"Tahaddu tahabbu". Hadits Nabi Muhammad saw yang pendek, tapi dalam maknanya. Terjemahan hadits ini, kira-kira begini. "Berilah hadiah, maka kalian akan saling mencintai."
Tidak sedikit yang mengimplementasikan hadits ini dengan benar-benar memberi kado, hadiah maupun bentuk perhatian kepada orang lain juga sanak kerabat. Harapannya, lewat pemberian-pemberian tersebut, muncul benih-benih rasa cinta juga kasih sayang yang mendalam dari masing-masing pihak -- si pemberi maupun penerima.
Masuk akal. Sebentuk perhatian seseorang, meski sekecil apapun, bila ikhlas dilakukan, maka pasti akan memberi kesan yang jauh lebih besar. Namanya juga "sebentuk perhatian". Apalagi kalau bentuknya berupa pemberian kado atau hadiah yang tak disangka-sangka. Efek yang ditimbulkan pasti sesuai janji hadits tersebut, yakni "akan saling mencintai".
Tapi, bagaimana kalau hadits ini diseret ke wilayah politik? Atau, transaksi politik? Apakah berimbas sama pada munculnya rasa saling mencintai?
Jawaban saya, bisa iya tapi juga bisa tidak sama sekali. Karena habitat politik tidak mengenal belas kasih ataupun rasa saling mencintai satu sama lain. Politik itu "buas" dan "liar". Bukankah kita sudah sering mendengar kalimat bijak yang terbukti banget kebenarannya. Bahwa, politik tidak mengenal kawan maupun lawan yang sejati, karena politik hanya mengenal kepentingan sejati belaka.
Pikir punya pikir, saya menerawang pada nasib Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dalam kiprah perpolitikan di tanah air. Sebagai partai yang awalnya didirikan melalui basis gerakan dakwah yang biasa disebut usrah di kampus dan perguruan tinggi, tentulah kader PKS percaya juga paham benar makna hadits "tahaddu tahabbu". Cuma sayangnya, seolah mereka justru melakukannya pada lahan politik. Akibatnya, cilaka dua belas. PKS "babak belur" dengan kurang banyak menerima imbalan "cinta" dari sekutu, sekubu dan sealiran politiknya.
Contohnya 'gimana? Ketika ramai Prabowo Subianto mengajukan diri sebagai calon presiden, gelagat PKS yang loyal dan penuh dukungan berharap, supaya calon wakil presidennya bisa dipilih dari internal kader mereka. Pembaca tentu ingat, PKS menggosok-gosok sembilan kader terbaiknya, agar supaya dipilih Prabowo.
Kesembilan mereka adalah Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid, Mantan Presiden PKS Anis Matta, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, Presiden PKS Sohibul Iman, Ketua Majelis Syuro PKS Salim Segaf Al'Jufrie, Mantan Presiden PKS Tifatul Sembiring, Ketua DPP PKS Al Muzammil Yusuf, dan Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera.
PKS memberi dukungan penuh kepada Prabowo untuk maju sebagai capres. Sebagai imbal baliknya, satu dari sembilan kader PKS, diharapkan menjadi pilihan Prabowo untuk mendampinginya sebagai Cawapres. Ya, mustinya berlaku "tahaddu tahabbu". Tapi, politik tidak mengenal hadits itu. Prabowo tak kunjung memilih satu pun kader PKS untuk menjadi pendampingnya. Capres yang gemar berkuda ini justru dianggap seolah-olah sempat "bermain mata" dengan Partai Demokrat. PKS pun gerah. Ancaman sempat dilayangkan PKS, kalau Prabowo tidak memilih satu dari sembilan kadernya, maka dukungan terhadap Prabowo setiap saat bisa saja dievaluasi.
Sekali lagi, berlakukah "tahaddu tahabbu"? Tidak! Wong PKS-nya malah ngancam-ngancam kayak 'gitu kok.
Cerita selanjutnya kita sama-sama tahu, Sandiaga Uno yang kemudian melesat namanya. Meninggalkan PKS yang "gigit jari" karena tak seorang pun dari sembilan kadernya yang dilirik apalagi dipungut sebagai Cawapres oleh Prabowo.