Meski bukan fenomena baru, tapi bagaimana menilai kualitas siaran para selebriti yang merambah industri radio? Apakah slenge-an dengan materi siaran yang cuma mengajak pendengar ber-haha-hihi saja?
“Peta penyiar radio sekarang ini memang sudah banyak mengalami pergeseran. Penyiar-penyiar yang bersuara nge-bass, mengatur irama suara banget, artikulasinya juga dijaga, tapi mereka juga memiliki kualitas presentasi yang oke (bisa juga menghibur lewat banyolannya) boleh dibilang sudah ditinggalkan rata-rata radio hiburan. Suara yang tidak bulat alias cempreng saja bisa siaran diradio, asal bisa nge-banyol, sedikit konyol dan ngocol. Apalagi kalau anda seorang selebritis alias seleb, maka dengan mudah suara anda akan terdengar paling tidak di seantero Jakarta,” tuturnya dalam wawancara via email dengan penulis.
Ironisnya, lanjut Zaini, soal wawasan, nalar, tehnik berkomunikasi oral yang baik, peguasaan istilah dan bahasa Indonesia yang baik, pengetahuan soal jurnalistik radio dan jurnalistik secara umum, tahu Kode Etik Jurnalistik, kemampuan tehnik wawancara yang oke, semuanya menjadi nomor kesekian.
“Syukur-syukur kalau punya kemampuan seperti itu, kalau tidak ya sudah, yang penting bisa ngocol dan nge-banyol. Urusan terpenuhi atau tidaknya kebutuhan pendengar untuk tahu lebih banyak dengan teknik penyampaian bertutur yang singkat dan padat terhadap berita hotdan isu yang sedang berkembang menjadi tidak penting,” urai mantan announcer Radio Elshinta Jakarta ini.
Tapi, sergah Zaini, tidak semua penyiar seleb radio atau penyiar radio hiburan “seburuk” itu tipikalnya. “Ada juga kok penyiaryang smart, punya wawasan bagus berbagai macam hal, dan bernalar lumayan. Jadi tahunya bukan cuma soal musik, tapi juga hal-hal lain diluar musik. Bicara soal politik oke, bicara soal fenomena sosial di tengah masyarakat oke, bicara masalah kasus-kasus yang sedang menjadi perhatian masyarakat oke. Penyiar manapun sebenarnya bisa smartseperti itu, jika mau belajar, mau mendengarkan masukan orang lain baik dari teman sejawat atau pendengar, tidak resisten, sombong, dan sok tahu alias sotoy,” urainya.
“Secara bisnis, mungkin menempatkan seleb sebagai penyiar radio menguntungkan, paling tidak apabila disukai pendengar otomatis akan meningkatkan rating radio secara umum dan program unggulan mereka secara khusus. Ujungnya pemasang iklan akan datang dan menempatkan iklan mereka di jam-jam siaran favorit pendengar. Meskipun rate iklannya jadi mahal, tetap saja pemasang iklan mau juga menaruh iklannya,” tuturnya.
Intinya seleb boleh dan sah-sah saja jadi penyiar radio, kata Zaini, asalkan memperhatikan juga kualitas knowledge-nya, tidak asal bunyi. Soal kualitas suara, menjadi tugas stasiun radio bersangkutan untuk lebih cerdas memilih seleb yang punya standar vokal sebagai penyiar. Banyak tipe pendengar yang sangat mementingkan kualitas penyiar yang bersahabat, smart, sekaligus lucu dan punya wawasan serta airpersonality yang bagus. Kalau cuma sekedar mendengarkan musik, toh mereka tinggal on kan saja perangkat MP3, hape, atau iPod saja. Playlist lagu-lagunya tentu lebih bagus dan sesuai dengan selera.
Zaini berpesan, janganlah korbankan dunia radio untuk kepentingan bisnis semata, tapi melupakan kewajiban memberikan informasi dan edukasi yang benar kepada masyarakat. “Ingat loh, yang digunakan radio-radio itu adalah frekuensi milik publik yang diatur oleh regulasi dari pemerintah. Sehingga radio-radio memiliki tanggungjawab kepada publik,” serunya dengan bijak.