Selain medali emas persembahan dari pasangan ganda campuran Bulutangkis, Owi dan Butet di olimpiade kemarin, hadiah terindah 71 tahun kemerdekaan Republik Indonesia yaitu informasi yang disampaikan oleh SKK Migas. Apa itu? Ya, kenaikan produksi minyak nasional. Sejak 2008 lalu, baru kali ini Indonesia kembali merasakan kenaikan tersebut. Kenaikannya, dari rata-rata harian 786 ribu barel per hari (BOPD) pada 2015 menjadi 834 ribu BOPD per Juli 2016, atau naik 6,2 persen.
Peningkatan produksi minyak ini utamanya bersumber dari Lapangan Banyu Urip yang sudah berproduksi (onstream) dengan skala penuh, proyek-proyek lain yang telah mulai berproduksi, dan beberapa Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang capaian produksinya melampaui target yang ditetapkan dalam Work Program and Budget 2016.
Menyusul turunnya harga minyak dunia, selama dua tahun terakhir industri hulu (upstream) migas memang mengalami tantangan yang tidak ringan. Meski demikian, performa dan kinerja tetap terjaga sehingga sejumlah capaian prestisius pun tertorehkan. Kalau pembaca sempat membuka situs SKK Migas, maka prestasi tersebut dapat dengan mudah disimak, karena lima diantaranya menjadi caption photo headline dengan judul Membesarkan Bangsa.
Lima undakan Membesarkan Bangsa tadi adalah: Pertama, industri upstream migas sanggup membuka banyak lapangan kerja. Tercatat, sekitar 32 ribu tenaga kerja nasional bekerja pada industri hulu migas. Kedua, sejak 2009, transaksi industri ini melalui bank nasional mencapai sekitar US$ 44,9 miliar. Ketiga, industri hulu migas menyumbang sekitar Rp 310 triliun penerimaan negara pada 2014. Keempat, sepanjang 2014, komitmen TKDN pada pengadaan industri ini mencapai 54 persen. Dan kelima, industri hulu migas sudah tentu melaksanakan banyak sekali program tanggung-jawab sosial.
Terkait KKKS, situs SKK Migas membagi keberadaan mereka menjadi empat kategori. Mulai dari KKKS CBM (Coal Bed Methane) yang jumlahnya mencapai 54 operator; KKKS Eksplorasi sebanyak 177 operator; KKKS Produksi mencapai 83 operator, dan KKKS Non Konvensional hanya 5 operator (dengan wilayah kerja di MNK Selat Panjang - Riau, MNK Sakakemang – Sulsel, MNK Palmerah – Sumsel dan Jambi, MNK Kisaran – Sumut, dan MNK Sumbagut). Adapun jumlah total Wilayah Kerja (WK) migas --- baik konvensional maupun non-konvensional --- per 30 Juni 2016, adalah sebanyak 289 WK.
Sekilas, jumlah operator yang menandatangani kontrak cukup banyak. Atau mungkin malah sebaliknya, jumlahnya masih kurang, apabila cara pandangnya dengan meyakini bahwa wilayah Indonesia yang begitu luas memiliki sumber daya alam, termasuk migas, yang melimpah-ruah. Ini terbukti dengan ketertarikan investor untuk menanamkan modalnya yang masih terus berdenyut. Seperti misalnya komitmen investasi guna pengembangan Train 3 di Kilang LNG Tangguh, Papua Barat, dengan nilai investasi US$ 8 miliar. Pun begitu, upaya peningkatan cadangan juga terus digiatkan. Sejak awal tahun sampai Juli 2016, terdapat 21 skema basis rencana pengembangan atau Plan of Development (POD) dan Plan of Further Development (PoFD) yang telah disetujui. Apabila seluruh POD/POFD dapat direalisasikan sesuai rencana, maka diharapkan dapat menambah cadangan migas sebesar 171 juta barrel oil equivalent (BOE).
Kendala Iklim Investasi
Setiap langkah usaha pasti punya tantangannya sendiri. Begitu pun investasi. Kendala pasti ada, sehingga untuk itu musti dicarikan solusinya. Di sektor industri hulu migas, kendala tersebut antara lain karena masih minimnya infrastruktur. Sederhananya begini. Indonesia memiliki basin atau cekungan-cekungan yang dipercaya mengandung sumber daya alam migas yang begitu kaya. Tetapi, basin ini berada nun jauh di pelosok Nusantara. Sementara, orang-orang di kota yang bakal menjadi penggunanya. Nah, infrastruktur untuk “mengalirkan” migas dari pelosok-pelosok itulah yang perlu dibangun karena masih minim.
Dari sisi geologi, kata Taslim, kebanyakan cekungan-cekungan yang ada di Indonesia menghasilkan gas. Hanya sedikit yang punya kapasitas untuk menghasilkan minyak. “Ketika harga minyak murah, seluruh kebutuhan energi kita lebih mengandalkan minyak. Pada saat harga minyak naik, barulah kita menyadari, bahwa migas adalah sumber energi yang perlu kita gunakan. Tapi, manakala gas hendak kita pergunakan, infrastruktur belum siap untuk menyalurkan dan menerima gas kemana-mana di seluruh Indonesia,” urai pria berkacamata yang mengenakan kemeja batik berwarna dominan kuning ini.