Tanggal 24 April ini, pada 63 tahun silam adalah hari terakhir Konferensi Afrika Afrika (KAA) 1955 di Bandung. Ketika itu, sudah banyak perdebatan yang terselesaikan dan menghasilkan titik temu kesepakatan.
Sejarawan Wildan Sena Utama dalam bukunya Konferensi Asia Afrika: Asal Usul Intelektual dan Warisannya bagi Gerakan Global Antiimperialisme menguak hari-hari terakhir bagaimana kerja masing-masing komite. Kutipannya, sebagai berikut:
Pada Sabtu malam, 23 April, komite perumus tanpa pembahasan bertele-tele menerima naskah yang merekomendasikan delapan negara Asia-Afrika untuk menjadi anggota PBB. Atas dasar prinsip universalitas, direkomendasikan bahwa negara-negara peserta KAA, yaitu Kamboja, Jepang, Yordania, Libya, Nepal, Sri-Lanka, dan "Vietnam bersatu" harus diterima sebagai anggota. Namun, penggunaan kata "bersatu" menyulut kontroversi tersendiri karena delegasi Vietnam Selatan sangat keberatan.
Ketika Komite Politik bersidang kembali pada Minggu (24 April 1955 -- red) pagi, masih belum ada kesepakatan dalam komite perumus mengenai masalah koeksistensi dan kolonialisme, sedangkan Komite Ekonomi dan Komite Kebudayaan telah mengajukan dokumennya. Setelah dua setengah hari diskusi, para anggota masih menemui jalan buntu tentang bagaimana menggambarkan kolonialisme. Negara pro-Barat mendesak penggunaan "kolonialisme lama dan baru" atau "kolonialisme dalam segala bentuknya."
Komunike final Konferensi Asia-Afrika kemudian dibacakan oleh Pangeran Wan. Bagian terpenting dari komunike tersebut adalah 10 prinsip yang terdapat dalam pernyataan mengenai usaha memajukan perdamaian dan kerjasama di dunia, yang disebut Dasasila Bandung...
Konferensi ditutup oleh pidato ketua KAA, Ali Sastroamidjojo...
"Saya berharap sungguh-sungguh, bahwa jika sebagian dunia lainnya memperhatikan sepatutnya keputusan-keputusan kita, mereka akan berbuat demikian pula dengan goodwill, toleransi, kesabaran dan kebijaksanaan yang sama sebagaimana telah diperlihatkan dengan menakjubkan selama konferensi ini. Menjelang kembalinya tuan-tuan ke rumah dan negara masing-masing, saya yakin bahwa semuanya akan membawa bersama-sama perasaan kepuasan seperti yang saya rasakan pada penutupan Konferensi Asia-Afrika yang pertama ini. Kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah menunjukkan bahwa kita dapat bekerja bersama-sama dan bawa hanya perdamaian dan perdamaian semata-mata yang kita inginkan untuk kemanfaatan bangsa-bangsa kita dan seluruh dunia..."
o o oOo o o
Buku yang ditulis Wildan Sena Utama ini - seperti diakuinya sendiri - bermula dari tesis yang diajukan ketika studi di Institute for History, Leiden University, Belanda.
Sebagai bacaan dengan fokus peristiwa KAA 1955, buku yang diberi Pengantar oleh Jurgen Dinkel ini, amat sangat lengkap. Bolehlah dibilang memuaskan dahaga akan kehausan informasi terkait dinamika sepanjang konferensi yang dihadiri 29 negara tersebut. Malahan, buku ini juga tidak jaim alias jaga image untuk menyinggung juga rumor tak sedap tentang disediakannya wanita-wanita penghibur bagi anggota delegasi. Ini memang bumbu tak sedap yang menjadi misteri dan mengiringi dokumentasi, info-info dan arsip terkait konferensi.
"Masalah Hospitality Committee sebenarnya bukan menjadi concern utama studi saya. Itu semacam sisi-sisi menarik yang terkait dengan KAA 1955. Semacam bumbu-bumbunyalah. Sebenarnya menarik karena ketika saya membaca koran-koran di tahun 1950-an itu ada beberapa berita tentang hal itu. Terutama itu diselenggarakan oleh kelompok-kelompok yang pada waktu itu menjadi oposisi Pemerintah," ujar Wildan yang bertugas di Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya, UGM Yogyakarta.
Berikut kutipan wawancara saya dengan suami dari Nur Aini Kusmayanti, yang dilakukan menggunakan fitur WA call pada Selasa, 17 April 2018:
o o oOo o o
Pertama, belum banyak tulisan yang membahas KAA 1955 dalam Bahasa Indonesia yang lengkap. Satu-satunya yang jadi acuan mungkin adalah bukunya Roeslan Abdulgani, Ketua Sekretariat Bersama KAA 1955. Ia hadir dalam konferensi dan laporannya sungguh luar biasa sekali mengenai jalannya konferensi. Para pembuat buku sekolah mungkin kesulitan untuk memasukkan hal-hal tersebut karena referensinya masih sedikit.
Kedua, perdebatan dan ekspose selama berlangsungnya KAA 1955 dianggap kurang penting. Makanya yang ditonjolkan adalah KAA 1955 yang dianggap penting pada masa Perang Dingin, juga penting bagi Indonesia, dan pada KAA 1955 itu Presiden Soekarno muncul sebagai tokoh. Inilah yang dianggap inti-inti penting oleh penulis buku-buku sekolah. (tentang KAA 1955). Adapun soal pertentangan diplomasi misalnya, mereka abaikan.
Ketiga, penulis buku menganggap bahwa KAA 1955 sebagai sekumpulan suara yang homogen, padahal yang datang sangat heterogen sekali dan mewakili banyak kepentingan. Banyak sekali negara-negara yang mewakili kepentingan AS di KAA 1955, sekutu-sekutu AS datang, untuk berusaha mengintervensi jikalau Cina berusaha menyebarkan propaganda tentang pandangan politiknya.
Tapi yang luar biasanya adalah, meskipun yang datang heterogen, mulai dari negara-negara yang berpandangan non-blok seperti India, Indonesia, Mesir dan Burma, serta negara-negara yang mewakili kepentingan AS seperti Jepang, Thailand, Iran, Irak, Turki dan lainnya, tetapi mereka berhasil menyatukan konsensus suara terhadap ancaman Perang Dingin, kolonialisme dan lain-lain yang tertuang dalam Dasasila Bandung atau Bandung Spirit.
Salah satu perdebatan yang paling hangat adalah tentang tuduhan komunisme di luar Uni Soviet. Ini jelas diarahkan kepada komunisme dari negara-negara lain, terutama yang agak tersinggung adalah Cina karena waktu itu merupakan negara komunis. Jadi ada satu momen ketika Sir John Kotelawala (Srilanka) tiba-tiba mengatakan bahwa ada kolonialisme lain yaitu komunisme.
Hal ini membuat kaget para peserta karena tidak disangka-sangka Sir John Kotelawala akan berbicara seperti itu, sampai membuat Jawaharlal Nehru (India) dan Ali Sastroamidjojo (Indonesia) menenangkan terjadinya 'kehebohan' tersebut. Tentu saja hal ini membuat Perdana Menteri Cina, Zhou Enlai ternyata dengan tenang membalas pernyataan Kotelawala. Yang menarik, Zhou Enlai yang sebenarnya diserang secara tidak langsung, berdasarkan dokumen-dokumen yang saya baca, bisa menghadapi tekanan-tekanan seperti itu dengan tenang. Ini menarik sekali, karena ternyata Cina justru tidak reaktif dan malah tenang.
Perdebatan lain yang terjadi adalah format pernyataan tentang kolonialisme. Juga soal ancaman militer yang mengemuka dalam diskusi mengenai pakta pertahanan karena ada beberapa negara yang menandatangani pakta pertahanan seperti The Southeast Asia Treaty Organization (SEATO), dan The Central Treaty Organization (CENTO).
Jadi ada beberapa negara yang merasa bahwa pakta-pakta pertahanan seperti itu penting apalagi terjadi di masa Perang Dingin yang sangat rentan terjadi perang secara militer. Artinya, pakta-pakta pertahanan itu mempertahankan wilayah kedaulatan negara-negara yang menandatangani. Tetapi, alasan ini justru ditentang oleh India, Burma dan negara-negara lain yang punya pandangan non blok dengan alasan, bahwa pakta-pakta pertahanan tersebut justru memperkeruh dan memicu terjadinya perang.
[Di bukunya, Wildan minimal menyebut empat perdebatan dalam konferensi, yaitu: Mengutuk "Kolonialisme Baru"; Hak Asasi Manusia dan Penentuan Nasib Sendiri; Meledaknya Kotelawala; serta, Koeksistensi dan Perdamaian Dunia]
Semangat KAA 1955, menurut perspektif saya pribadi, adalah semangat melawan ketidakadilan di dunia. Melawan ketidakadilan sistem yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan besar di dunia yang merepresi negara-negara yang lebih lemah di zaman itu. Memang sistemnya sekarang sudah berbeda pasca 1991, sudah tidak ada blok Barat dan Timur lagi.
Pertarungan juga sekarang bukan bersifat bipolar lagi antara blok Barat dengan Timur, tetapi lebih multipolar dengan banyak blok-blok yang lain. Ada blok-blok baru seperti Cina, Rusia dan lain-lain. Tetapi saya menggarisbawahi semangat KAA 1955 yaitu semangat untuk menyuarakan ketidakadilan didalam politik dunia. Itu masih relevan. Karena misalnya sekarang ini, di Timur Tengah baru-baru ini di Suriah, Presiden AS Donald Trump dengan beberapa negara Barat mengintervensi atau menyerang Suriah.
Ini menurut saya seperti di masa tahun 1950-an, ketika AS dan negara-negara Barat - termasuk Prancis -- melakukan intervensi terhadap Vietnam. Kalau dilihat, pola-polanya seperti berulang.
Sebenarnya sekarang formatnya bukan negara-negara Asia Afrika lagi, karena pasca KAA 1955 sendiri Amerika Latin juga bersatu menjadi negara-negara yang disebut sebagai negara-negara Selatan (Global South). Seharusnya Global South ini juga bisa berkumpul, menyuarakan keprihatinan mereka terhadap masih adanya intervensi dari negara-negara atau kekuatan-kekuatan besar terhadap negara-negara yang lebih lemah.
Apakah pasca intervensi militer AS bersama negara-negara lain di Timur Tengah lalu negara-negara yang lebih lemah itu menjadi lebih baik? Jawabannya, tidak.
Kenyataannya Irak masih hancur dan ternyata tidak ditemukan senjata pemusnah massal seperti yang dituduhkan dan menjadi dasar AS di masa Presiden George Bush untuk menyerang Irak. Hal yang sama terjadi juga di Afghanistan, juga Suriah. Jadi, perang bukan merupakan solusi jangka panjang. Kalau bagi AS, perang mungkin adalah solusi jangka pendek untuk melenyapkan musuh-musuh yang mereka anggap tidak demokratis.
Menurut saya, relevansi KAA 1955 masih sangat relevan di zaman now, terutama spiritnya untuk melawan ketidakadilan yang diakibatkan oleh negara-negara yang lebih kuat. Spirit KAA 1955 untuk zaman now masih kuat, meskipun negara-negaranya sekarang geloranya sudah berbeda dibandingkan pada masa tahun 1950-an.
Ketika itu, negara-negara di Asia dan Afrika banyak dipimpin oleh pemimpin-pemimpin yang berani seperti Soekarno (Indonesia), Jawaharlal Nehru (India), Gamal Abdul Nasser (Mesir), U Nu (Myanmar), Patrice Lumumba (Kongo) dan lainnya. Waktu itu, salah satu concern KAA 1955 adalah juga soal Palestina. Tapi memang, kondisi sekarang sudah berbeda, tidak terlalu progresif dalam politik tetapi lebih mengarah kepada kerjasama ekonomi, karena memang zamannya sudah beda.
Masalah HC bukan menjadi concern utama dalam studi saya. Itu semacam sisi-sisi menarik yang terkait dengan KAA 1955, semacam bumbu-bumbunyalah. Itu juga saya hanya memaba sebagian kecil saja soal HC itu. Sebenarnya menarik karena ketika saya membaca koran-koran di tahun 1950-an, terutama itu disodorkan oleh kelompok-kelompok yang menjadi oposisi pemerintah. Mereka memuat adanya wanita-wanita yang menemani diplomat-diplomat atau perwakilan-perwakilan yang datang di KAA 1955.
Mengenai tanggapannya tentang "komite keramahan" itu, saya sebagai sejarawan hanya mendokumentasikannya saja bahwa ada sesuatu hal yang menarik. Saya berbicara saja tentang tersebut, dan apakah hal ini bermoral atau tidak, bukan ranah saya.
Saya memuat sebenarnya berdasarkan sumber-sumber yang saya temui. Mengenai benar-benar adanya wanita-wanita yang terlibat, saya belum mewawancarai wanitanya. Kalau saya sendiri, hanya ingin mendokumentasikan, bahwa ternyata ada perdebatan tentang hal ini dari sisi perspektif koran-koran di Indonesia yang justru menarik, karena koran-koran oposisi justru menyoroti hal ini, kenapa tidak menyoroti ide besar tentang KAA 1955 sendiri misalnya.
Isu Tak Sedap KAA 1955
Dalam bukunya, Wildan Sena Utama memuat juga sekilas isu tabu yang berlangsung selama KAA 1955. Ini memang bumbu tak sedap sepanjang konferensi. Begini antara lain yang tulis Wildan di halaman 151-152:
Selain itu, Masyumi dan partai Islam lainnya, Partai Sarikat Islam Indonesia, mengkritik Sekretariat Bersama karena mengorganisir "komite keramahan" yang menyediakan fasilitas wanita pendamping untuk menemani para delegasi menikmati waktu senggang. Menurut Legge, Soekarno sendiri yang meminta Sekretariat Bersama agar memilih pelajar-pelajar perempuan sebagai wanita pendamping. (Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil "Petit Histoire" Indonesia jilid 2, Jakarta: Kompas, 2009)
Komite keramahan ini menimbulkan kontroversi di kalangan pers Indonesia. Koran-koran pro-pemerintah seperti Suluh Indonesia (PNI), Harian Rakjat (PKI), Duta Masyarakat (NU) diam seribu bahasa terhadap isu ini. Tapi koran-koran oposisi seperti Indonesia Raya dan Pedoman, dua koran yang mendukung Partai Sosialis Indonesia (PSI), memberitakan isu ini sebagai headline.
Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya, mengatakan bahwa reportase terhadap komite keramahan adalah salah satu isu penting yang diberitakan oleh Indonesia Raya pada kurun 1950an. Ia bahkan terjun ke lokasi tempat para perempuan itu berada, mewawancarai beberapa diantaranya dan melaporkan hasil investigasinya di Indonesia Raya. Lubis mengklaim bahwa ia tidak keberatan dengan laki-laki yang mengunjungi lokasi prostitusi, tetapi keberatan dengan pemerintah yang menyediakan wanita untuk para delegasi konferensi. (David T Hill, Journalism and Politics in Indonesia: A Critical Biography of Mochtar Lubis (1922-2004) as Editor and Author, London & New York: Routledge, 2010)
Sementara itu, Pedoman mengutip editorial Singapore Standard yang mengatakan bahwa komite keramahan di Bandung menunjukkan degradasi moral Asia di mata dunia. KAA telah membawa hasil yang melebihi harapan para penyelenggaranya, tapi kesalahan kecil menghancurkan segala yang telah dicapai.
Namun Feith dalam karyanya The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia yang diterbitkan pada 1962 - pen) menunjukkan, meskipun media oposisi menyerang pemerintah Indonesia, rasa kebanggaan nasional yang dirangsang oleh KAA di tengah-tengah rakyat pada umumnya tidak mudah dihilangkan. (Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, Cornell University Press, 1962)
Sebelum bertugas sebagai liaison officer, Romlah lebih dahulu menjadi penerima tamu. Ia ditugaskan oleh panitia di Hotel Savoy Homann. Tapi belum juga ia sempat bekerja sudah keburu diusir Osa Maliki, salah seorang petinggi PNI yang duduk dalam struktur kepanitiaan. "Pak Osa bilang, eh Ibu buat apa kamu di sini? Saya bilang saya ditugasi di situ, lalu dia bilang "tidak, besok pindah ke tempat sidang". Dari sinilah Romlah seakan merasa yakin bahwa "komite keramahan" itu ada. Bagi Romlah yang juga anggota PNI, mungkin Osa berusaha mencegah supaya dirinya tidak termasuk dalam HC tersebut.
Kisah lain diungkapkan Bambang Hidayat yang ketika KAA 1955 sudah berusia 21 tahun. Ia juga liaison officer. "Tugas saya cuma mengantar (anggota delegasi) saja," kata Bambang. Ketika menunaikan tugasnya itulah, pakar astronomi ini mendengar rumor tentang adanya HC.
Konon, komite ini punya job menyediakan wanita penghibur untuk peserta konferensi yang "membutuhkan". Adapun salah satu tempat yang memasok "kebutuhan" itu adalah sebuah rumah di Jalan Setiabudi. Bangunan ini letaknya cuma sekitar 10 kilometer dari Jalan Asia Afrika. Bambang Hidayat sendiri bahkan pernah menampik permintaan anggota delegasi yang minta diantarkan ke sana.
Berbeda dengan kesaksian Joesoef Ishak, wartawan senior Harian Merdeka yang meliput jalannya konferensi. Ia mengakui, usai KAA 1955 digelar, memang banyak koran-koran yang memberitakan hal itu. Tetapi Joesoef sendiri tidak pernah melihat anggota delegasi memanfaatkan fasilitas tersebut. Panitia konferensi pun membantah adanya rumor komite tersebut. Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo sendiri langsung menyatakan tidak tahu menahu tentang kebenaran isu tersebut. "Saya yakin Bung Karno juga tidak tahu soal ini," katanya.
Rumor adanya komite yang menyediakan wanita penghibur akhirnya memang sempat menjadi bulan-bulanan topik media dari dalam, juga beberapa dari luar negeri. Apakah benar-benar ada? Atau hanya kabar burung belaka? Maklum, ini area sisi gelap yang sulit ditelusuri dari luaran.
Rosihan Anwar - yang meliput KAA 1955 sebagai editor Harian Pedoman - dalam bukunya Sejarah Kecil "Petite Histoire" jilid 2 menulis:
Akan tetapi, Roeslan mendapat kritik dari sebagian pers Indonesia karena mengorganisasi sebuah Hospitality Committee, komite keramah-tamahan menerima tamu. Komite tersebut menyediakan bagi anggota-anggota peserta fasilitas lady's escort, kumpulan wanita yang menemani delegasi di waktu santai dan istirahat. Menurut sejarawan Australia, John Legge, dalam bukunya Sukarno, atas dorongan Sukarno diadakan pilihan di kalangan mahasiswa perempuan, lalu dari mereka disediakan sejumlah hostess yang pintar.
Konon mereka diberi peran sebagai Mata Hari, spion Belanda yang sebagai istri perwira pernah hidup di Surabaya pada awal abad ke-20, kemudian jadi penari nightclub di Paris, selanjutnya jadi spion untuk Jerman dalam Perang Dunia I (1914-1918), untuk akhirnya ditembak mati oleh regu eksekusi Perancis. Benar tidaknya ada Mata Hari-Mata Hari di Konferensi AA, wallahu a'lam.
Kritik pers Indonesia bertalian dengan adanya Hospitality Committee menurut Ide Anak Agung Gde Agung dalam bukunya , Twenty Years Indonesia Foreign Policy 1945-1965, istimewa datang dari "surat kabar" Jakarta yang dibaca luas dan populer Indonesia Raya yang editornya adalah wartawan masyhur Mochtar Lubis.
Sebab, bisa jadi apa yang menjadi ranah tugas lady's escort adalah seperti yang dikemukakan dan dijalani oleh Popong Otje Djundjunan. Baca wawancara saya dengan Ceu Popong, yang waktu menjadi relawan KAA 1955, baru berusia 18 tahun dan statusnya siswi kelas I SMAN 5 Bandung.
"Tugas Ceu Popong waktu itu adalah untuk menemani si delegasi-delegasi itu sambil menjelaskan makanan ini dibuat dari apa. Waktu itu kegiatannya di Hotel Homann. Malam (hari). Jadi peserta-peserta konferensi, semua kepala-kepala negara kumpul di sana. Untuk itu ada semacam silaturahmi dan diantaranya ada makanan-makanan tradisional, nah itu harus dijelaskan oleh kita. Bajigur misalnya, dibuatnya dari apa," tutur Ceu Popong, politisi Partai Golkar yang juga anggota dewan tertua, ketika saya wawancarai, Jumat, 13 April 2018.
o o oOo o o
Baca juga tulisan sebelumnya:
Serba-serbi Konferensi Asia-Afrika Pertama, Mulai dari Kamera "Jadul" hingga Bajigur
Cerita Ceu Popong: Dari KAA 1955, Bohongi Presiden Mesir sampai Kekurangan Jokowi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H