Judulnya Moonrise Over Egypt. Film ini bergenre supersense sejarah. Artinya tontonan yang menitikberatkan pada inti cerita. Perkara hasil akhir film ini sudah diketahui oleh penonton, tetapi jalan ceritanya ternyata cukup banyak kejutan.
Kejutan? Ya kejutan. Karena jalan ceritanya, enggak seperti yang sudah saya baca di buku-buku yang menampilkan sosok Pahlawan Kemerdekaan, H Agus Salim. Ada pengkhianatan dengan menjadi agen spionase, intrik politik, rangkaian pembunuhan, usaha percobaan pembunuhan Menlu Mesir, juga bumbu drama asmara.Â
Apakah kejutan-kejutan (yang oleh tim produksi film ini disebut sebagai "rahasia sejarah") ini terkisahkan di buku-buku yang menceritakan perjuangan diplomasi empat diplomat Indonesia - yang berjuang demi memperoleh pengakuan de jure dan de facto dari Mesir? Mungkin ada, tapi saya kok belum membacanya.
Makanya, saya kasih dua jempol deh kalau film - yang dirilis 22 Maret 2018 dan menyatakan dalam trailernya sebagai Inspired by True Event - ini berhasil mengulik rahasia sejarah pada masa diplomasi berlangsung tersebut.
Kisah "mainstream" yang menyeruak di buku-buku - utamanya biografi H Agus Salim - adalah  usaha gigih sekaligus licik Dubes Belanda di Mesir yang menikung proses diplomasi tim delegasi Indonesia, bahkan sempat membuat lembek sikap Menlu Mesir Mahmoud Fahmy El Nokrashy Pasha (yang diperankan aktor Mark Sungkar) untuk menyatakan dukungan atas kedaulatan Indonesia.Â
Pengakuan kedaulatan Indonesia dari Mesir adalah buah kerja gigih keempatnya. Pengakuan de jure ini dalam bentuk perjanjian persahabatan, hubungan diplomatik, konsuler serta perniagaan, tepatnya pada Juni 1947. Empat bulan sebelulnya, atau Maret 1947, Mesir sudah lebih dulu menyatakan pengakuannya atas proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, atau secara de facto.
Pengakuan de facto dan de jure dari Mesir merupakan pengakuan dunia internasional pertama kali terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Menyusul kemudian dari sejumlah negara di kawasan Timur Tengah seperti Lebanon (29 Juni 1947), Suriah (2 Juli 1947), Irak (16 Juli 1947), Arab Saudi (24 November 1947) dan Yaman (3 Mei 1948).
'The Grand Old Man' Jadi Tokoh Sentral
Presiden Soekarno pernah menyebut H Agus Salim sebagai The Grand Old Man. Sebutan ini mengemuka juga di film, ketika Dubes Belanda untuk Mesir Willem Van Recteren Limpurg melakukan permufakatan jahat dengan Dubes Keliling Belanda Cornelis Adriaanse, untuk menggagalkan misi diplomatik Indonesia selama di Kairo. Harapan keduanya, tim delegasi Indonesia pulang kembali ke tanah air dengan wajah kuyu dan tangan hampa alias gagal. Dalam pembicaraan empat mata itu, satu nama yang mereka takuti adalah The Grand Old Man!
Dan memang, sepanjang 114 menit durasi tayang, sosok H Agus Salim menjadi sentral dalam film ini. Meskipun, ada saja suara sumbang yang menyebut bahwa film ini kurang memunculkan sepak terjang The Grand Old Man yang bernama asli Masjhudul Haq (Pembela Kebenaran) ini.