[caption id="attachment_288764" align="aligncenter" width="540" caption="Iklan kondom di Tabloid SOCCER edisi 10/XIV, Sabtu, 14 September 2013."][/caption]
Dua iklan kondom seolah berseteru, muncul di tabloid pada dua halaman berbeda. Yang satu muncul di halaman pertama, iklan kondom Sutra yang menampakkan seorang perempuan bermain bilyar dengan menampakkan sebagian dada, perut dan pahanya. Tagline iklan ini berbunyi: “LEBIH KUAT, LEBIH LAMA, LEBIH OK”.
Adapun iklan kondom yang satu lagi, terlihat di halaman lima yakni iklan Durex yang memperlihatkan seorang perempuan memeluk lelaki dengan posisi Woman On Top. Tagline-nya berbunyi: “SENSASI YANG MEMBUATMU DAN DIA INGIN LAGI… DAN LAGI…”. Kedua iklan kondom dimaksud tampil di Tabloid SOCCER edisi 10/XIV.Sabtu.14 September 2013 untuk edisi khusus Fase Grup Liga Champions 2013-2014.
Apakah kedua iklan kondom itu melanggar Etika Pariwara Indonesia (EPI)? Sulit untuk menjawabnya. Bahkan para Kompasioner tentu akan bersilang pendapat, apakah kedua iklan kondom tersebut mengandung selera yang tidak-pantas, mengeksploitasi erotisme, seksualitas, atau bahkan lebih jauh lagi, melecehkan kodrat, harkat dan martabat perempuan? Perbedaan opini tersebut menjadi wajar, karena sudut pandang publik dalam menilai kedua iklan kondom tadi pasti beragam. Mulai dari sisi desain artistik, tagline, aspek sensual-seksualitas, budaya ketimuran, norma keagamaan dan lainnya.
Aturan EPI sendiri pun terkesan longgar karena hanya mengatur bahwa: “Iklan kondom, pembalut wanita, pewangi atau deodoran khusus dan produk-produk yang bersifat intim lainnya harus ditampilkan dengan selera yang pantas, dan pada waktu penyiaran yang khusus untuk orang dewasa”. Peliknya, bagaimana mengeksekusi “tampilan dengan selera yang pantas” itu untuk iklan kondom? Bukankah, selera pantas menurut satu pihak, belum tentu juga selera pantas menurut pihak lain.
Pada akhir 1997, kita masih ingat kasus tagline iklan suplemen Kuku Bima Energi yang yang berbunyi: “BELUM GAME KOK SUDAH KELUAR…?” Meski lolos di Lembaga Sensor Film (LSF) kala itu, tapi akhirnya sebagian publik termasuk insan periklanan banyak yang bereaksi dengan mempersepsikan ungkapan tersebut vulgar dan berkonotasi seksual. Mereka berkesimpulan, iklan tersebut tak layak tayang sekaligus mempertanyakan kinerja LSF. Akhirnya, iklan Kuku Bima Energi pun direvisi, dan tagline-nya diganti menjadi: “MASIH BISA LAGI”. Kasus ini hanya contoh, betapa latar-belakang publik yang heterogen memunculkan persepsi yang beragam pula terhadap sebuah iklan.
Rambu lain terkait iklan kondom dinyatakan dalam Juknis Pedoman Periklanan Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga EPI. Disitu disebutkan bahwa: “Iklan Alat Kesehatan, Kosmetika dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga harus mendidik dan sesuai dengan norma kesusilaan yang ada”. Adapun detilnya, terdapat tiga pedoman teknis untuk iklan kondom, yakni (1). Tidak boleh mendorong penggunaan untuk tujuan asusila. (2). Supaya disesuaikan dengan estetika dan tata krama ketimuran. (3). Harus disertai spot “Ikuti Petunjuk Pemakaian”.
Nah, apakah iklan-iklan kondom yang kerap kita saksikan sudah mendidik, sesuai norma kesusilaan, tidak mendorong kepada tujuan asusila, sesuai estetika dan tata krama ketimuran? Lagi-lagi, perdebatan pasti ada dan beragam penilaian pasti mengemuka dengan argumentasi dan alibi masing-masing. Contohnya, sebagian orang mungkin berpendapat bahwa model iklan kondom yang berpakaian ketat dan minim dengan menampilkan lekuk dada, bokong hingga paha perempuan dapat diduga melanggar tata krama ketimuran, tapi boleh jadi bagi di sebagian persepsi publik yang lain berbeda pula penilaiannya.
Menyangkut perempuan sebagai model iklan, sebenarnya Tata Krama EPI sudah menegaskan bahwa: “Iklan tidak boleh melecehkan, mengeksploitasi, mengobyekkan, atau mengornamenkan perempuan sehingga memberi kesan yang merendahkan kodrat, harkat, dan martabat mereka”. Nah, apakah pose Julia Perez dalam iklan-iklan kondom yang dibintanginya termasuk telah melanggar Tata Krama ini? Apakah kesan dalam iklan-iklan kondom yang dibintangi Jupe member kesan merendahkan kodrat, harkat, dan martabat perempuan? Lagi-lagi, ruang perbedaan pendapat pasti akan penuh dengan berbagai analisa, argumentasi, teori dan sudah pasti, opini.
Salah satu fakta menarik terhadap kondom itu sendiri adalah bahwa sekitar 40 hingga 70 persen pembeli kondom di dunia adalah justru kaum perempuan. Entah bagaimana kesimpulan seperti ini muncul, namun dalam situsnya, kondomsutra.net merilis fakta tersebut. Dan apakah ada hubungannya atau tidak, kondom yang sejatinya dipergunakan oleh kaum pria, nyatanya justru banyak menampilkan sosok perempuan sebagai model tunggal iklannya.
Inilah tipikal pertama iklan kondom, dimana perempuan---yang notabene bukan sebagai pengguna kondom—justru tampil sebagai model iklannya. Seperti yang dapat dilihat pada beberapa contoh iklan kondom Sutra (Foto baris atas. Sumber: kondomsutra.net) dan Durex (Foto baris bawah. Sumber: delcampe.net dan coloribus.com) berikut ini.
[caption id="attachment_288765" align="aligncenter" width="583" caption="Tipikal iklan kondom dengan wanita sebagai model iklannya."]
Tipikal iklan kondom kedua adalah dengan menampilkan lelaki dan perempuan dalam berbagai pose yang intinya menunjukkan (hubungan) keintiman. Untuk tipikal yang seperti ini, mari kita menilik UU No.44/2008 tentang Pornografi. Dalam ketentuan umum disebutkan: “Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat”. Nah, apakah model iklan kondom yang menampilkan keintiman pasangan ini memunculkan kesan kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma susila? Jawabannya, pasti akan beragam kembali.
[caption id="attachment_288766" align="aligncenter" width="605" caption="Tipikal iklan kondom dengan model pria dan wanita berhubungan keintiman."]
Tipikal ketiga iklan kondom adalah meniadakan sosok orang baik lelaki maupun perempuan sebagai model iklannya, dan digantikan dengan berbagai macam obyek semisal pisang, strawberry dan masih banyak lagi. Secara ide kreatif, boleh dibilang tipikal iklan kondom yang seperti ini jauh dari kesan seronok, erotis, sensual, seksual dan hal-hal yang berkaitan dengan keintiman lainnya. Sebaliknya, tipikal iklan kondom yang demikian justru memberi peluang kepada publik untuk ‘memainkan’ imaji dan persepsinya sendiri-sendiri.
[caption id="attachment_288771" align="aligncenter" width="583" caption="Tipikal iklan kondom yang tidak menggunakan sosok orang sebagai model iklannya."]
Tipikal keempat adalah iklan kondom yang mirip dengan tipikal sebelumnya tetapi secara to the point berupaya menggiring persepsi publik kepada hubungan keintiman meskipun tanpa mengeksplisitkannya. Meski publik dapat dengan mudah mencerna maksud dan tujuan kreatif iklan kondom tersebut, namun karena umumnya masih di area abu-abu, maka tak terjamah dengan delik pelanggaran etika pariwara yang berlaku.
[caption id="attachment_288774" align="aligncenter" width="612" caption="Tipikal iklan kondom yang mendorong persepsi publik kepada hubungan keintiman."]
Agak sulit memang memastikan bahwa iklan-iklan kondom di atas melanggar ketentuan etika pariwara. Bahkan bila harus mempergunakan Pasal 4 pada UU No.44/2008 tentang Pornografi sekalipun, sulit pula untuk menyatakan pelanggarannya. Ayat 1 pasal ini berbunyi: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.
Lalu ayat 2 pasal ini yang menyatakan: Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin; c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Kalau pun hendak memaksakan dugaan pelanggaran sesuai pasal tadi, maka urusan ”mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual” boleh jadi bisa dianggap sebagai fakta dasar pelanggarannya. Meskipun, belum tentu pula dugaan pelanggaran ketabuan ini akan mudah dibuktikan.
Akhirnya, dari berbagai tipikal iklan kondom yang telah dijadikan contoh, para kreator iklan kondom sudah sepatutnya memiliki self control yang baik, dan menaati asas EPI yang menyerukan agar iklan dan pelaku periklanan harus jujur, benar, dan bertanggung-jawab. Selain itu, bersaing secara sehat; dan, melindungi serta menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
Tanpa niat dan itikad yang baik, hasil kreatif iklan kondom akan melulu berkesan cabul, erotis, sensual dan seksual. Padahal, ide-ide kreatif yang makin menantang seringkali justru muncul di luar kesan yang negatif tadi. Sekali lagi, iklan kondom memang tak harus berkesan cabul.
Lher!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI