Mohon tunggu...
Gapey Sandy
Gapey Sandy Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Peraih BEST IN CITIZEN JOURNALISM 2015 AWARD dari KOMPASIANA ** Penggemar Nasi Pecel ** BLOG: gapeysandy.wordpress.com ** EMAIL: gapeysandy@gmail.com ** TWITTER: @Gaper_Fadli ** IG: r_fadli

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Warisan "Semangat Bandung" dan Isu Tabu pada KAA 1955

23 April 2018   20:59 Diperbarui: 24 April 2018   08:07 2698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Usai perhelatan KAA 1955, PM Tiongkok Zhou Enlai (kiri) bertemu dengan Presiden Soekarno dan PM Indonesia Ali Sastroamidjojo. (Foto: Dok. IndoChinaTown)

Tanggal 24 April ini, pada 63 tahun silam adalah hari terakhir Konferensi Afrika Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Ketika itu, sudah banyak perdebatan yang terselesaikan dan menghasilkan titik temu kesepakatan.

Sejarawan Wildan Sena Utama dalam bukunya Konferensi Asia Afrika: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme menguak hari-hari terakhir bagaimana kerja masing-masing komite. Kutipannya, sebagai berikut:

Pada Sabtu malam, 23 April, komite perumus tanpa pembahasan bertele-tele menerima naskah yang merekomendasikan delapan negara Asia-Afrika untuk menjadi anggota PBB. Atas dasar prinsip universalitas, direkomendasikan bahwa negara-negara peserta KAA, yaitu Kamboja, Jepang, Yordania, Libya, Nepal, Sri-Lanka, dan "Vietnam bersatu" harus diterima sebagai anggota. Namun, penggunaan kata "bersatu" menyulut kontroversi tersendiri karena delegasi Vietnam Selatan sangat keberatan.

Ketika Komite Politik bersidang kembali pada Minggu (24 April 1955 -- red) pagi, masih belum ada kesepakatan dalam komite perumus mengenai masalah koeksistensi dan kolonialisme, sedangkan Komite Ekonomi dan Komite Kebudayaan telah mengajukan dokumennya. Setelah dua setengah hari diskusi, para anggota masih menemui jalan buntu tentang bagaimana menggambarkan kolonialisme. Negara pro-Barat mendesak penggunaan "kolonialisme lama dan baru" atau "kolonialisme dalam segala bentuknya."

Komunike final Konferensi Asia-Afrika kemudian dibacakan oleh Pangeran Wan. Bagian terpenting dari komunike tersebut adalah 10 prinsip yang terdapat dalam pernyataan mengenai usaha memajukan perdamaian dan kerjasama di dunia, yang disebut Dasasila Bandung...

Konferensi ditutup oleh pidato ketua KAA, Ali Sastroamidjojo...

"Saya berharap sungguh-sungguh, bahwa jika sebagian dunia lainnya memperhatikan sepatutnya keputusan-keputusan kita, mereka akan berbuat demikian pula dengan goodwill, toleransi, kesabaran dan kebijaksanaan yang sama sebagaimana telah diperlihatkan dengan menakjubkan selama konferensi ini. Menjelang kembalinya tuan-tuan ke rumah dan negara masing-masing, saya yakin bahwa semuanya akan membawa bersama-sama perasaan kepuasan seperti yang saya rasakan pada penutupan Konferensi Asia-Afrika yang pertama ini. Kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah menunjukkan bahwa kita dapat bekerja bersama-sama dan bawa hanya perdamaian dan perdamaian semata-mata yang kita inginkan untuk kemanfaatan bangsa-bangsa kita dan seluruh dunia..."

o o oOo o o

Buku yang ditulis Wildan Sena Utama ini - seperti diakuinya sendiri - bermula dari tesis yang diajukan ketika studi di Institute for History, Leiden University, Belanda.

Buku Konferensi Asia Afrika - Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme karya Wildan Sena Utama. (Foto: Facebook Wildan Sena Utama)
Buku Konferensi Asia Afrika - Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme karya Wildan Sena Utama. (Foto: Facebook Wildan Sena Utama)
"Studi ini bermula dari ketertarikan awal saya terhadap proses pembentukan jaringan transnasional antar intelektual dan aktivis Asia pada awal abad ke-20, khususnya di Eropa. Penelusuran terhadap melimpahnya kontak, komunikasi, dan hubungan yang terbangun antara jaringan antiimperialis dan antikolonialis Asia dengan jaringan antiimperialis Afrika dan Amerika Latin mengantarkan saya kepada satu pertemuan historis yang mempertemukan mereka kembali di Bandung pada 1955," tulis pria kelahiran Jakarta, 13 Oktober 1989 ini dalam Prakata Penulis.

Sebagai bacaan dengan fokus peristiwa KAA 1955, buku yang diberi Pengantar oleh Jurgen Dinkel ini, amat sangat lengkap. Bolehlah dibilang memuaskan dahaga akan kehausan informasi terkait dinamika sepanjang konferensi yang dihadiri 29 negara tersebut. Malahan, buku ini juga tidak jaim alias jaga image untuk menyinggung juga rumor tak sedap tentang disediakannya wanita-wanita penghibur bagi anggota delegasi. Ini memang bumbu tak sedap yang menjadi misteri dan mengiringi dokumentasi, info-info dan arsip terkait konferensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun