahasa bangsa, maka selamanya akan menjadi sulit.
Saat ini bahasa isyarat yang banyak dipergunakan di Indonesia?
Ada dua, SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) dan BISINDO saja. Tapi, kalau pun kita menyebut BISINDO, maka penggunaannya dari tuli yang ada di Sabang sampai Merauke itu pun tak sama. Lain! Bahkan, BISINDO yang berlaku di DKI Jakarta saja ada lima perbedaan. BISINDO wilayah Jakarta Utara beda dengan BISINDO yang dipakai di Jakarta Selatan, Timur, Barat, juga Pusat. Meskipun, beda isyaratnya tidak terlalu mencolok, hanya beda sedikit. Contoh, menyebut kosa kata “Bali” misalnya. Ada yang mengisyaratkan dengan meletakkan tangan terbuka dengan ibu jari menyentuh di kening. Tapi, ada juga yang mengisyaratkan “Bali”, justru dengan berlagak seperti orang sedang melakukan gerakan tarian adat Bali, satu tangan di atas kepala dan satu lagi ke arah pinggul.
Perbedaan lain misalnya, kata “memperkenalkan”. Ada bahasa isyarat yang memotong lafaznya menjadi empat: “mem – per – kenal – kan”, sambil menggerakkan empat kali ganti isyarat tangan. Nah, ini kan kepanjangan! Padahal cuma mau menyebut “memperkenalkan” saja. Makanya, kita lebih terbiasa mengisyaratkan kata “memperkenalkan” itu dengan menjabatkan kedua telapak tangan kita. Ini artinya, hanya satu kali isyarat tangan saja.
[caption caption="Pingkan Carolina Rosalie Warouw sedang bekerja untuk KPU dengan menerjemahkan bahasa isyarat tuli. (Dokpri. Pingkan C. R. Warouw)"]
Seolah muncul sikap saling bersaing antar kelompok tulinya sendiri. Mereka saling berebut untuk tampil dan ingin memperoleh pengakuan. Padahal, bahasa itu milik semua orang. Bahasa tuli itu milik orang tuli, tapi bukan berarti bahasa tuli itu hanya milik satu kelompok tertentu saja.
Ketidakseragaman bahasa isyarat ini tentu dampaknya adalah kekacauan?
Pada tahun 2009, saya ikut workshop bahasa isyarat di Malaysia. Waktu itu, Debra Russell --- yang kini menjabat President WASLI periode 2015-2019 --- mengatakan kepada saya, “Saya buka informasi tentang wilayah Indonesia itu ternyata luas sekali. Tentu, dengan luas wilayah Indonesia yang begitu luas, akan banyak sekali bahasa isyarat yang muncul dan berkembang. Tapi ingat, dengan banyaknya model-model bahasa isyarat di Indonesia itu, you will have a headache!”